Kamis, April 25, 2024

Suu Kyi dan Kenaifan Orang Indonesia

Andre Barahamin
Andre Barahamin
Peneliti di Yayasan PUSAKA: Pusat Studi, Advokasi & Dokumentasi Hak-hak Masyarakat Adat. Juru Kampanye Forum Advokasi Penyelamat Hutan dan Tanah Rakyat.

aung2Pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi tiba di pembukaan parlemen baru di Naypyitaw, Senin (1/2). ANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun

Banyak hal memang sering tidak seperti yang kita harapkan. Itu mengapa saya terkejut saat banyak orang seakan kaget ketika hal yang sama terjadi dalam dunia politik. Seperti banyaknya pendukung dan pembela Suu Kyi yang tampak enggan menerima kenyataan bahwa perempuan penerima Nobel Perdamaian itu tidak jauh berbeda dengan politisi pada umumnya.

Mungkin pengalaman saya berbeda dengan mereka. Atau, memang ada jenis manusia yang menolak kenyataan dan memilih memeluk fantasi.

Ketika pertama kali mengunjungi Yangon, saya mendapati bahwa banyak aktivis pelajar di Yangon dari kelompok All Burma Federation of Student Union (ABFSU) ternyata tidak terlalu mengidolakan Suu Kyi. Sesuatu di luar prediksi saya yang dibangun dari cerita-cerita spekulatif berdasar informasi tangan ke dua.

Lain soal dengan ketokohan ayahnya, Aung San, seorang jendral berhaluan kiri yang dieksekusi kolonial beberapa bulan sebelum Burma merdeka. Di kantor pusat mereka yang terletak di Yangon, hanya ada foto Jendral Aung San. Foto Suu Kyi? Entahlah. Saya tak pernah bertanya.

ABFSU memang punya sejarah panjang dalam geliat politik Burma. Ia adalah organisasi pelajar paling tua dan menjadi tempat belajar generasi aktivis pro-demokrasi radikal yang di kemudian hari menjadi tokoh berpengaruh dalam panggung politik nasional. Organisasi ini juga merupakan induk dari Liga Nasional untuk Demokrasi (National League of Democracy/ NLD), partai politik pimpinan Suu Kyi yang Desember 2015 lalu menang besar dalam pemilihan umum Burma.

ABFSU adalah pionir dan aktor aktif dalam perjuangan demokratik di Burma. Organisasi ini tidak dapat disangkal merupakan barisan oposisi paling keras kepala yang terus berhadapan dengan junta militer. Serikat pelajar ini pula yang menyediakan panggung politik dan memanfaatkan popularitas Suu Kyi sebagai anak pertama Jendral Aung San.

Mereka sadar benar bahwa di tengah konflik antar etnis dan represi militerisme, mesti ada satu sosok yang dapat disodorkan kepada publik sebagai tokoh pemersatu. Pilihan itu jatuh kepada Suu Kyi, yang kebetulan sedang pulang menengok ibunya yang sakit berat.

Panggung politik perdana Suu Kyi di hadapan rakyat Burma terjadi di Pagoda Shwedagon, setelah protes berdarah yang berlangsung 8-12 Agustus 1988. Diperkirakan hampir 3.000 orang meninggal dunia dalam rangkai panjang demonstrasi yang hari ini dikenal sebagai Revolusi 8888. ABFSU seperti biasa memainkan peran signifikan. Seperti satu dekade sebelumnya, mereka melancarkan gerakan 7777, rangkaian demonstrasi yang dimulai sejak 7 Juli 1977.

Generasi pascarevolusi 1988 inilah yang kemudian mendirikan NLD. Kebutuhan akan organisasi politik dinilai sebagai kebutuhan untuk mengkonsolidasikan kekuatan pro-demokrasi anti militerisme di Burma. Sebab, disadari jika serikat pelajar seperti ABFSU merupakan organisasi sektoral yang memiliki keterbatasannya sendiri.

Dan yang penting untuk diingat bahwa panggung politik dan pengorganisiran massa sejak revolusi pelajar 8888 itu bukan kerja Suu Kyi. Perempuan ini bukan jagoan Hollywood yang bekerja seorang diri dan memikul semua beban di pundaknya. Ada banyak aktivis yang berjuang di akar rumput, mengorganisir dengan tekun, dan mengorbankan banyak hal. Saya tidak punya jumlah pasti. Namun banyak dari mereka ditangkap, dipenjara dengan kondisi sangat buruk untuk waktu yang lama, dan sebagian lain meregang nyawa di dalam penjara-penjara junta militer.

