Lecutan pandemi makin melejit. Jumlah korban terinfeksi covid-19 di seluruh dunia per-2 Desember 2020, menurut Worldometer, mencapai 34.412,716 orang. Dari jumlah tersebut yang tewas 1.022.833 orang. Sedangkan yang sembuh 25.600.750 orang. Luar biasa.
Kondisinya, sejak Desember 2020, pandemi makin pesat penyebarannya. Beberapa negara Eropa seperti Itali, Inggris, Prancis, dan Spanyol melakukan lock down terbatas. Terutama untuk kota-kota besar yang penyebaran coronanya makin sulit dikendalikan. Seperti Roma, London, Paris, dan Madrid.
Indonesia pun mengalami hal sama. Beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya yang pernah menyurut persebaran coronanya, kini per-Desember kembali terancam. Laju persebaran coronanya makin tinggi.
Cluster-cluster pembiakan corona juga makin banyak. Sehingga, wilayah yang terpetakan sebagai zona merah corona makin luas. Mengerikan bagi kaum yang rentan penularan virus Corona.
Tragisnya di tengah lecutan pandemi yang makin hebat itu, sebagian orang — bahkan di antaranya pemimpin negara besar dan tokoh publik — masih belum meyakini bahwa saat ini manusia tengah menghadapi pandemi global. Alih-alih mereka mencari solusi mengatasi pandemi, yang mereka lakukan justru mencari biang kerok munculnya virus corona. Teori konspirasi corona pun, seperti diduga, mulai mereka sebarkan. Semuanya mengarah ke Cina.
Betul! Virus corona awalnya muncul di kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, tahun 2019. Tapi kenapa berkembang ke seluruh dunia dengan cepat? Jawabnya macam-macam
Dari situlah berkembamg teori konspirasi.
Di Amerika Serikat (AS), teori konspirasi tersebut — di awal pandemi global menyeruak, awal 2020, tertuju ke Cina. Presiden Donald Trump, terang-terangan menuduh Cina sebagai biang kerok “perekayasa” virus Covid-19.
Cuitan Trump mendapat respon sebagian warga AS. Beberapa pemimpin negara bagian di AS seperti Missouri dan Pennsylvania mempercayai cuitan Trump. Mereka melayangkan surat gugatan ke pengadilan meminta Cina bertanggungjawab dan mengganti kerugian akibat pandemi covid.
Tapi lucunya, ada pula teori konspirasi yang menyebutkan, virus Corona adalah ciptaan AS dan Israel. Tujuannya untuk menguasai dunia. Tapi yang jadi bulan-bulanan, Cina.
Bagaimana Indonesia? Masih banyak anggota masyarakat yang percaya bahwa pandemi COVID-19 yang saat ini melanda dunia adalah sebuah konspirasi elit global.
Mereka yang punya asumsi seperti itu terlihat dari sikapnya yang abai terhadap bahaya virus. Mereka tak mau ikuti protokol kesehatan dan menentang pendapat pakar
kesehatan dan kedokteran.
Kondisi tersebut tercermin dari hasil survei yang baru-baru ini dirilis sejumlah akademisi dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI). Para surveyor itu tergabung dalam Center for Innovative and Governance (CIGO).
Dari 772 responden yang terlibat, tulis CIGO, sebanyak 20,6% atau sekitar 150 orang masih percaya bahwa COVID-19 adalah konspirasi elit global. Jumlah yang cukup banyak bila dilihat dari jumlah sampel.
Penelitian yang bertujuan melihat persepsi masyarakat terkait pandemi COVID-19 itu dilakukan pada pertengahan September 2020, saat PSBB Jilid II diberlakukan kembali di DKI Jakarta. Responden itu berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Pengumpulan datanya dilakukan dari tanggal 14-30 September 2020.
Jika dilihat lebih rinci, hasil studi UI itu mengungkap bahwa responden yang percaya bahwa COVID-19 sebagai konspirasi elit global mayoritas berasal dari DKI Jakarta (22,5%) dan Bogor (24,1%).
“Mayoritas responden yang masih percaya Covid-19 itu konspirasi elit global, berpendidikan SMP 50% dan SMA 30,9%,” kata Eko Sakapurnama, ketua tim survei CIGO.
