Di negara dengan jutaan penganut Buddha, telur malah dipilih untuk menggugat kekuasaan. Telur berada dalam demonstrasi. Di tangan kaum demonstran, telur ditunjukkan memiliki sekian gambar dan pencantuman huruf. Telur-telur dihadirkan dalam gejolak politik di Myanmar: mengaitkan kesakralan dalam upacara agama dan pengharapan demokrasi. Telur-telur mudah pecah tapi dimaknai menentang junta militer.
Pengakuan seorang demonstran: “Saya beragama Buddha, tetapi saya bergabung dengan kampanye ini karena lebih mudah menyuarakan lewat telur. Saya berdoa agar Myanmar kembali ke demokrasi” (Jawa Pos, 5 April 2021). Telur, simbol tak lugu. Di tatapan mata, ia berada dalam ketegangan pendoa dan represi militer. Telur di hadakan militer berwatak keras, memaksa, angkuh, dan memerintah. Kita mengimajinasikan suara lantang, injakan sepatu, dan letusan senjata. Telur-telur berpsarah dalam kalah dan pecah.
Telur dan junta militer di Myanmar menjadi berita di dunia, mengajak orang berpikiran simbol dan patokan pemaknaan bisa berubah. Penganut Buddha dan telur paskah mengabarkan usaha saling mengerti dampak-dampak religiositas bila dihadirkan berbarengan demi demokrasi. Telur melampaui santapan. Ia telah naik derajat dalam batas samar: keselamatan dan kematian, kemenangan dan kekalahan. Telur persembahan dari ayam-ayam selama ratusan tahun menjadi binatang (ter)penting di keluarga-keluarga dalam raihan impian demokrasi. Di Amerika Serikat, ayam-ayam mengisahkan keluarga memiliki kesadaran ketersediaan pangan di sekitaran rumah, selain tetumbuhan.
Telur-telur memang disantap keluarga atau dijual menghasilkan rezeki. Kita teringat telur membentuk album keluarga-keluarga di Amerika Serikat mengaku negara mengagungkan demokrasi. Kita mengakui setelah khatam novel-novel gubahan John Steinbeck tak melupa mengisahkan ayam dalam beragam peristiwa di Amerika Serikat. Telur bermasa lalu demokrasi, diajukan ulang di Myanmar dengan penambahan dalih-dalih religius. Telur, acuan konflik dan harmoni. Cerita demi cerita mengenai telur sering realis tapi sah tergunakan sebagai simbol, bergerak dari agama ke politik.
“Seandainya saya diperintah untuk memihak antara tembok yang tinggi kukuh dan sebutir telur yang pecah karena membentur tembok itu, saya akan memihak pada telur yang pecah itu,” pengakuan Haruki Murakami. Penulis kondang kelahiran Jepang itu mengajukan simbol tembok dan telur saat mengetahui novel-novel terbit dalam puluhan bahasa dan menerima penghargaan-penghargaan. Novel dan penghargaan itu menimbulkan dilema tapi Haruki Murakami memilih hadir bersuara saat berada di Jerussalem, Spanyol, Jepang, Amerika Serikat, dan pelbagai negara. Di Jerussalem, 2009, ia mengucap keberpihakan meski sadar penerimaan penghargaan memicu polemik gara-gara berlatar konflik Israel-Palestina.
Ia memberi kiasan atas keputusan mau menerima Jerussalem Prize dan berani menanggungkan kecaman atau kritik dari para pengarang atau pembaca. Haruki Murakami menjelaskan pilihan kiasan: “Dalam beberapa hal, makna di balik kiasan itu begitu jelas dan sederhana. Para pembom, tank, roket, dan bom fosfor putih yang meluncur ke ketinggian, itulah kiasan bagi tembok yang menjulang tinggi. Sementara telur adalah rakyat kebanyakan yang tak bersenjata yang tertembak, terbombardir, dan terbakar oleh senjata-senjata yang dikerahkan dalam peperangan” (Haruki Murakami, Seni Menulis Fiksi, 2020). Kemahiran memberi makna membuktikan ia memang novelis ampuh, sadar berpengaruh dalam kesusastraan dan politik global. Pada masa berbeda, omongan Haruki Murakami mungkin tak hadir di Myanmar saat orang-orang memilih telur paskah demi mengembalikan demokrasi dan menentang kekuasaan-militer. Telur dan Haruki Murakami belum pasti teringat.
Di Indonesia, telur itu lumrah berada di tarangan dan piring. Telur-telur beragam ternak kadang dikehendaki menetas, menghasilkan keturunan. Telur pun santapan. Para leluhur menjadikan telur itu makanan enak, pernah membedakan pengelasan sosial-kultural. Di sejarah, telur termaknai melampaui urusan makan. Telur digunakan dalam ritual-ritual. Kehadiran dalam sakral. Pengetahuan dan amalan terwariskan bagi kita mengartikan telur pada abad XXI. Pada adegan berbeda, telur-telur mendapat tambahan peran. Kita mudah mengingat sekian demonstrasi menggunakan telur busuk. Pelemparan telur busuk mengarah kantor atau gerbang institusi-institusi sedang digugat menguak “kebusukan”. Kita mengetahui lemparan telur busuk menghajar korupsi, rebutan kekuasaan, dan kecurangan dalam demokrasi. Telur-telur ditakdirkan pecah dan menghasilkan bau busuk. Telur di ruang politis.
Kita mau jeda. Telur-telur di kancah perang, demonstrasi di Indonesia, atau kisruh politik di Myanmar: menghadapkan keras dan pecah. Busuk pun tercatat. Kita memilih puisi, jeda dari hal-hal politis. Puisi bukan jawaban tapi sodoran memikirkan kedirian dan telur, berbeda dari biografi novelis Haruki Murakmi. Di khazanah sastra Indonesia, kita memiliki telur dalam puisi gubahan Sapardi Djoko Damono, menjauhi heroik atau konflik-politik. Renungan kecil saja. Kita membaca telur digubah pada 1973. Babak awal Soeharto mengesahkan pembangunan nasional, menginginkan ratusan juta orang bisa makan bergizi. Pangan menjadi patokan makmur dan sejahtera. Kita mengerti telur belum tentu tersedia di keluarga-keluarga Indonesia untuk pemenuhan makan bergizi. Telur sering berada di buku pelajaran, brosur, poster, atau spanduk berisi petuah-petuah pemerintah.
Di puisi berjudul “Telur, 1”, kita membaca: Ada sebutir telur di tengah tempat tidurmu yang putih/ rapih. Kau, tentu saja, terkejut ketika pulang malam-malam/ dan melihatnya di situ. Barangkali itulah telur yang kadang/ hilang kadang nampak di tangan tukang sulap yang/ kautonton sore tadi./ Barangkali telur itu sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau/ istrimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya. Puisi bukan mengenai makanan tapi sulapan. Telur itu “keajaiban” bagi orang-orang pernah melihat atau kehilangan dari pandangan.
Si penggubah puisi tak menggubris politik, kelaparan, atau pembangunan nasional. Telur dalam pengisahan ringan. Pemunculan pesan bila manusia boleh menginginkan berada dalam telur. Di situ, ia berdiam atau istirahat terbahasakan tenteram. Telur itu ketenteraman, berbeda jauh dari perang dan demonstrasi politik. Begitu.