Mengatakan bahwa semua itu adalah kerja Suu Kyi seorang diri terlalu menyederhanakan banyak hal. Seperti meludahi kerja kolektif untuk nama besar satu orang. Juga tidak etis (secara moral dan politis) untuk membandingkan periode tahanan rumah Suu Kyi dengan mereka yang mendekam di penjara atau dibunuh junta militer sejak tahun 1988. Perbandingan macam itu bukan saja kejam, namun menunjukkan mentalitas patron-client yang melihat Suu Kyi layaknya Mesias dan yang lain tidak lebih dari sekadar statistik.

Banyak dari aktivis politik tersebut kini masih ditahan. Kemarin misalnya. Di tengah riuh perdebatan soal pernyataan Suu Kyi terhadap Husain, ada 70 orang aktivis pelajar yang menjalani persidangan untuk kali ke-53. Mereka telah ditahan sejak junta militer menyerang protes pelajar di Letpadan, Maret 2015.

Sudah hampir 13 bulan mereka mendekam tanpa kepastian masa hukuman. Enam dari mereka adalah orang yang pernah membantu saya dengan semangat ketika melakukan riset. Wajar jika saya muak dengan argumen-argumen naif dan konyol yang berseliweran di media sosial.

Debat mengenai Suu Kyi selalu bagi banyak orang di Indonesia adalah soal Rohingya. Topik yang saya hindari karena menyadari tiadanya kapasitas untuk mengomentari isu ini lebih jauh. Alasannya sederhana, dalam dua kali kunjungan saya ke Burma (masing-masing di tahun 2013 dan 2014), saya tidak diizinkan ke daerah orang Rohingya. Otoritas setempat menyebutkan bahwa visa saya hanya untuk melakukan riset di daerah perkotaan. Saya tidak melawan, dengan sadar tunduk. Sebab, saya masih ingin kembali ke negeri ini di masa depan.

Pembatasan terhadap Rohingya sebenarnya bukan sesuatu yang asing bagi orang Indonesia seperti saya. Bukankah Papua juga diperlakukan sama?

Yang bisa saya komentari soal Suu Kyi adalah tentang sikap politik perempuan ini dan NLD di kancah nasional. Ada beberapa hal yang sebenarnya dapat terang benderang dilihat.

Fakta bahwa Suu Kyi sebenarnya telah kehilangan dukungan dari basis gerakan pelajar, terutama ABFSU yang sejatinya adalah sayap organisasi pendukung NLD. Perpecahan politik ini mengemuka setelah Suu Kyi menolak mendukung gerakan protes menuntut reformasi pendidikan yang didorong oleh NNER (National Network for Educational Reform) yang mana ABFSU merupakan salah satu bagian di dalamnya. Saya sempat meramalkan hal tersebut dalam sebuah analisis di IndoPROGRESS.

Ini tentu belum menyebut faksi politik lain yang merupakan pecahan NLD seperti DPNS (Democratic Party for New Society) dan sayap pelajar mereka bernama YNS (Youth for New Society).

Sikap ini makin mengeras setelah represi hebat di Letpadan, Maret 2015, yang malah direspons negatif oleh Suu Kyi. Bersama NLD, nenek ini kemudian menyalahkan aktivis pelajar yang tidak taat pada “perjanjian bersama NNER dengan junta militer” mengenai dialog nasional mengenai masa depan pendidikan di Burma. Sikap naif dan oportunis NLD-Suu Kyi ini mengacuhkan kenyataan bahwa dialog yang dimaksud telah mandeg karena tuntutan pelajar langsung ditolak mentah-mentah oleh junta militer.

Juga kenyataan bahwa ada faksi kecil di dalam tubuh NLD (mereka yang memandang dirinya lebih progresif-revolusioner ketimbang mayoritas yang dianggap berhaluan sosial-demokrat) yang kemudian sangat terpukul dengan pencopotan Thein Lwin dari struktur Komite Pusat NLD. Pencopotan (yang di kemudian hari disertai pemecatan Lwein dari keanggotaan partai) disebabkan oleh sikap politik Lwin yang secara terbuka mendukung gerakan pelajar dan tuntutan demokratik untuk reformasi pendidikan.

Faksi kecil ini sebagian besar anggotanya kemudian keluar dan memilih tetap aktif di NNER sembari melihat kemungkinan untuk mendirikan partai baru–yang dalam pandangan mereka lebih revolusioner. Bagi mereka, NLD-Suu Kyi telah gagal dan menyimpang dari cita-cita awal pendirian partai yang didedikasikan untuk perjuangan demokratik jangka panjang.

