Jumat, April 26, 2024

Tantangan Pendidikan Dasar Era Digital

Desvian Bandarsyah
Desvian Bandarsyah
Dekan FKIP UHAMKA dan Intelektual Muhammadiyah

Pendidikan dasar kita menjadi aktor penting dalam mempersiapkan generasi Indonesia masa depan. Di tengah persoalan bangsa yang semakin kompleks antara lain disebabkan semakin melemahnya sikap inklusif dan kesadaran akan keragaman dan kebangsaan, pendidikan dasar menjadi agen yang dapat diandalkan untuk mempersiapkan generasi Indonesia masa depan dengan kompleksitas tantangannya, melalui praktek penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran dengan muatan nilai-nilai yang sesuai tuntutan di situasi yang dihadapi.

Maka perlu sesekali menengok dirinya kembali dalam kesunyian refleksinya dengan membatin dan merenung tentang mengenai apa kerjakan, bagaimana mengerjakannya, dan untuk apa mengerjakan itu.

Pertanyaan menengok dirinya sendiri seraya mempertanyakan keberadaannya, penting bagi pendidikan dasar kita yang bertujuan membangun kesadaran manusia, insan pribadi generasi bangsa yang dididik. Tanpa sekurangnya melakukan pertanyaan, lebih tepatnya perenungan semacam itu, maka pendidikan dasar dalam prakteknya hanya memperpanjang deretan generasi bangsa yang kehilangan nalar potensialnya sebagai individu dalam kehidupan.

Kompleksitas itu menyangkut persoalan infrastruktur, guru, kepala sekolah, dan lulusan yang mampu memasuki jenjang pendidikan selanjutnya dengan baik. Di samping itu juga, kemajuan teknologi innformasi telah menjelma menjadi peluang dan tantangan yang semakin memperumit persoalan pendidikan dasar kita. Maka diperlukan kemampuan dan keinginan “Menengok diri sendiri”, seraya merenungkan keberadaan guru dalam menjalankan misi-misi edukatif dalam pendidikan dasar.

Membatin dan merenung adalah memutar kenangan dalam pikiran. Apa yang telah dilakukan perlu untuk direfleksikan melalui perenungan agar kita selalu jernih memandang diri kita dan tugas-tugas pendidikan dasar kita pada hari ini dan di masa depan dalam mempersiapkan generasi guru yang akan mendidik bangsa kita di masa depan.

Bukankah itu pekerjaan mulia, bahkan teramat mulia. Menuntun “calon manusia” untuk berjumpa dengan watak kemanusiaan yang “tertidur” dalam dirinya. Sebuah ritual kehidupan yang menganggungkan nilai utama dan Allah bangga dengan ritual kemanusiaan semacam itu.

Dalam konteks itu, menjadi penting melakukan refleksi atas berbagai sepak terjang kita sebagai pendidik, terlebih lagi pendidik anak-anak yang baru memulai tumbuh menjadi generasi bangsa.

Perkembangan dunia yang tidak hanya semakin cepat, terutama disebabkan oleh bergulirnya informasi dengan sangat cepat dan massif, tetapi juga mengarah pada kompleksitas yang semakin rumit, memerlukan cara pandang baru bagi pendidik dasar.

Pendidikan dasar memerlukan perangkat pisau analisis dan paradigma baru yang dikembangkan dari apa yang dimiliki dan dijalankan selama ini agar dapat menjawab tuntutan keberlanjutannya dan generasi bangsanya di dalam kemasyarakatan dan kebangsaannya.

Tulisan ini berupaya mengkaji persoalan apa yang dibutuhkan oleh pendidikan dasar sebagai pondasi bagi manusia terdidik, juga berupaya memberikan penjelasan menyangkut tantangan dan situasi yang dihadapi pendidikan dasar di era digital. Bagaimana pendidikan dasar menjalani situasi itu pada masa kini dan ke depan, sebagai tanggungjawab yang diemban demi masa depan generasi bangsa.

Pendidikan dasar perlu apa?

Tulisan pada bagian ini dimulai dengan cerita yang cukup panjang mengenai seorang tokoh dan sekaligus salah satu penjahat kemanusiaan terbesar yang pernah mengguncang sejarah dunia pada hampir satu abad yang lampau di muka bumi, Adolf Hitler (baca Hannah Arent, 1996 dan baca juga Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk. 1999).

