Pada Jumat (24/4/2020), umat Islam secara serentak mulai melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Kondisi yang agak berbeda dari Ramadhan sebelumnya, umat menjalankan ibadah puasa tahun ini di tengah pandemi Covid-19. Kasus Covid-19 bahkan menunjukkan tren peningkatan. Seiring dengan kondisi itu, sejumlah daerah dinyatakan berada dalam zona merah. Dampaknya, daerah-daerah tertentu mengajukan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada pemerintah pusat.
Kondisi pandemi Covid-19 turut memengaruhi kemeriahan umat dalam menyambut Ramadhan. Padahal dalam kondisi normal umat biasanya menyambut (tarhib) bulan suci Ramadhan dengan penuh kegembiraan (targhib). Kini umat hanya bisa menyambut Ramadhan dalam suasana kedaruratan seraya mengucapkan Marhaban ya Ramadhan. Pada tahun ini acara tarhib Ramadhan umumnya diisi dengan kajian keagamaan yang dilaksanakan secara online. Sementara umat mengikuti kajian melalui berbagai media dari rumah.
Dalam kajian keagamaan itu umat diajak untuk menyiapkan diri dengan cara melapangkan dada dan membersihkan hati sanubari agar disinari dengan nilai-nilai kebaikan dari bulan Ramadhan. Budaya tarhib Ramadhan juga diisi dengan serangkaian upacara keagamaan sesuai kearifan lokal (local wisdom) setiap daerah. Di daerah tertentu masih ramai kegiatan ziarah atau nyekar ke makam lelurur dan kerabat sebagai bagian dari budaya menjelang Ramadhan.
Dalam kondisi normal, budaya agama yang paling fenomenal setiap menjelang Ramadhan adalah mudik ke kampung halaman. Hawa kampung halaman terasa begitu menyengat pada setiap menjelang Ramadhan dan Lebaran. Suasana kebatinan itu terutama dirasakan mereka yang bekerja di perantauan.
Menurut Andre Muller dalam Ramadhan di Jawa: Pandangan dari Luar (2002), budaya mudik dengan beragam ekspresinya merupakan fenomena keagamaan yang khas dari umat Islam Indonesia. Rasanya tidak ada budaya agama di negara lain yang semeriah negeri tercinta pada saat menjelang Ramadhan dan Lebaran.
Tetapi umat harus menerima dengan berlapang dada bahwa semua kemeriahan itu tidak dapat dinikmati pada Ramadhan dan Lebaran tahun ini.
Budaya mudik, pulang ke udik (kampung halaman), untuk bersilaturrahim serta berbagi dengan kerabat dan handai taulan pasti tidak akan semeriah biasanya. Hal itu karena ormas keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan NU jauh hari telah mengeluarkan himbauan untuk tidak mudik. Himbauan itu berlaku bagi mereka yang bekerja di perantauan, baik dalam atau luar negeri.
Padahal, kondisi para perantau yang umumnya pekerja harian di sekor informal pada saat ini sudah tidak bekerja. Kondisi sulit itu terlebih dirasakan pekerja mingran Indonesia (PMI) di berbagai negara. Mereka yang umumnya bekerja di bidang jasa konstruksi, restoran, pabrik, dan toko kebutuhan pokok telah diberhentikan seiring terjadinya wabah Covid-19. Hal itu karena ada kebijakan lockdown di negara tempat mereka mengais rejeki.
Dampaknya, mereka sudah tidak lagi berpenghasilan. Kondisi tersebut tentu mengganggu kehidupan para perantau. Karena itu, mereka ingin segera mudik sekaligus menikmati Ramadhan dan Lebaran bersama keluarga tercinta.
Tetapi kehadiran pemudik tentu sangat berpotensi menjadi sumber mata rantai penularan virus corona. Karena itulah Presiden Jokowi akhirnya juga memutuskan larangan mudik. Keputusan ini memang agak terlambat karena berdasarkan data Kemendagri sudah lebih dari satu juta orang mudik lebih awall ke kampung halaman.
Larangan mudik penting sebagai bagian dari implementasi pengaturan jarak sosial (social distancing) dan jarak fisik (physical distancing). Apalagi pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan tentang PSBB sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020. Semua regulasi itu penting untuk meminimalkan dampak Covid-19.
Penting juga dipesankan agar masyarakat mematuhi semua peraturan pemerintah dan himbauan ulama dengan penuh kesadaran. Jangan ada lagi golongan umat yang berperilaku sembrono seraya menantang takdir. Mereka selalu mengatakan tidak takut dengan corona. Yang ditakuti hanya Allah Swt. Kelompok ini juga memrovokasi umat untuk tetap meramaikan masjid atau musala selama Ramadhan. Padahal jika merujuk pada substansi ajaran agama, jelas sekali ada perintah untuk menjaga diri (hifdzun nafs) dari bahaya. Umat juga diajarkan untuk tidak menjatuhkan diri dalam kebinasaan (QS. Al-Baqarah: 195).
Para ahli ushul fikih (hukum Islam) menekankan pentingnya berpikir dengan menggunakan kaidah: Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih (Menghindari bahaya harus lebih diutamakan daripada mewujudkan kebaikan). Kaidah lain juga menegaskan: La dlarara wala dlirara (Janganlah berbuat sesuatu yang membahayakan diri dan orang lain).
Firman Allah dan kaidah ushul fikih itu penting diterapkan dalam suasana Ramadhan yang diwarnai pandemi Covid-19. Karena itulah rangkaian ibadah ramadhan, seperti teraweh, tadarus, berbuka puasa, sahur, dan iktikaf yang biasanya dilakukan secara berjamaah di masjid harus ditiadakan.
Untuk menjaga diri sendiri dan orang lain dari bahaya Covid-19, maka umat harus menikmati ibadah Ramadhan bersama keluarga di rumah. Para perantau juga harus melupakan nikmatnya mudik ke kampung halaman. Bahkan jika Covid-19 terus mewabah, umat juga harus menyiapkan diri untuk tidak menjalankan shalat Idul Fithri di tanah lapang atau masjid. Demikian juga dengan budaya halal bi halal dan saling mengunjungi sebagai rangkaian Idul Fitri juga harus dihindari.
Penting disadari bahwa pandemi Covid-19 ini menjadikan situasi serba darurat. Karena itulah setiap orang harus berpikir dengan kaidah; “Pada dasarnya semua orang sakit kecuali yang benar-benar terbukti sehat.” Kaidah ini berbeda dari situasi normal sehingga kita berpikir: “Pada dasarnya semua orang sehat kecuali yang benar-benar terbukti sakit.” Dengan berpikir dalam situasi kedaruratan, maka diharapkan ada kewaspadaan dan kehati-hatian. Sebab, secara fisik memang sangat dulit dibedakan orang yang sudah terkena virus corona dan bebas dari Covid-19.
Berdasarkan pemberitaan di media, bahkan ada kecenderungan peningkatan orang tanpa gejala (ODG) tiba-tiba dinyatakan positif Covid-19. Karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali kita menaati peraturan pemerintah dan fatwa ulama.
Semoga wabah Covid-19 tidak mengurangi kekhusyukan dan kesyahduan kita dalam menjalani ibadah Ramadhan tahun ini. Bahkan sebaliknya, pandemi Covid-19 menjadi pembelajaran untuk lebih menyayangi diri dan orang lain.
Sebagai hamba yang lemah kita juga harus membangun kedekatan hubungan dengan Allah seraya bermunajat kepada-Nya agar para pemimpin dan seluruh elemen bangsa diberi kekuatan untuk melawan pandemi Covid-19.