Sementara, responden yang tidak percaya COVID-19 sebagai konspirasi elit global mayoritas memiliki latar belakang pendidikan yang jauh lebih tinggi, yaitu berpendidikan S2 (90%) dan S1 (80,5%).
Hasil survei ini juga mengungkapkan bahwa responden yang mempercayai COVID-19 sebagai konspirasi elit global kebanyakan memiliki persepsi bahwa COVID-19 hanya berbahaya untuk warga lanjut usia (lansia) dan masyarakat dengan penyakit bawaan (comorbid).
Kenapa demikian? Jawabnya minim literasi. Kurangnya literasi tentang virus corona, dinilai jadi penyebab hal di atas. Menurut Eko, dengan melihat tingkat pendidikan responden yang percaya konspirasi (mayoritas hanya lulusan SMP dan SMA), kurangnya literasi dinilai jadi salah satu penyebab mengapa mereka percaya bahwa COVID-19 sebagai konspirasi elit global.
Tak hanya itu. Kurangnya kebiasaan untuk melakukan check dan re-check terhadap suatu informasi yang didapat dari internet dan sosial media, juga berpengaruh.
Oleh karena itu, pemerintah, perlu secara konsisten memberikan sosialisasi akan bahaya COVID-19 dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat. Jadi, pemerintah kudu serius mengampanyekan apa itu covid-19, asal muasalnya, bahayanya, dan penyebarannya dalam bentuk visualisasi yang mudah dimengerti mayoritas publik.
Dalam beberapa kesempatan, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Doni Monardo, menegaskan bahwa pandemi COVID-19 yang saat ini melanda dunia adalah nyata. Bukan rekayasa. Doni Monardo mengibaratkan covid-19 sebagai malaikat pencabut nyawa — terutama bagi masyarakat yang masuk kategori kelompok rentan. Seperti anak-anak, orang tua di atas 60 tahun, dan orang yang punya penyakit bawaan (comorbid).
Di Indonesia, data terbaru menunjukkan bahwa jumlah kasus positif hingga 3 Desember 2020 sudah mencapai angka 557.877 kasus dengan jumlah pasien sembuh sebanyak 462.553 kasus. Sementara yang meninggal dunia akibat COVID-19 sebanyak 17.355 orang.
Dari survei itu terungkap bahwa meski masyarakat memiliki persepsi untuk mematuhi protokol kesehatan, tak sedikit dari mereka justru sering menggunakan masker secara tidak benar. Ironis.
Adapun rekomendasi tim survei: Pemerintah harus melakukan kampanye penggunaaan masker dengan baik dan benar. Pemerintah harus memfokuskan tindakan promotif dan preventif dengan melakukan edukasi terhadap risiko dan eksistensi Covid-19.
Selain itu pemerintah, saran tim sirvei, kudu fokus pada sektor produksi pangan. Ini karena sektor pangan sangat strategis di tengah kehidupan rakyat. Ya, benar. Memang untuk menjadi sehat dan kuat, hal pertama yang harus dilakukan manusia adalah memenuhi kebutuhan pangan lebih dahulu.
Well, semua saran tim survei UI tersebut, memang terkesan biasa. Tapi praktiknya, justru membutuhkan keberanian luar biasa. Bayangkan, selama hampir setahun pandemi, kesadaran untuk disiplin melakukan 3 M (mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker), masih banyak di langgar.
Terlepas di mana lokasi survei, Anda mau tahu di mana para pelanggar protokol kesehatan yang abai penularan virus? Cobalah naik bus umum, lalu pergilah ke pasar, terus masuklah ke kantor, kemudian salatlah di masjid besar, setelah itu datangi ceramah akbar — kita akan menemui bahwa pandemi seakan tidak ada. Sebagian dari mereka, tidak hanya membangkang tertib 3 M (mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker). Tapi juga menganggap bahwa kematian itu bukan karena virus corona. Tapi karena memang umurnya sudah diambil malaikat pencabut nyawa.
Asumsi terakhir ini, lebih parah bahayanya ketimbang teori konspirasi. Kaum covidiot tersebut sudah terperosok dalam ajaran tauhidiot. Itukah sebabnya, kasus positif terus meruyak? Wallaahu a’lam.