Beginilah cerita itu. Hitler merupakan anak dan murid yang rajin, ujian sekolah tidak pernah curang dan hampir tak pernah mangkir dari sekolah, prestasi belajarnya bagus sekali, nilai dalam rapornya selalu berderet huruf A.

Hitler juga senang menggambar, tenang dan tidak banyak bicara, tidak juga pernah bikin ulah. Singkatnya Hitler merupakan anak yang manis dan menyenangkan banyak orang di sekitarnya. Satu-satunya yang dikeluhkan para guru terhadap Hitler adalah bahwa ia kurang total menyimak pelajaran.

Menurut mereka, dia terlalu berbakat jadi pelamun dan pemimpi. Hampir semua orang menduga Adolf kelak bisa jadi penyair dan nyaris tidak ada yang menduga ia akan menjadi penjahat dunia yang menebar kematian bagi manusia dan rasa kemanusiaan.

Banyak orang menghela napas lega ketika tahun demi tahun berlalu, Hitler kecil sampai remaja belum juga menampakkan gejala-gejala “kreatif yang menakutkan” sebagaimana ketika ia menciptakan malapetaka bagi negerinya dan dunia. Hitler menampilkan pilihan yang ditinjau dari sudut pandang umum wajar adanya, ia ingin jadi tentara.

Namun salah bila dikira Hitler akan sembuh dari mimpi hanya karena tidur mengeloni bedil. Tetapi kemudian, dunia ternganga menghadapi kenyataan yang selalu gagal mengajarkan dia, bahwa lebih baik menjadi penyair dan berpuisi dengan jelek ketimbang pemimpi bersenapan yang mengira dirinya titisan para dewa yang bisa menertibkan dunia.

Hitler, sang Führer, menggelar impian kolosal, melibatkan jutaan figuran yang berperan sebagai Korban, mengupah jutaan aktor lain yang, seperti kata Betrand Russell, “barangkali beberapa di antaranya benar-benar manusia-manusia keji berdarah dingin, namun sebagian besar mungkin kurang lebih hanya gila.”

Lalu sejarah membuktikan bahwa impian Hitler bukan hanya kesesatan mental pribadi, melainkan impian banyak orang. Impian di tengah bangsa-bangsa beradab yang mengenyam sekolah dan pendidikan, mereka melakukan pembantaian dan pembumihangusan. Itu membutikan betapa sejenis impian Hitler berada hadir di segala zaman.

Di kota kecil Linz yang suram di Austria saat itu, ketika guru-guru berceloteh tentang Kekaisaran Romawi, Alexander Agung dan Napoleon Bonaparte, ketika Hitler duduk manis di bangku sekolah menengah yang kusam, adakah yang tahu bahwa ia menyimak dan memupuk impian dan fantasi dengan segenap jiwanya?

Apakah terbesit di kepala mereka bahwa Hitler yang lontang-lantung yang akan mendaftar di Akademi Seni Rupa, kelak masuk ensiklopedi dengan sebutan tiran segala zaman? Tidakkah di sekolah itu Hitler bukan hanya disuruh menghapal berapa jumlah negara taklukan Alexander Agung?

Bukankah pendidikan dapat dipakai sebagai alat untuk meramal masa depan manusia yang didik?. Itulah masalahnya, tidak ada sekolah dan pendidikan tiran, nyatanya kita punya persediaan tiran yang tak pernah habis dalam sejarah bangsa di dunia, itu pun belum terhitung para asisten tiran. Lalu kemudian muncul pertanyaan mendasar, bagaimanakah pendidikan itu? Siapa dan apa sebenarnya guru itu?

Pendidikan adalah suatu gagasan. Di dalamnya ada bakat, tekad, ketersediaan, dan faktor “kebetulan” terpaksa disisihkan meski bukan dianggap tidak ada. Tinggal gagasan yang kurang-lebih telah ‘suci dari hama’ yang berenang di jambangan teori pendidikan untuk dipelajari, diperdebatkan, dan diuji-coba. Banyak orang mengatakan, gagasan mustahil mekar kalau digembok dalam kandang.

Gagasan hanya bisa tumbuh dewasa jika dilepas keluyuran seperti ayam kampung, diberi ruang agar segala pengaruh bebas bertandang dan saling berperang, bertabrakan, mati alami atau musnah kecelakaan. Tetapi tidak banyak yang bersedia menuruti saran semacam itu karena gagasan tak bisa diasuransikan. Sekali gagasan keluar dari sarang, risiko selalu menghadang.

