Rabu, April 24, 2024

Tauhid dan Trinitas: Jangan Dipertentangkan!

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

“Dipertentangkan” bukan kebalikan dari “dipersamakan.” Tujuan tulisan ini tidak untuk mempersamakan doktrin tauhid dalam Islam dan trinitas dalam Kristen. Keduanya jelas berbeda. Yang pertama menekankan keesaan Tuhan dalam pengertian yang ketat, sementara yang kedua mengakui diferensiasi keesaan tanpa fragmentasi.

Argumen utama yang hendak dikembangkan di sini ialah perbedaan antara Islam dan Kristen bukan terletak pada keesaan Tuhan. Keduanya adalah agama monoteistik atau tauhidik. Baik dalam Islam maupun Kristen, keunikan dan absolutisme keesaan Tuhan dijunjung tinggi. Kedua agama ini menolak keras kesyirikan. Namun demikian, Islam dan Kristen berbeda dalam mengekspresikan keesaan tersebut.

Untuk mendukung argumen di atas, saya akan tunjukkan bahwa baik tauhid maupun trinitas sama-sama menghadapi kerumitan dalam menjelaskan apa maksudnya Tuhan itu satu. Kerumitan itu tergambar dalam dua hal. Pertama, konten dari formula tauhid dan trinitas. Kedua, proses kanonisasi kredo hingga diterima luas yang membutuhkan waktu cukup lama. Dua hal itulah yang akan menjadi fokus tulisan ini.

Rumit dan Sulit

Orang yang membentur-benturkan tauhid dan trinitas biasanya berargumen bahwa konsep tauhid dalam Islam simple dan mudah dipahami, sementara trinitas itu sulit dan tidak masuk akal. Tentu, kesimpulan seperti ini salah kaprah karena sesungguhnya keduanya sama-sama sulit dipahami.

Bukan hanya kaum Muslim yang merasa kesulitan memahami trinitas. Kalangan Kristen juga. Teolog kenamaan Jerman abad ke-19, Friedrich Schleiermacher, tampak enggan berbicara tentang trinitas. Dalam karya besarnya, Der Christliche Glaube (Iman Kristen), filosof yang dikenal sebagai “bapak teologi liberal” ini menyinggung soal trinitas hanya beberapa baris di bagian apendeks buku yang terbit dalam dua jilid tebal itu.

Pesan Schleiermacher jelas: Semakin sedikit bicara trinitas semakin baik. Karena itu, sudah menjadi konsensus di kalangan Kristen untuk menyebut trinitas sebagai misteri Ilahi. Untuk memahaminya perlu bimbingan wahyu.

Namun demikian, doktrin itu bukan tidak bisa dijelaskan. Pada abad ke-13, Thomas Aquinas menulis karya paling berpengaruh dalam literatur Kristen hingga sekarang, berjudul Summa Theologiae, persis untuk menjelaskan misteri itu. Aquinas juga menulis De Rationibus fidei contra Saracens, yang khusus menjawab keberatan kaum Muslim secara rasional.

Tidak cukup ruang untuk mendiskusikan pandangan Aquinas di sini. Poin yang hendak disampaikan ialah, ya betul trinitas itu konsep rumit, tapi bisa dijelaskan.

Sebenarnya tauhid yang dipahami kaum Muslim juga tidak kurang rumit dibanding trinitas. Apa maksudnya Allah itu esa, tidak mengenal diferensiasi? Kalau kita mengikuti diskusi para ulama klasik terkait dzat Allah dan sifat-sifat-Nya, akan tampak kesulitan itu memenuhi jagat intelektual Islam.

Secara karikatural, perdebatan tentang watak sifat-sifat Allah dibagi dalam dua kubu: Mereka yang menegaskan dan mereka yang menafikan. Biasanya kalangan Sunni dan Syi’ah dikelompokkan pada yang pertama: Tuhan punya sifat-sifat tertentu yang ada bersama-Nya. Mu’tazilah, di sisi lain, dikategorikan pada yang kedua karena menganggap keberadaan sifat-sifat tersebut mencederai keesaan Tuhan. Karena itu, mereka mendeklarasikan diri sebagai ahl al-tauhid yang sebenarnya.

Perlu diketahui, di dalam kedua kubu tersebut terdapat beragam—atau tepatnya, perbedaan—sudut pandang, yang dipicu oleh betapa rumitnya konsep tauhid itu. Terkait keberatan Mu’tazilah, ulama-ulama Sunni Asy‘ariyah mengklaim sifat-sifat Tuhan itu identik dengan Tuhan, tapi bukan Tuhan. Rumit, kan?

Untuk menjelaskan kerumitan tersebut, kalangan Sunni dan Syi’ah mengembangkan tipologi keesaan Tuhan. Yang umum didiskusikan ada empat: tauhid al-dzat (keesaan dzat), tauhid al-sifat (keesaan sifat-sifat), tauhid al-af‘al (keesaan perbuatan) dan tauhid al-‘ibad (keesaan ibadah). Ada yang menyebut dua level: tauhid uluhiyah (tauhid ketuhanan) dan tauhid ‘ubudiyah (tauhid peribadatan). Kategori-kategori ini diperlukan karena memang tidak mudah menjelaskan apa maksud keesaan Tuhan itu.

