Sabtu, April 27, 2024

Tentang Wamena Yang Saya Ingat

Fitriyan Zamzami
Fitriyan Zamzami
Wartawan Republika; pernah meliput secara ekstensif pengeboman JW Marriott dan Ritz Carlton, mengikuti sepenuhnya sidang Abu Bakar Ba’asyir, dan mewawancarai belasan tersangka, terdakwa dan terpidana terorisme.

Bahkan untuk kami-kami ini yang besar di Papua, Wamena yang meliputi Lembah Baliem itu adalah ranah yang nampaknya penuh misteri. Dahulu, ia adalah kabupaten satu-satunya di pegunungan tengah Papua, tempat berkumpul suku-suku di wilayah di tengah hutan bergunung-gunung itu.

Sebagai salah satu wilayah paling akhir yang disambangi pendatang di Papua, Wamena memang punya akselerasi pembangunan yang lebih lambat ketimbang wilayah lain. Sejak lama, pegunungan tengah juga sudah jadi wilayah beroperasi gerakan bersenjata separatis yang menuntut kemerdekaan Papua. Setidaknya sejak 1970-an kelompok separatis sudah hadir di wilayah itu.

Pada 2002, seturut pemberlakuan otonomi daerah, Wamena dimekarkan. Ia jadi banyak kabupaten, di antaranya Jayawijaya sebagai kabupaten induk dengan Wamena sebagai ibu kota, kemudian Yahukimo, Tolikara, dan Pegunungan Bintang. Pada 2008, daerah dimekarkan lagi dengan tambahan Lanny Jaya, Nduga, Mamberamo Tengah, dan Yalimo. Pemekaran itu tak hanya menyebar administrasi pemerintahan. Suku-suku di pegunungan tengah Papua juga akhirnya kian terpisah.

Sedianya, wilayah tersebut jarang jadi tujuan pendatang, baik yang dari wilayah lain di Tanah Papua apalagi dari luar pulau. Pegawai negeri biasanya minta lekas pindah jika ditempatkan di sana. Demikian juga aparat dan dokter serta pengajar. Yang jadi pilihan, utamanya kota-kota yang lebih maju dan dekat pesisir seperti Sorong, Manokwari, Nabire, Biak Numfor, Jayapura.

Namun, rerupa pemekaran di pegunungan tengah membuka kesempatan usaha di wilayah-wilayah baru yang jadi ibu kota administratif. Para pendatang yang sebelumnya enggan datang kemudian tergiur kesempatan tersebut dan mulai kian banyak yang tiba. Dari Toraja, Makassar, Sumatra Barat, Jawa, juga NTB. Toko-toko milik pendatang menjamur.

Dalam satu hal, tentu itu hal baik karena mendorong perekonomian daerah-daerah pemekaran. Sayangnya, ia juga dalam hal lain membuat warga tempatan merasa tertinggal. Adalah pemandangan yang jamak di Papua, warga pendatang mendirikan toko dan kios mereka, sementara mama-mama Papua sekadar di lantai berjualan hasil kebun.

Hal itu satu persoalan. Persoalan lainnya, belakangan konflik TNI/Polri dengan kelompok separatis bersenjata di pegunungan tengah tak kunjung reda, bahkan menjadi-jadi eskalasinya. Dalam konflik itu, warga sipil tak jarang jadi korban.

Pada 17 September lalu, TNI mengklaim tiga warga asli Papua, satu di antaranya balita, tewas tertembak saat prajurit TNI sedang baku tembak dengan kelompok separatis bersenjata di Kabupaten Puncak, Papua. Pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) menyangkal terlibat baku tembak dan mengklaim sebanyak tujuh warga sipil asli Papua meninggal saat itu akibat penggerebekan yang dilakukan aparat ke kampung warga.

Sedangkan pada akhir 2018 lalu, kelompok separatis menewaskan belasan pekerja sipil yang mereka sebut sebagai intelijen tentara. Aksi itu memicu pengejaran besar-besaran TNI-Polri yang akhirnya menyebabkan ribuan warga asli Nduga mengungsi ke hutan-hutan dan kabupaten sekitar.