Gagasan yang kuat dan bugar berotot barangkali dapat lolos dari ancaman dan marabahaya, atau mengalami lecet di sana-sini. Namun gagasan yang ringkih gontai nyaris tak berpeluang melewati masa kanak-kanaknya. Bahkan ide yang lahir prematur hampir bisa dijamin mati di tengah jalan.

Lalu apa yang diperlukan pendidikan dasar kita? Agar generasi anak bangsa tidak berkembang ke arah yang salah. Agar pendidikan tidak menghasilkan manusia sejenis Hitler dan para asistennya. Atau setidaknya agar pendidikan dasar kita dapat meletakkan fondasi yang kokoh bagi perkembangan anak manusia menuju remaja dan dewasa. Ini pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah untuk menjawabnya apalagi untuk melaksanakan jawabannya.

Memahami pendidikan dasar bukan hal yang mudah, terlebih lagi melaksanakannya, ia kerja-kerja dan pekerjaan yang sederhana tetapi menuntut kedalaman pada perhatian, fokus dan komitmen serta kontinuitas yang serius. Memulainya dengan aksi-aksi sederhana, misalnya menanamkan nilai disiplin, kerja keras, menghargai waktu dan menghargai orang lain dalam keragaman kehidupan, mengembangkan nilai kedirian dalam kemandirinnya, serta segala etos positif lainnya.

Suatu upaya yang sudah mentradisi dan menjadi pakem dalam urusan pendidikan, tidak ada yang aneh dan baru. Dimensi yang disebutkan itu pekerjaan sederhana yang kecil dan menjengkelkan dalam pelaksanaannya. Menyita waktu, membuat dan menuntut para pendidik untuk “tenggelam dalam dunia” itu. Tetapi itu bukan pekerjaan mudah, juga bukan tidak bisa dilakukan oleh guru dan pendidikan kita. Tapi (maaf) ini yang tidak dilakukan dalam pendidikan kita pada umumnya, mendidik dengan jiwa dan proses bermakna.

Karena pendidikan yang tanpa jiwa akan mengakibatkan manusia yang didik kehilangan kesadaran dan jiwanya. Jika seorang manusia kehilangan jiwanya, kata Arnold Toynbee (2007: 26), dia akan berhenti menjadi manusia, karena esensi manusia adalah kesadaran atas kehadiran spiritual di balik fenomena, dan jiwanyalah, bukan organisme psikosomatiknya, yang bisa menghubungkan manusia dengan kehadiran spiritual.

Pendidikan menuntun anak didiknya untuk menemukan dirinya. Ini tidak ada mata pelajarannya, kecuali ia tersembunyi dalam gempita proses yang berlangsung di dalam kelas dan sekolah, ketika anak didik dengan kurikulum saling berinteraksi melalui materi pembelajaran, lalu dimatangkan dalam keluarga dan masyarakat. Jadilah ia pribadi dalam proses panjang kehidupan yang dijalani. Maka pembelajaran yang dijalankan oleh guru di sekolah tidak boleh melupakan konsep diri pada individu peserta didik.

Tetapi itu yang dilewatkan dalam model pengajaran di sekolah formal kita, dan secara umum juga dialfakan dalam dinamika kontemporer kita. Tak heran, kalau yang diproduksi dari dunia pendidikan kita kebanyakan adalah SDM yang tidak tahu akan dirinya. Dalam beberapa kasus malahan tidak tahu diri (Riki Dhamparan Putra, 2019: 5-10).

Gagasan pendidikan dengan konsep learning to know, learning to do, learning to be and learning to live together, yang ditawarkan oleh Unesco tidak berjalan dengan bermakna. Akibatnya, individu peserta didik gagal memiliki pengetahuan bermakna, gagal menjalani perilaku bermakna dan gagal menjadi diri pribadi yang bermakna serta gagal menjalani kehidupan persama dengan penuh makna.

Singkatnya mereka belajar tanpa makna. Inilah bentuk kecelakaan dalam pendidikan yang menihilkan konsep diri, konsekwensinya sangat serius bagi kehidupan, yaitu krisis kemanusiaan pada mahluk individu manusia. Suatu ironi, karena bagian paling berharga gagal tumbuh dan berkembang dalam diri individu manusia.

