Minggu, November 24, 2024

Tanah Air, Pasar, dan Neoliberalisme

Agus Hernawan
Agus Hernawan
Penyair, esais, dan peneliti. Terlibat dalam berbagai kerja-kerja edukasi dan advokasi. Pernah terlibat di Tim Advokasi Child Labor-Firestone, di Liberia, Afrika. Pendidikan terakhir, Social Justice and Intercultural Relationship, SIT-Vermont. USA. Bekerja sebagai Fasilitator/konsultan program comdev, mondev, popular education, dan brand kawasan di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
- Advertisement -
Hamparan tanaman kelapa sawit terlihat dari udara di Provinsi Riau, Rabu (29/4). Berdasarkan data Dinas Perkebunan Riau luas areal sawit kini sudah lebih dari 2 juta hektare, namun hanya sekitar 30 persen memiliki kejelasan izin, sehingga kerap memicu terjadi konflik akibat perambahan kawasan hutan dan pencaplokan konsesi perusahaan untuk sawit. ANTARA FOTO/FB Anggoro/Rei/mes/15.
Hamparan tanaman kelapa sawit di Provinsi Riau, Rabu (29/4/2015). Menurut data Dinas Perkebunan Riau, luas areal sawit kini sudah lebih dari 2 juta hektare (sekitar 30 persen tak memiliki kejelasan izin), sehingga kerap memicu konflik akibat perambahan kawasan hutan dan pencaplokan konsesi perusahaan untuk sawit. ANTARA FOTO/FB Anggoro/Rei.

“Tanah adalah hadiah dari Tuhan. Ia milik semua orang seperti halnya udara,” ujar Kabongo. Ketua suku Kikuyu di Kenya ini mengisahkan bagaimana semua tanah Kikuyu kemudian “dibeli” dan “dikontrol” orang putih yang dinamainya Pink Cheeks. “Dibeli” dan “dikontrol”, dalam kamus imperial Inggris, adalah supremasi kekuatan (supremacy of firepower). Kisah tentang “siapa pemilik dan penarik pelatuk senapan”.

Deforestasi pun berlangsung. Siasat menegakkan kekuasaan yang merampok dan menjarah. Dalam nilai tradisional Kenya, tanah dan hutan dimiliki kolektif. Pengikat dan penguat kebersamaan suatu suku, sekaligus sumber penghidupan bersama. Deforestasi menjadi cara sistematis merusak kolektivitas. Subject population pun jadi orang-seorang. Pencerabutan, diikuti pemiskinan, memudahkan tercipta tenaga kerja murah dalam rantai perbudakan.

“Kita harus menemukan tanah sumber bahan mentah dan pada waktu yang sama mengeksploitasi pribumi sebagai budak murah,” teriak Cecil Rhodes. Dimulailah eksploitasi manusia oleh keserakahan modal di mulut meriam. Jutaan orang dari Asia dan Afrika memenuhi lantai geladak kapal-kapal kolonial, menyeberangi Atantik sejauh ribuan mil. Cecil Rhodes pun jadi manusia super kaya, king of finance, dan manusia yang paling bertanggung jawab atas pecahnya Perang Boer.

Persediaan makanan mereka jauh lebih banyak dari kita. Mereka terlihat lebih sehat dan lebih bersih dari kita, demikian bunyi petikan surat Pero Vaz Caminha kepada Raja Manoel I.  Dalam suratnya, Pero Vaz Caminha mengisahkan kemakmuran pribumi di wilayah utara Brasil. “Tanah adalah milik semua orang. Ia seperti matahari dan air. Orang-orang hidup dalam kemakmuran,” ujar Pietro Martire d’Anghiera mengenang masa lalu wilayah utara Brasil itu.

Berbilang tahun kolonialisme, bersambung proyek develomentalis di rezim fasis militer, disusul situasi Neoliberalisme yang menggila sejak 1980-an, wilayah utara Brasil yang makmur berubah jadi salah satu kawasan termiskin di dunia. Nancy Scheper-Hughes dalam penelitian di awal 90-an menggambarkan bagaimana wilayah utara Brasil itu menjadi lumbung kelaparan, wabah penyakit, dan anak-anak yang meninggal tanpa dapat ditolong. Nyaris separuh anak-anak di kawasan rural dijangkiti kelaparan dan tumbuh dalam situasi kekurangan pangan.

