Sabtu, April 20, 2024

Tentang Filsafat, Sains dan Pemikiran Filosofis

Hamid Basyaib
Hamid Basyaib
Aktivis dan mantan wartawan; menerbitkan sejumlah buku tentang Islam, masalah-masalah sosial, dan politik internasional.

Catatan berikut adalah tanggapan saya atas tanggapan Bung Kennedy Fitzerald Sitorus di wall FB Luthfi Assyaukanie yang menulis “Mengapa Filsafat Bangkrut”, dan mendapat banyak tanggapan, termasuk dari Bung Sitorus, yang menyebut nama saya; kemudian saya tanggapi, dan ditanggapi balik oleh dia; lalu saya pikir rebuttal terbaru saya ini lebih baik disajikan di gelanggang baru, dengan harapan mendapat tanggapan dari orang-orang lain sehingga bisa menjadi semacam “Polemik Sains dan Filsafat Putaran 2”, kelanjutan dari putaran satu pada pertengahan tahun lalu, yang telah menghasilkan empat jilid buku. Bagi yang berminat, silakan merujuk juga tulisan Luthfi tersebut, termasuk untuk memahami konteks dan gaya penyajian tulisan ini.

—————-

Sebetulnya saya mau menanggapi tulisan Bung Sitorus ini, tapi saya malas; tapi kemudian saya mau juga menanggapinya karena alasan-alasan yang sangat filosofis (tanpa ada hubungan dengan sistem dan disiplin filsafat — pemikiran filosofis justeru makin subur, terutama dirangsang oleh temuan-temuan baru sains; jadi pemikiran filosofis sekarang dan yang akan datang bukan didorong oleh disiplin filsafat, yang sudah lama rojiun).

Yang mengumumkan kematian filsafat itu bukan saya dan kawan-kawan saya, kemarin siang. Yang menyatakan belasungkawa atas kematian filsafat adalah Martin Heidegger, Richard Rorty dan, dengan caranya sendiri, Bertrand Russel, sejak berpuluh-puluh tahun silam.

Tapi mereka tidak sekalian menguburkannya, sebab kematian filsafat — sebagaimana kematian ide-ide pada umumnya, misalnya kematian agama Mesir kuno yang menyembah Dewa Ra — bukanlah kematian klinis seperti matinya seekor kucing di halaman rumah Pak Abu Hurairah (saya lupa alamat persis rumah beliau).

Siapakah Pak Degger, Pak Rorty dan Pak Russel itu? Saya tak perlu memperkenalkannya kepada Bung Sitorus, sebab dia pasti sudah lama mengenal mereka — meski tampaknya dia pura-pura tidak kenal, dan terutama pura-pura tak pernah dengar ucapan belasungkawa mereka atas wafatnya filsafat.

Padahal pengumuman mereka sudah dikumandangkan bertalu-talu sejak puluhan tahun silam: misalnya dalam buku Pak Degger sendiri (berjudul The End of Philosophy; diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Joan Stambaugh); atau dalam karya Isabelle Thomas-Fogiel (terjemahan Richard A. Lynch), The Death of Philosophy: Reference and Self-Reference in Contemporary Thought). Bahkan ada orang Jerman yang mengumumkan kematian yang lebih sensitif daripada belasungkawa atas kematian filsafat, yaitu kematian Tuhan.

Mengapa Bung Sitorus tidak berani menghardik mereka atas ucapan belasungkawa yang tegas itu? Mengapa beraninya cuma ngomelin saya, yang dia yakini tidak memahami filsafat? Kok beliau beraninya cuma kepada orang kecil yang tak berdaya seperti saya? Apakah ada penjelasan filsafat tentang sikap pilih kasih yang tak adil ini, baik menurut filsafat Jerman kuno maupun kontemporer, yang dianut dengan khidmat oleh Bung Sitorus?