Praktek pendidikan dasar yang bernilai semacam itu, sesungguhnya juga menjadi bagian integral dari keberadaan sekolah dan guru, yaitu rumah dan orang tua serta kebudayaan dan masyarakatnya. Tetapi cerita yang berlangsung pada dua aktor pembentuk generasi anak bangsa yang berkesadaran dalam kehidupannya, rumah dan orang tua, juga masyarakat dan kebudayaannya, nyaris setali tiga uang dengan keberadaan guru dan sekolah.

Tuntutan kehidupan telah menjadikan rumah dan orang tua sebagai tempat persinggahan istirahat semata dengan interaksi nilai edukasi yang minim. Begitu juga masyarakat dan kebudayaan semakin kehilangan peran dan kehilangan fokus untuk membentuk karakter dan ethos generasinya akibat semakin tinggi dinamika sosial dan semakin rentannya posisi nilai dan kebudayaan kita dalam masyarakat.

Maka Trilogi Pendidikan ala Ki Hajar Dewantoro, sekolah, keluarga dan masyarakat tidak saling berkelindan dan terhubungkan serta berjalan bukan hanya sendiri-sendiri dalam relnya masing-masing, tetapi juga saling bertabrakan. Tabrakan semacam itu yang sering menjadikan generasi yang dididik mengalami kematian atas potensi yang dimilikinya.

Maka tuntutan pendidikan dasar kita tidak ada yang baru, karena yang baru hanya inovasi, sebagai respon terhadap perkembangan yang pada dunia di luar pendidikan kita. Inovasi dalam pendidikan muncul karena tuntutan perkembangan yang terjadi di luar sana. Itu menyangkut cara, metode, alat atau sejenisnya yang diinjeksikan ke dalam praktek pendidikan dasar kita.

Tuntutan pendidikan kita juga tidak juga pada persoalan adaftasi, karena adaftasi merupakan perilaku manusia dengan keinginan untuk survive dalam kehidupan. Jika pendidikan ingin survive, maka pendidikan perlu beradaftasi dengan kemajuan jaman (industri dan teknologi serta informasi). Itu juga terjadi di luar sana bukan di dalam diri pendidikan. Apalagi revolusi, sesuatu yang tidak memiliki dasar bagi pendidikan dasar dan pendidikan pada umumnya.

Tidak perubahan yang secara tiba-tiba dan sangat cepat sebagai ciri dari revolusi pada umumnya, karena pendidikan bukan barang yang bisa berubah seketika akibat “badai” dalam perkembangan dunia. Pendidikan  dasar kita bukan dimensi kehidupan yang lepas dan melepaskan diri dari hukum sejarah perkembangan masyarakatnya dan terutama tujuan sejati dari pendidikan dengan nilai-nilai yang diembannya.

Maka yang diperlukan pendidikan dasar kita adalah kembali kepada nilai dan tradisi mendidik dalam pendidikan yang sebenarnya, sesuatu yang sakral, yaitu pendidikan itu sendiri, yang tidak akan pernah dan tidak boleh berubah, hanya karena perkembangan dunia di luar sana yang semakin mekanis dan instrumental. Justrul pendidikan dasar harus hadir dengan mengadakan kritik dan jika perlu perlawanan heroik terhadap kondisi dan tuntutan yang cenderung artifisial dan tergesa-gesa itu.

Yang profan boleh berubah sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, tetapi yang sakral tidak boleh berubah, agar generasi yang didik mengenal diri dan kemanusiaan yang mengendap dalam alam bawah sadar dan alam sadarnya. Agar nilai-nilai kearifan dan kebaikan hadir dalam kehidupan pribadi dan kehidupan bersama dalam masyarakat. Itulah yang sakral dari pendidikan dasar kita, maka itu harus menjadi tujuan dari ide, gagasan, dan praktek pendidikan dan pengajaran di sekolah dasar kita.

Pendidikan dasar juga perlu mengangkat gagasan tentang kesetaraan dalam setiap mata pelajaran dan diajarkan oleh guru dengan pendekatan yang benar, yang menghormati makna penting setiap mata pelajaran itu dalam keseluruhan wajah kurikulum pendidikan kita (Max Rafferty, dalam Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk. hal. 58-68). Karena kurikulum merupakan dimensi kesatuan yang jika dijalankan dalam praktek pendidikan yang benar menjadi totalitas yang membantu siswa untuk menemukan dirinya melalui proses pendidikan dan pembelajaran yang digelutinya.