Kementerian Sosial mendata, 53 pengungsi konflik Nduga itu meninggal selama Desember 2018 hingga Juli 2019. Sedangkan tim yang dibentuk Pemkab Nduga mencatat jumlah pengungsi meninggal yang jauh lebih banyak, yakni 182 orang.

Nah, bahan selanjutnya dalam tungku, kemarahan warga asli Papua akibat tindakan rasialis di Jawa Timur beberapa waktu lalu. Aksi di Wamena pada Senin (23/9) juga dipicu kabar ucapan rasialis salah seorang guru di wilayah tersebut.

Jika digabungkan, faktor-faktor itu adalah bahan bakar yang mudah disulut. Seperti membakar mercon di pom bensin. “Saya tidak tahu siapa, tapi kalau melihat dari polanya kemudian isu yang dimainkan itu tidak mungkin kalau tidak ada yang merancang bisa bergulir dan berseri begitu,” kata ketua Jaringan Damai Papua sekaligus peneliti LIPI Adriana Elisabeth.

“Pendatang juga punya peran untuk menggerakkan ekonomi Papua. Walaupun ada pemberdayaan orang asli Papua untuk ekonomi, tapi kan masih terbatas. Kalau tidak ada pendatang ekonomi juga tidak bergerak. Jadi itu kan tidak pernah muncul ke permukaan. Ternyata ada yang melihat ini. ‘Sepertinya potensi konflik nih’, dan dibuat yang paling memicu ternyata masalah identitas rasial itu. Walaupun rasisme kepada masyarakat Papua kan bukan sekali terjadi, tapi ini mungkin dia melihat kalau dirancang sekarang dengan timing ini bisa terus memanjang konfliknya,” ia melanjutkan.

Perlu saya perjelas, tulisan ini bukan untuk menjustifikasi kekerasan keji yang merenggut begitu banyak korban di Wamena. Anggota puak yang kerabat mereka terbunuh dalam kerusuhan tersebut tentu punya segala hak untuk marah dan menangis serta meminta para pembunuh diproses hukum.

Yang ingin saya bilang, apa yang terjadi di Wamena tersebut tak lahir dari ruang kosong. Mereka yang terlibat tentunya tidak tiba-tiba bangun dengan niatan menghabisi pendatang kemudian mengeksekusi itu niatan. Ada begitu banyak nuansa dalam kejadian itu, ada begitu banyak faktor yang tak bisa dan tak boleh disederhanakan jadi sekadar perang agama atau perang suku.

Alarm bahaya sedianya sudah berulang kali menyala di Papua. Kendati demikian, biasanya dipadamkan dengan penerjunan pasukan tambahan, kemudian ilusi situasi kondusif, dan jargon-jargon nasionalisme. Aktivis-aktivis yang menyuarakan kondisi sebenarnya di Papua tak jarang malah kena ciduk aparat. Sementara persoalan-persoalan menahun di Papua hanya janjinya saja bakal diselesaikan.

Tak ada waktu yang lebih baik dari sekarang untuk menuntut ulang komitmen pemerintah menuntaskan persoalan di Papua. Untuk memaksa mereka menoleh dan mengakui keadaan tak baik-baik saja. Agar warga pendatang yang meninggal di Wamena tak berpulang sia-sia. Agar nyawa warga asli Papua yang berpulang di Paniai, di Nduga, di Asmat, di Deiyai, di Jayapura, di Kabupaten Puncak, juga di Wamena tak sia-sia

Fitriyan Zamzami
Fitriyan Zamzami
Wartawan Republika; pernah meliput secara ekstensif pengeboman JW Marriott dan Ritz Carlton, mengikuti sepenuhnya sidang Abu Bakar Ba’asyir, dan mewawancarai belasan tersangka, terdakwa dan terpidana terorisme.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.