Dia menyatakan saya tidak mengerti filsafat hanya karena saya berkata bahwa filsafat sudah mati (rasa-rasanya saya tidak akan divonisnya demikian jika saya menyatakan filsafat semakin sehat wal afiat, meski seandainya pun dia tahu bahwa saya tidak mengerti filsafat). Dengan vonis ini, apakah ia sedang menyindir Martin Heidegger, Richard Rorty dan Bertrand Russel, yang jauh lebih dulu mengumumkan kematian filsafat daripada saya, sebagai orang-orang yang tidak mengerti filsafat?

Bukannya memprotes Pak Degger dan lain-lain (setidaknya mengajukan keberatan kepada cucu-cucu spiritual mereka atas vonis kematian filsafat itu), Bung Sitorus malah menumpahkan seluruh deniality kepada saya; seakan-akan totalitas kejengkelannya kepada mereka itu dihimpunnya lalu disiramkan seluruhnya kepada saya, hanya karena saya memforward pesan-pesan mereka kepada orang lain.

Lalu saya seolah distempelnya sebagai penyebar hoax; tidak mengecek dan ricek pesan tersebut, tapi langsung membroadcast kabar duka itu. Sambil meletakkan telapak tangan kanan di dada kiri, atas segenap hujatan ini saya, yang saat ini sedang berada di kawasan Cikeas, hanya bisa berkata lirih: “Sa prihatin.”

Yang lebih memprihatinkan, hujatan itu pun tidak banyak menyangkut substansi. Hujatan Bung Sitorus dan para pendukungnya yang tak henti bertepuk tangan hanya berputar-putar di sekitar altar argumentum ad hominem: 1. ia hanya mengulang-ulang bahwa saya tidak mengerti filsafat dan hanya dialah yang memahaminya (seakan kemengertian saya tentang disiplin filsafat itulah yang kelak menyelamatkan diri saya dari siksa kubur); 2. bahwa saya bahkan tidak mengerti sains, saya bukan saintis, saya tidak pernah membuat prestasi apapun dalam bidang sains, tapi membelanya habis-habisan, bahkan melebihi kaum ilmuwan betulan.

Sedemikan banyak cacat logika fatal dalam rentetan dakwaan ini, sehingga tak berharga untuk dibantah; seperti diketahui, agar layak disanggah suatu pernyataan setidaknya harus salah, dan pernyataan-pernyataan Bung Sitorus belum memenuhi syarat itu alias belum mencapai status salah.

Sebagai ahli filsafat (mari kita percayai saja klaim sepihak yang berulang-ulang dikesankan Bung Sitorus tentang dirinya ini), pastilah ia memahami bahwa argumentum ad hominem semacam itu bukanlah argumen (meski istilahnya mirip); penekanan di situ terletak pada predikatnya, ad hominem (artinya “menyerang orangnya, bukan membahas substansi idenya”, semacam kill the messenger; seperti saksi pelapor yang malah ditangkap dan dituduh sebagai pelaku tindak pidana).

Dengan sikap defensif semacam itu Bung Sitorus sesungguhnya hanya berteriak makin lantang bahwa yang sedang dilakukannya adalah defending the undefendable — dan ini niscaya sia-sia. Tanpa diumumkan oleh trio Rorty-Heidegger-Russel pun tentu saja filsafat memang sudah mati untuk alasan yang sangat jelas, yaitu bahwa pada umumnya spekulasi-spekulasi lama dari para filosof kuno itu, yang fondasi dan pengembangannya dibangun di era pra-ilmiah, seminggu lima kali dipatahkan oleh the brutal truth of scientific findings.

Rorty dkk menyatakannya semata-mata karena filsafat tak mungkin menyatakan kematiannya sendiri — persis seseorang yang meninggal, yang pada detik kematiannya mustahil berkata, “Oke, saya mati dulu, ya; tolong kasih tahu handai tolan bahwa saya sudah pensiun dari kehidupan.”