Berkembang Secara Bertahap

Perdebatan ulama terkait isu di atas kerap melibatkan pertentangan dan konflik cukup tajam, bahkan berdarah. Apalagi jika persoalan teologis itu dimasuki kepentingan politik, seperti terlihat dalam peristiwa mihnah (inkuisisi) pada masa Khilafah Abbasiyah. Tak terhitung jumlah ulama dari kedua kubu yang dijebloskan ke penjara dan dipersekusi.

Perlu ditambahkan, mihnah itu bagai ledakan bom waktu dari berbagai ketegangan yang terjadi sebelumnya, yang memperlihatkan betapa kerasnya pertikaian kaum Muslim dalam memahami keesaan Tuhan. Jadi, jangan mengira rumusan sifat-sifat Tuhan yang diajarkan di madrasah dan pondok pesantren begitu saja disepakati karena semuanya sudah dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadits. Tidak!

Sebelum menjadi pandangan ortodoksi, rumusan tauhid dan sifat-sifat Tuhan merupakan salah satu persoalan yang menyulut api permusuhan. Suatu saat pada masa Khilafah Umayyah, terjadi perdebatan sengit antara Muqatil bin Sulaiman (d. 150/767) dan Jahm bin Safwan (w. 128/746) di sebuah masjid di Marwa, Kharasan, tentang sifat-sifat Tuhan. Muqatil—yang dikenal dekat dengan penguasa—mengusir Jahm keluar dari Marwa.

Diceritakan dalam berbagai kitab biografi, pertikaian Muqatil-Jahm tidak berakhir di situ. Keduanya memutuskan bergabung dengan dua kubu politik yang bertikai, dan Jahm pun dibunuh dalam sebuah peperangan. Dua orang tersebut cukup legendaris. Muqatil dikenal sebagai mufasir paling awal yang karya utuhnya sampai kepada kita sekarang, sementara warisan pemikiran Jahm dirawat baik oleh pengikut maupun penentangnya, dan dikenal dengan mazhab Jahmiyah.

Demikianlah potret suram ketegangan teologis di masa lalu yang harus kita hindari sekarang. Juga, ada pelajaran penting lain yang relevan. Yakni, rumusan kredo tauhid tak serta-merta diterima luas. Proses penerimaannya terjadi secara gradual.

Fenomena serupa dapat dilihat dalam fiksasi akidah Kristen. Seperti jamak diketahui, rumusan doktrin trinitas yang diimani umat Kristiani sekarang disepakati ratusan tahun setelah Yesus. Konsili Nicaea (sekarang di wilayah Turki) tahun 325 menyepakati kredo trinitas, setelah sebelumnya beredar beragam perspektif, termasuk dari Arius, rohaniwan Alexandria (Mesir).

Konsili ini diprakarsai oleh raja Romawi Konstantin, yang kerap menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan kredo Nicaea tersebut. Seperti bisa diduga, konsili Nicaea tidak menyelesaikan semua hal. Pertentangan terus berlanjut. Konsili demi konsili dilakukan. Akhirnya, mereka menyepakati rumusan keimanan Kristen soal Yesus pada konsili Chalcedon pada 451. Yakni, Yesus sebagai sepenuhnya Tuhan dan sepenuhnya manusia. Hasil konsili inilah yang kelak menjadi ajaran Kristen.

Semoga sekarang menjadi jelas bahwa keimanan Islam dan Kristen berkembang secara perlahan. Tentu saja rumusan kedua doktrin tersebut dipengaruhi dan dibentuk oleh faktor dan idiom lokal di zamannya. Yang jarang didiskusikan ialah sejauhmana artikulasi doktrinal juga diwarnai oleh interaksi antaragama.  Misalnya, bagaimana orang-orang Kristen memahami trinitas dengan menggunakan idiom Qur’an? Suatu saat saya akan tuliskan tema ini.

Poin terakhir: Saya sering mendengar orang berkata bahwa trinitas tidak dikenal dalam Alkitab. Memang, kata “trinitas” tidak ada dalam Alkitab, tapi kontennya dapat ditemukan. Demikian juga kata “tauhid” tidak muncul dalam al-Qur’an, tapi pengertian keesaan Tuhan dapat dijumpai di banyak tempat.

Jadi, jangan mempertentangkan tauhid dan trinitas. Mengetahui perbedaan keduanya penting, tapi perbedaan bukan untuk dibenturkan. Sebab, meminjam istilah Gus Dur, “berbeda tetapi tidak bertentangan” (2002).

Kolom terkait

Jangan Menuduh Kristen Itu Syirik!: Memahami Kristologi Qur’an

Silakan Tuding Kristen Syirik! [Mengapresiasi Mun’im yang “Sudah Lebih” Katolik]

Siapakah Orang Kafir Itu? Telaah Kronologi dan Semantik Al-Qur’an

Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir

Yesus, Tuhan Kaum Muslim Juga? [Tanggapan untuk Prof. Mun’im]

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.