Market Access

Orientasi pasar luar (market access), alih-alih mengurangi kemiskinan, sebaliknya justru menjadi bencana kemanusiaan, bahkan ledakan krisis pangan. Vandana Shiva membuat komparasi yang apik untuk pengertian market access. Menurut Shiva, market access merupakan satu senjata mematikan yang digunakan (negara) kaya untuk menghabisi (negara) miskin. Frances Moore Lappe dalam World Hunger (1998) dan Mattew Clement dalam Rice Imperialism (2004) mendedahkan bagaimana teror market access itu terjadi.

Thailand, misalnya, dalam kurun waktu sepuluh tahun, antara 1985-1995, ekspor agrikultur meningkat di atas 65 persen. Di kisaran awal 90-an, tidak kurang dari 35 persen produk beras Asia berasal dari negeri Gajah Putih itu. Namun, di periode sama, hanya dalam perkiraan kotor, 43 persen dari populasi mereka yang tinggal di pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan, dan secara nasional ada 21.5 persen anak-anak mengalami pertumbuhan yang terhambat karena kekurangan pasokan gizi.

Di Brasil, oleh iming-iming keuntungan komparatif, tanah-tanah produktif yang sebelumnya ditanami beras berubah jadi ladang kedelai. Tidak kurang 11.6 juta hektare tanah ditanami kedelai, termasuk memangkas hutan dan menyepak petani miskin untuk jadi buruh tanam. Hasilnya, di akhir 90-an, Brasil adalah pengekspor kedelai terbesar ketiga di dunia (setelah Cina dan Amerika Serikat). Kedelai Brasil menggemukkan ternah di Jepang dan Eropa. Di waktu yang bersamaan, 2/3 rakyat Brasil hidup dalam kondisi kurus dan kelaparan.

Demi mengejar pasar luar hutan hujan Sumatera dan Kalimantan disulap menjadi lautan kebun sawit. Dan apa yang terjadi? Di kedua pulau itu, setiap tahun orang-orang menggantang kabut asap. Puncaknya di 2015 lalu. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sepanjang tiga bulan saja (Juli-Oktober 2015), 50 juta jiwa dipaksa bernafas di udara sewarna tembaga karena dipenuh karbon monoksida.

- Advertisement -

Hanya rentang tiga bulan, setengan juta jiwa terpapar infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), puluhan bayi dari keluarga miskin yang tidak memiliki pendingin udara tewas tanpa pernah tahu tahu apa warna bendera tanah airnya.

Di Muara Kaman, Kalimantan Timur, warga sudah tidak dapat lagi menjala ikan. Limbah sawit memenuhi sungai. Di Provinsi Sumatera Selatan, warga dihalau dari tanah garapan demi sawit yang dijual sebatas raw material. Orang-orang Sakai di Riau tersepak dari perbatin. Perempuan tua dan anak-anak terpaksa memaku di tepi jalan Pekanbaru-Dumai, menadahkan tangan ke mobil yang melintas.

Di Jambi, Suku Anak Dalam berhadapan dengan kekerasan korporasi sawit yang datang dari dunia terang. Industri sawit dengan rantai produksi-distribusi membentuk rantai eksploitasi perkebunan kolonial mengisahkan tanah-tanah yang terampas dan penduduk asli dihalau seperti hewan ternak.

Potret Neoliberalisme

Dalam suratnya yang ditujukan kepada Baud, Van den Bosch menulis, “… Di mana pun, paksaan adalah dasar suatu industri. Tanpa melakukan cara seperti ini, maka di mana pun tak mungkin  diciptakan industri…”

Bosch yang dulu dicela kaum liberal, kini nasehatnya diamini. Situasi Neoliberlisme dilahirkan lewat praktik perampasan tanah (land grabbing) yang dikawal bedil kekuasaan. Negara melemah, demokrasi mengangkang. Penetrasi kapital dan supremasi pasar leluasa menyerbu, salah satunya lewat berbagai proyek agrobisnis skala besar.

Program food estate lantang dikampayekan sebagai model industri pertanian nasional di masa depan. Alhasil, struktur ketidakadilan tercipta. Ada jutaan petani tanpa tanah, juga komunitas-komunitas adat yang dirampas properti ulayatnya. Di Pulau Jawa saja, hampir separuh atau 49, 5 persen petani tidak bertanah.

