Allah memperkenankan kita bertemu sekali lagi dengan bulan suci umat Islam, Ramadan 1442 H. Kian tahun kebutuhan manusia akan etika semakin kuat. Integritas melangka: di atas panggung politik kita, di tengah geliat ekonomi kita, di kehidupan keagamaan kita, di ruang-ruang multikultural kita, integritas kerap absen. Pada akhirnya korupsi, monopoli, manipulasi, eksploitasi, atau intoleransi menjadi berita lazim.
Integritas adalah produk etika. Mereka yang memiliki, berpegang teguh dan menghayati etika akan berintegritas. Bagi kaum muslim, integritas lebih penting dari kekayaan. Untuk itu kaum muslim wajib mengkaji etika. Sumber etika bisa kitab suci, rasionalitas, atau spiritualitas. Islam mengakui ketiganya. Al-Gazali misalnya pernah menulis: al-aqlu wahyun dakhily, akal sehat adalah wahyu internal. Pengalaman batin tasawuf juga melahirkan etika.
Tapi mari fokus dulu pada etika yang bersumber dari wahyu. Salah satu tradisi kaum muslim di bulan Ramadan adalah tadarusan. Bisa dilakukan bersama-sama (semacam peer review kefasihan membaca) bisa nafsi-nafsi (mengejar khataman). Motivasinya: mendapat pahala. Tradisi itu bagus, tapi tidak cukup. Tadarus membiasakan kita membunyikan teks al-Qur’an, bukan menelaah maknanya, sedangkan untuk menemukan etika dibutuhkan telaah makna.
Karenanya, lewat tulisan ini, saya mengajak teman-teman melakukan tadarus jenis baru. Saya menamakannya: “Tadarus Etika”.
Konsep dan Kerja
“Tadarus Etika” adalah kegiatan menyurvei al-Qur’an. Kita membaca terjemahan al-Qur’an, ayat per ayat, sampai tamat. Tujuannya adalah untuk menemukan ayat-ayat bermuatan etis. Bila pendarus menemukan ayat-ayat yang menarik perhatiannya dan dianggapnya bermuatan etis, ia harus mencatat dan mengarsipnya. Sangat dianjurkan agar setelah Tadarus Etika selesai pendarus lanjut mencari bayan tafsirnya, sebagai landasan tekstual.
Secara singkat, prosedur Tadarus Etika sebagai berikut:
- Siapkan al-Qur’an yang akan digunakan secara konsisten. Al-Qur’an digital, al-Qur’an cetak, pilihan sesuai kenyamanan pendarus. Saya sarankan al-Qur’an cetak.
- Siapkan catatan khusus. Bisa di buku, bisa di gadget. Sesuai kenyamanan pendarus.
- Mulailah menyurvei, membaca terjemahan al-Qur’an, dari ayat pertama hingga terakhir. Pendarus bisa membuat programnya sendiri, misalnya one day one juz.
- Ketika pendarus menemukan ayat-ayat yang diduga kuat bermuatan etis, pendarus berhenti sejenak dan mencatat terjemahan tersebut beserta identitas surat dan nomor ayat. Disarankan untuk mengutamakan mengarsip ayat yang memberi sentakan kuat bagi pendarus, yang kontekstual bagi kondisi pendarus.
- Lakukan pengarsipan itu hingga Tadarus Etika tamat.
Perlu kita ketahui etika bukanlah tata krama. Tata krama adalah etika yang sudah berbentuk aturan, bersifat praktis, dan memiliki konsekuensi-konsekuensi sosial bila dilanggar. Etika sebaliknya bersifat abstrak, biasanya berbentuk statemen-statemen prinsipil, dan bila dilanggar akan menimbulkan rasa bersalah karena tidak dapat “memenuhi” tuntutan, sebab tuntutan tersebut diyakini dapat menjaga keberlangsungan nilai-nilai luhur.
Sekilas, Tadarus Etika merupakan kegiatan sederhana. Tapi ia akan terasa menantang karena ayat-ayat bermuatan etis tidak selalu tersurat. Tak jarang ayat-ayat etis ditemukan dari perpaduan beberapa ayat yang kita simpulkan sendiri inspirasi etisnya. Artinya, Tadarus Etika menuntut pendarus untuk berpikir kritis. Semakin sering percumbuan antara pendarus dan al-Qur’an, semakin intim dan personal keduanya, semakin peka pula pendarus pada etika.
Dengan demikian, Tadarus Etika akan memberi kita asupan etika dari dua sumber sekaligus: kitab suci dan rasionalitas. Sebab ketika kita membaca kitab suci, akal kita terus membedah, menelaah, mengkonfirmasi etika tersebut dengan pengalaman-pengalaman kita sekaligus merefleksikannya. Kitab suci memberi petunjuk mengenai keberadaan etika, namun pada hakikatnya pendaruslah yang aktif melahirkan etika baru lewat proses dialektika.