Kematian disiplin filsafat itu bukanlah kematian pemikiran filosofis. Seperti kata Pak Rorty, pemikiran filosofis justeru akan makin subur; suburnya bukan disebabkan disiplin filsafat sudah mati, tapi karena pesatnya perkembangan sains dengan segala temuannya yang makin mencengangkan dan membuat kita sedikit lebih mengerti tentang dunia ini di berbagai bidang (dari entitas sekecil virus hingga yang besarnya tak mungkin bisa dibayangkan seperti planet-planet yang jauhnya dari bumi pun tak sanggup dibayangkan oleh imajinasi manusia — tapi matematika bisa menjangkaunya dengan rumus-rumusnya, sehingga ilmuwan bisa mengkonseptualisasi satuan-satuan mahakecil seperti nanometer, ukuran-ukuran jarak geografis yang sangat besar, juga satuan-satuan waktu sesingkat sepertriliun detik).

Hanya dengan basis temuan-temuan sains itulah maka pemikiran filosofis yang muncul dari kalangan ilmuwan (bukan dari kalangan filsafat!) bisa mencapai keunggulan ide yang sangat mendalam sekaligus sangat cemerlang dan imajinatif, dan dalam banyak hal bahkan mampu melahirkan manfaat praktis bagi banyak orang, termasuk orang awam seperti saya dan pakar filsafat seperti Bung Sitorus.

Misalnya, fisikawan Stephen Hawking menyatakan bahwa beberapa saat setelah Big Bang terjadi (dan satuan waktunya disebut “waktu Planck”, dirumuskan oleh Max Planck), alam semesta berbentuk seperti shuttle cock yang rebah, dan bagian dasar/pangkalnya berupa ruang murni, tanpa waktu. Ruang murni, tanpa waktu — sebab pada titik itu waktu belum ada.

Filosof mana yang sanggup membayangkan kemungkinan ini? Dan Hawking bukan sekadar membayangkan, tapi mengajukan argumen panjang-lebar dengan aneka penjelasan matematika yang bisa didiskusikan, termasuk digugat dan dikoreksi oleh semua orang lain.

Klaim sebesar itu bukan muncul dari subjektifitas, bukan berdasar spekulasi pikiran pribadinya sehingga tidak mungkin dipercakapkan secara inter-subjektif, sebagaimana lazimnya tebakan-tebakan arbitrer kaum filosof (sehingga kita hanya bisa menelan total saja atau menolaknya total, tanpa kemungkinan ketiga; meski tentu saja orang tetap bisa mendiskusikan spekulasi-spekulasi mereka jika doyan dan jika ikhlas menoleransi kesia-siaan). Tidak ada yang lebih filosofis dibanding sains.

Dengan gambaran ringkas yang seterang matahari itu, apakah berarti filsafat sebagai disiplin (sekali lagi: ini berbeda dari pemikiran filosofis) tidak perlu lagi dipelajari? Tentu masih perlu. Tapi ia perlu dipelajari sebagai bagian dari sejarah pemikiran manusia tentang alam semesta dan tentang dirinya sendiri.

Ide-ide lama para filosof kuno itu tidak harus serta merta dilempar ke kompleks pemakaman ide (kompleks semacam ini ada di banyak negara yang warganya gemar berpikir seperti Bung Sitorus; dan temuan-temuan mutakhir sains selalu membuat isinya bertambah). Mereka perlu diperiksa sebagai history of human ideas, bukan sebagai working ideas yang mungkin dimanfaatkan bagi kegunaan praktis demi membuat kondisi dunia dan umat manusia lebih baik.

Jangankan disiplin filsafat, yang punya tradisi panjang dan kaya — yang dicetuskan oleh the best minds di beberapa kawasan dunia di zamannya — sedangkan ilmu sulap dan perdukunan perlu juga dipelajari sebagai bagian dari sejarah manusia dan antropologi, mungkin juga arkeologi.

Hamid Basyaib
Hamid Basyaib
Aktivis dan mantan wartawan; menerbitkan sejumlah buku tentang Islam, masalah-masalah sosial, dan politik internasional.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.