Sementara di luar Jawa, ada 18,7 persen. Di sisi lain, sebanyak 35 persen luas daratan produktif berpindah ke pemilik modal besar. Ketahanan pangan berganti ketergantungan pada produk impor dan korporasi. Sebanyak 65 persen kebutuhan pangan nasional dipenuhi lewat impor dengan menyedot anggaran mencapai ratusan trilun. Beras didatangkan dari Vietnam, garam dari Australia, jagung dari India, kedelai dari Amerika Serikat, termasuk buah-buahan dan ikan yang dibanjiri produk Cina.

Selama 18 tahun Reformasi pembangunan ekonomi Indonesia makin tersesat dalam Neoliberalisme yang dikoridori Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Satu-satunya cara guna menghindari krisis ekonomi 1998 ialah menggenjot ekspor. Kas negara dikatakan akan terisi, Indonesia akan memiliki kesanggupan menyicil angsuran dan bunga utang, mengatasi soal kemiskinan dan kerusakan ekologis.

Argumentasi optimistik ini berujung negara absen dari membela the sovereign right of people. Wajah Neoliberalisme tidaklah sekadar policy-making di wilayah ekonomi makro, tetapi operasional dari keseluruhan praktik ekonomi-politik yang menderet perubahan pada otoritas konstitusi, pun bangunan sosio-budaya.

Neoliberalisme kini melahirkan ironi kebangsaan sebagai konsekuensi koneksitas tanpa batas antara supremasi pasar dan modal yang mengatur dengan secuil kesenangan yang dinikmati para elite. Betapa ngilu mengingat pidato Bung Karno 64 tahun lalu saat peletakan batu pertama gedung Fakulteit Pertanian Universiteit Indonesia 27 April 1952: “Pertanian adalah soal hidup mati. Mengapa? Karena pertanian adalah nyawa bangsa.”

Hari ini, di lereng Gunung Wilis, para buruh tani hanya dapat mengonsumsi makanan yang diolah dari singkong yang disebut gatol. Di Jawa Barat, di tahun 2015 lalu, ratusan desa mengalami rawan pangan akibat jerat kemiskinan akut.

Rilis Global Hunger Index tahun 2012 yang dikeluarkan International Food Policy Research Institute di Washington menempatkan Indonesia di urutan 50 dari 120 negara. Indonesia berada  di kategori extremely alarming. Mundur ke tahun 2011, rilis The United Nation World Food Program menyebutkan hampir 1 juta balita di Indonesia terkategori kronis malnutrisi, dengan kasus terbanyak terjadi di Nusa Tenggara Timur. Bahkan, 48 persen balita mengalami gizi buruk di Papua.

Di tahun 2015 lalu, ada 11 orang meninggal terpapar krisis pangan di Kabupaten Lani Jaya, Papua. Padahal Papua digadang-gadangkan sebagai lumbung pangan nasional, bahkan lumbung pangan dunia lewat megaproyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

MIFEE gencar dipromosikan, diterbangkan ke New York dalam pertemuan Promoting Responsible International Investment in Agriculture. Dijajakan ke Jepang dalam Tokyo Seminar on Indonesia. Motifnya satu: menarik dana swasta membangun industri pertanian skala besar dari tepi Indonesia. Tapi, hari ini, MIFEE tidak jelas riwayatnya selain memuluskan akuisisi lebih dari 2 juta hektare tanah adat oleh korporasi untuk ditanami komoditas ekspor.

MIFEE pada akhirnya menjelaskan bagaimana desain desentralisasi untuk tujuan luhur merayakan kedaulatan lokal berubah arah di bawah potret Neoliberalisme yang dimodifikasi keserakahan kolonialisme di masa lalu.

Agus Hernawan
Agus Hernawan
Penyair, esais, dan peneliti. Terlibat dalam berbagai kerja-kerja edukasi dan advokasi. Pernah terlibat di Tim Advokasi Child Labor-Firestone, di Liberia, Afrika. Pendidikan terakhir, Social Justice and Intercultural Relationship, SIT-Vermont. USA. Bekerja sebagai Fasilitator/konsultan program comdev, mondev, popular education, dan brand kawasan di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.