Tunjang
Tadarus Etika memiliki argumentasi sebagai tunjang atau landasan untuk menjawab keberatan yang mungkin muncul. Empat di antara keberatan itu adalah: (1) bukankah menarik etika lewat al-Qur’an terjemahan adalah gegabah? (2) bukankah menarik etika dari al-Qur’an tanpa kapasitas penafsir itu dilarang? (3) bukankah menggunakan akal dalam menafsir al-Qur’an lebih terlarang lagi? (4) bukankah hasil etika tadarus ini sangat subjektif?
Keberatan pertama membuat saya teringat pada orang-orang Eropa yang masuk Islam karena pengalaman mereka membaca al-Qur’an hingga khatam. Yang mereka baca itu terjemahan, dan mereka tetap menemukan hidayah! Selama ini kita terbiasa berlomba-lomba membunyikan al-Qur’an seakan bebunyian itulah satu-satunya sumber pahala. Padahal esensi al-Qur’an adalah hudan (petunjuk), penyempurna etos hidup manusia.
Saya yakin, kita yang terbiasa sekadar membunyikan al-Qur’an ini akan banyak terperanjat sekaligus terpesona bila menengok langsung pesan-pesan etis yang dikandung al-Qur’an. Kenyataannya, al-Qur’an telah mengutarakan berbagai prinsip penting dalam cakupan yang luas, sampai bahkan menyentuh tema lingkungan hidup dan kearifan lokal. Meski begitu, asas semua etika itu sama, yakni keadilan, kebenaran, tolong menolong dan cinta kasih.
Contoh: surat Yasin memberi saran etis untuk “mengikuti mereka yang tidak memintaimu bayaran―mereka itulah orang yang diberi hidayah.” Etika ini bertumpu pada tekad kuat untuk saling menolong. Membantu orang susah itu luhur, memanfaatkan kesusahan orang untuk memperuntung diri itu jahat. Juga, etika ini bertumpu pada tekad kuat untuk menolak orang-orang yang kelihatannya membimbing tapi sesungguhnya manipulatif.
Keberatan kedua juga wajar. Memang kita dilarang melakukan penafsiran tanpa ilmu tafsir. Tapi Tadarus Etika tidak bermaksud menghasilkan tafsir. Tadarus Etika menghasilkan semacam inspirasi untuk dilatih secara disiplin. Kepada siapa lagi kita akan berdialog dan mengambil etika bila bukan dari kitab suci kita sendiri? Al-Qur’an berbicara untuk semua tingkat kecerdasan, termasuk di antaranya level kemampuan olah pikir manusia.
Keberatan ketiga berhubungan dengan keberatan kedua. Sebetulnya, hadis yang kerap dijadikan dalil untuk mengharamkan akal itu debatable. Misalnya hadis semacam itu sering memakai istilah ra’y yang sinonim dengan zhan (sangkaan tanpa dasar, takalluf atau cocokologi). Sedangkan ‘aql adalah rasionalisasi referensial, pendapat subjektif yang punya acuan kebenaran. Acuan itu tidak selalu berupa kaidah bahasa Arab, tetapi juga perkembangan ilmu terkini seperti sosiologi, ekonomi, ekologi, hukum, dan budaya.
Lagipula mengharamkan penggunaan akal itu kontradiktif dengan cita-cita al-Qur’an, yang lebih dari 40 kali menyeru manusia untuk memaksimalkan penggunakan akal sehat. Maka hadis-hadis semacam itu harus ditinjau ulang.
Terakhir, tentu saja etika yang dihasilkan akan subjektif. Orang kuatir subjektivitas itu melahirkan keberagaman yang membingungkan umat dan mengancam kemurnian Islam. Tapi keberagaman adalah kekhasan Islam. Studi Wael B. Hallaq tentang otoritas hukum Islam menggambarkan umat Islam yang dinamis mengambil fatwa dari satu ulama dan membandingkannya dengan fatwa ulama lain. Tidak ada otoritas tunggal: sesama ulama akan berdialektika bila ada perbedaan. Umat hanya menilai dan memilih yang terbaik.
Kebebasan bagi umat untuk memilih, menurut Wael B. Hallaq, dimungkinkan karena dua hal. Pertama, ulama menghargai akal sehat umat dalam menilai suatu perkara. Kedua, pada akhirnya umatlah yang bertanggungjawab atas pilihannya sendiri, bukan ulama. Subjektivitas dan keberagaman tidak menjadi masalah. Dialektikalah yang akan menjaga kemurnian Islam, sebab tidak ada pendapat yang final dan tertutup dari kritik.
Saya percaya pada itikad baik umat Islam dan rasa cinta mereka pada hidayah. Membiasakan Tadarus bahkan di selain bulan Ramadan merupakan misi penting membangun tradisi ilmiah dan komitmen etis umat. Mereka yang punya itikad buruk akan selalu dikoreksi. Mereka yang punya itikad baik akan selalu dibantu menyempurnakan pemahaman mereka. Tapi jelas ada satu hal yang wajib dilakukan: membebaskan dan membiasakannya.