Sejak 1998, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) selalu memberikan Suadi Tasrif Award kepada kelompok-kelompok yang memperjuangkan kebebasan berekspresi di Indonesia. Pada 2015, Joshua Oppenheimer menerima penghargaan Suadi Tasrif. Kemudian, di tahun 2016 ini, Forum LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex and Questioning) dan IPT (International People’s Tribunal) 65 juga menerimanya.
Suadi Tasrif adalah peletak dasar kode etik jurnalis kita dan aktivis hak asasi manusia (HAM) yang ternama. Ketua AJI Suwarjo menyatakan hadiah Suadi Tasrif diberikan pada tahun ini di tengah keprihatinan terhadap maraknya represi akan perbedaan pendapat. Kasus penyerangan atas rumah ibadah, penutupan forum diskusi, dan penggusuran komunitas adat merupakan keprihatinan AJI, karena seakan negara tutup mata terhadap hal tersebut.
Namun, tidak semua perwakilan negara maupun pemerintah tutup mata, apalagi mencurigai Suadi Tasrif Award. Berbeda dengan kekhawatiran sebagian pihak, Menteri Agama Lukman Saifuddin mengapresiasi penghargaan tersebut dan pihaknya membuka diri untuk dialog dengan mengesampingkan perbedaan filosofis, teologis, maupun lainnya.
Menteri Lukman juga menyatakan kebebasan berekspresi merupakan hal yang sangat baik, dan pihaknya siap merangkul pihak yang berbeda pendapat. Pendapat Menteri Agama ini diharapkan bisa didukung segenap elemen pemerintah Joko Widodo, bukan semata pendapat pribadi atau Kementrian Agama saja. Saya kira Menteri Lukman bisa memberikan pendapat yang bijak, karena dia tidak menilai Suadi Tasrif Award secara sepotong-potong tanpa melihat konteks sosio-historis yang melingkupi kemenangan LGBTIQ dan IPT 65.
Penghargaan atas Joshua Oppenheimer dan IPT 65 juga harus dilihat dalam perspektif lebih luas bahwa pelanggaran HAM yang terjadi pada era 60-an tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik internasional saat itu: terjadi perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Amerika membawa bendera ideologis “operasi anti-komunis” dan Soviet dengan bendera “perang pembebasan rakyat”.
Baik AS dan US menggunakan proxy mereka masing-masing di seluruh dunia untuk saling berperang, agar konfrontasi langsung antara kedua adidaya tersebut bisa terhindarkan. Revolusi Kuba, peristiwa G30S, perang Vietnam, operasi Jakarta di Chili, perang Afghanistan, pembangunan Tembok Berlin, dan lainnya, merupakan “benturan” antara berbagai proxy tersebut, dengan paling tidak hanya salah satu dari adidaya yang terlibat langsung. Perang dingin adalah proxy war dan Indonesia tidak luput dari hal tersebut.
Dengan berakhirnya perang dingin dan Amerika Serikat sebagai pemenang de facto, maka “bola” berada di tangan AS untuk membuka semua dokumen operasi anti-komunis yang mereka lakukan. AS sudah melakukannya dengan menerbitkan dokumen rahasia mereka yang selama ini disimpan CIA.
Tak kalah dengan AS, intelijen eks-Cekoslovakia bahkan mengklaim dokumen Gilchrist adalah buatan mereka sendiri, untuk memancing Partai Komunis Indonesia dan TNI-AD melakukan gerakan. Mengapa Cekoslovakia melakukan gerakan tersebut? Karena Blok Timur sebenarnya juga kurang suka dengan Tiongkok yang pro-PKI. Jadi, terjadi perang dingin di dalam perang dingin.
AS dan Ceko sudah mempublikasikan keterlibatan mereka dalam “operasi anti-komunis” tersebut. Sekarang bola ada di pemerintah Indonesia untuk bersikap dengan bijak, terutama dalam menyikapi Suadi Tasrif Award. Walaupun banyak pihak, baik dari perwakilan masyarakat sipil dan negara memboikot Simposium 1965 yang diselenggarakan pemerintah, paling tidak hal tersebut merupakan sedikit titik cerah karena sudah mengambil langkah yang lebih progresif dibanding rezim sebelumnya.
Penghargaan atas komunitasi LGBTIQ menjadi menarik jika kita lihat dari kacamata yang sedikit berbeda, yaitu secara antropologis atau etnografis. LGBT dalam perspektif modern memang merupakan sebuah gerakan yang baru. Hanya, dalam perspektif kearifan lokal, hal tersebut bukan sesuatu yang baru. Bahkan sudah ratusan atau ribuan tahun mendahului gerakan LGBT modern.
Sebagai contoh, budaya Bugis di Sulawesi Selatan mengenal lima jenis gender: oroane (pria), makkunrai (perempuan), calalai (perempuan tomboy), calabai (lelaki yang seperti perempuan), dan bissu (bukan lelaki maupun perempuan). Komunitas Bissu merupakan pemangku adat Bugis dan dipercaya memiliki spiritualisme yang sangat kuat.
Dalam konteks gender budaya Bugis, mana definisi gender yang disebut “konvensional”? Tentu yang konvensional adalah pembagian lima gender yang selama ini mereka yakini. Bissu sendiri adalah agama kuno bangsa Bugis yang sudah ada jauh sebelum Islam dan Kristen masuk ke Sulawesi.
Nasib penghayat Bissu sangat tragis, karena sewaktu pemberontakan Darul Islam/TII meletus di Sulawesi Selatan, banyak pengikutnya yang tewas karena kekejaman TII. Padahal, komunitas Bissu sudah ribuan tahun berada di tanah air, jauh sebelum wacana mengenai LGBT datang dari Barat maupun luar negeri. Upaya pemerintahan Presiden Soekarno beserta TNI dalam menumpas DI/TII akhirnya menyelamatkan komunitas Bissu dan memberi kesempatan mereka untuk berkarya lagi di masyarakat.
Kita juga tidak melupakan gemblak tidak terpisahkan pada tradisi Reog Ponorogo. Kehadiran gemblak merupakan bagian terpenting pada kontinyuitas tradisi tersebut, yang tidak dapat dikesampingkan sama sekali. Kearifan lokal seperti ini yang seharusnya diselamatkan dan dipertahankan oleh negara kita, bukan dikriminalisasi seperti dilakukan DI/TII.
Sikap bijak Menteri Lukman Saifuddin harus kita dukung sepenuhnya. Sebagai seorang demokrat, Lukman tidak percaya bahwa perbedaan pendapat harus direpresi, namun harus diapresiasi dengan dialog yang sehat. Hanya saja kondisinya menjadi berbeda jika kita melihat agenda pemerintahan saat ini.
Fokus utama pada pembangunan infrastruktur, dan bukan pada demokratisasi maupun penegakan HAM, masih menjadi prioritas utama. Hal tersebut terlihat pada RAPBN 2017 yang umumnya semua kementerian mengalami penurunan anggaran, tetapi Kementerian Pekerjaan Umum naik secara signifikan.
Walhasil, kita mesti selalu ingat bahwa Reformasi 1998 diperjuangkan agar kebebasan berekspresi dapat dijamin sepenuhnya oleh negara, terutama dalam relasinya dengan pasal 28 UUD 1945.