Pendidikan dasar menuntut setiap guru menguasai mata pelajaran secara menyeluruh dan mendalam, sehingga esensi yang abtraksi dari pendidikan dapat ditangkap dengan utuh olehnya. Dengan demikian, nilai dan arti penting persaingan yang bisa mengembangkan nalar dan ethos serta mentalitas generasi yang dididik di sekolah dapat berlangsung dengan baik, sehingga pendidikan dasar kita dapat melahirkan generasi yang siap bersaing dan berjuang dalam kehidupan dengan etika dan martabat kemanusiaannya.

Maka yang dibutuhkan oleh pendidikan dasar adalah guru yang baik dan handal, bagaimana menyiapkan guru yang baik dan handal bagi pendidikan? Banyak cara, banyak peluang dan juga banyak persoalan dan tantangannya.

Tanpa adanya guru yang baik dan handal, maka kita sebenarnya tengah menyiapkan masa depan bangsa yang suram, karena pendidikan kita hanya akan berputar-putar dalam kebingungan bangsanya, pada akhirnya pendidikan dasar tidak menghasilkan generasi yang dapat mengejar ketertinggalan bangsa ini dari berbagai bangsa lain di dunia.

Guru hakikatnya adalah penyambung tali peradaban, melalui ritualitas kerja yang panjang, peradaban masyarakat dan bangsa bahkan dunia dibentuk. Maka guru perlu dimuliakan. Memuliakan guru pada dasarnya merupakan sebentuk harapan untuk terus memuliakan ilmu dan peradaban (Riki Dhamparan Putra: hal 8-10).

Memuliakan guru adalah dengan memberikan pendidikan keguruan yang baik untuk mereka, karena dengan itu mereka menjadi guru yang kuat, berkarakter, berintegritas, serta memiliki kapasitas dan kapabiltas yang baik dan handal. Itulah cara menempatkan mereka dalam lingkungan kepentingan yang beradab bagi kehidupan. Jika kita kehilangan guru, maka hal itu dapat menjadikan masyarakat kehilangan peradaban.

Dengan demikian diperlukan pendidikan guru yang baik bagi pendidikan dasar kita yang bisa memberi kepastian bahwa kita mendidik guru dengan benar. Karena itu kita perlu mendidik guru kembali, sebelum mereka mendidik murid-muridnya. Menjadi guru yang baik bagi anak didiknya. Itu suatu kemutlakan, tanpa itu tidak akan ada guru yang baik, tanpa itu juga tidak akan ada generasi yang baik.

Guru dan calon guru juga perlu menyadari, bahwa mereka perlu menjadi murid yang baik, karena untuk menjadi guru yang baik, adalah dengan menjadi murid yang baik (Rhenald Kasali, 2019:143 dan Hermawan Kertajaya, 2018:124). Sederhana sekali, tetapi memang tidak mudah mengurai kekusutan benang kualitas guru kita yang terhampar dalam hutan belantara pendidikan nasional kita.

Kebutuhan akan guru yang baik dan handal sudah memasuki tahap yang sangat mendesak dan genting. Karena praktek pendidikan dasar kita yang menghadapi banyak persoalan, tengah berkejaran dengan peluang dan kesempatan yang sedang membentang pada generasi emas Indonesia. Kita tengah menikmati bonus demografi yang sangat mewah pada hari ini.

Akan ada tidak kurang dari 170–190 juta manusia Indonesia yang memiliki rentang usia produktif pada tahun 2035- 2045 yang akan datang dan ini tidak dimiliki oleh banyak bangsa di dunia. negara-negara di Eropa sebagian besarnya sudah lama meninggalkan era itu. Jepang sudah meninggalkan era itu, karena Jepang mengalami bonus demografi pasca Perang Dunia II atau Perang Pasifik.

Indonesia bersama sedikit negara tengah menikmati bonus demografi, jumlah penduduk usia produktif itu yang akan menjadi lokomotif yang akan menggerakan pembangunan Indonesia. Mereka generasi emas Indonesia yang membutuhkan pendidikan dasar dan guru-guru di sekolah dasar yang baik dan handal. Pendidikan dasar kita membutuhkan guru yang baik dan handal. Itu yang dibutuhkan. (Tulisan ini bagian pertama. Bagian kedua akan terbit besok, 14/12/2019, judulnya: Urgensi Pendidikan di Era Digital:Jalan Pendidikan Dasar Kita)

Desvian Bandarsyah
Desvian Bandarsyah
Dekan FKIP UHAMKA dan Intelektual Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.