Hal lain yang dapat disebutkan menyangkut posisi United Nationalities Alliances (UNA). Sebuah aliansi bersama kelompok-kelompok perjuangan politik bersenjata berbasis suku bangsa di bagian utara, barat laut dan timur laut Burma yang menginginkan kemerdekaan (atau minimal otonomi penuh).

Ada tiga kekuatan dominan dalam UNA. Pertama,  sayap bersenjata etnis Rakhine bernama Arakan Liberation Army (ALA) dari Arakan Liberation Party (ALP). Kedua, kelompok militer Kachin Independence Organization (KIO) bernama Kachin Independence Army (KIA) sebagai organisasi perjuangan etnis Kachin. Ketiga, Karen National Union (KNU) yang sayap militernya diberi nama Karen National Liberation Army (KNLA). KNU-KNLA adalah alat politik perjuangan kemerdekaan etnis Karen.

Kelompok-kelompok dalam UNA jelas berseberangan dengan Suu Kyi.

Proses dialog yang panjang, melelahkan, penuh pengkhianatan dari junta militer dan sikap apatisme Suu Kyi membuat banyak hal makin runyam. Suu Kyi dianggap gagal menjadi sosok yang dapat memediasi gencatan senjata dan pembicaraan damai antara UNA dan junta militer. Demiliterisasi sayap bersenjata UNA yang diserukan NLD dan Suu Kyi dianggap kebablasan karena tidak melihat konteks historis dan kondisi material yang menyebabkan lahirnya jenis perjuangan macam itu.

Kemenangan NLD dalam pemilu di akhir tahun lalu juga ditanggapi dingin oleh perwakilan UNA. Hal ini tidak mengejutkan. Sentimen rasial yang menguat dalam internal NLD dapat dianggap sebagai sebab. Belum lagi kenyataan bahwa masih banyaknya petinggi-petinggi NLD yang sering bersikap rasis terhadap etnis minoritas karena mereka datang dari etnis mayoritas Burma.

Sikap UNA makin memanas karena beberapa tokoh yang dianggap tidak layak kemudian diberikan kesempatan oleh Suu Kyi untuk ikut terdaftar sebagai calon anggota parlemen (di kemudian hari banyak dari mereka yang terpilih).

Saya mengakui bahwa secara personal kurang paham soal taktik politik yang diambil oleh Suu Kyi. Sebab, saya tidak pernah punya kesempatan mewawancarainya.

Tapi ada beberapa keanehan yang menurut saya keterlaluan untuk seorang pemegang anugerah Nobel Perdamaian serta merupakan pemimpin partai yang masih tercatat sebagai anggota Socialist International dan Progressive Alliance.

Pertama, Suu Kyi, misalnya, sengaja sengaja mendiamkan membesarnya sentimen berbasis agama yang menyasar Rohingya. Ia bahkan enggan menyerukan perdamaian. Suu Kyi selalu menghindar dari pembicaraan soal kekerasan luar biasa dan ragam pelanggaran hak asasi yang menimpa Rohingya. Pengusiran, pembunuhan serta perampasan tanah dan properti orang Rohingya seperti bukan topik yang menarik untuk dikomentari oleh Suu Kyi maupun NLD.

Kedua, Suu Kyi tampak gagal memahami bahwa basis pendukungnya adalah kalangan petani miskin yang terkonsentrasi di daerah selatan, dan bagian timur. Sementara ia menolak proposal reforma agraria radikal yang ditawarkan oleh DPNS sesaat setelah NLD diumumkan memenangkan pemilu.

Ketiga, Suu Kyi juga dalam beberapa momen sering gagal mengekang emosinya. Kasus wawancara dengan jurnalis perempuan Muslim hanya satu dari berbagai contoh. Ia juga pernah mengusir perwakilan YNS yang ingin berdialog dengannya di tahun 2013. Beberapa sudah saya sebutkan di atas.

Satu hal yang saya pahami, Suu Kyi sangat membutuhkan kekuasaan. Untuk itu, ia tak segan berseberangan dengan mereka yang dianggap terlalu radikal, terlalu progresif, terlalu revolusioner atau terlalu-terlalu yang lain. Itu mungkin alasan paling logis yang dapat saya tarik mengapa Suu Kyi dan NLD bersikap demikian.

Ini membuat harapan-harapan dan berbagai pembelaan soal Suu Kyi bagi saya terdengar naif. Kondisi di lapangan jauh berbeda. Kita di Indonesia cenderung hanya mendapatkan referensi dari media-media berbahasa Inggris. Informasi tangan kedua.

Secara pribadi, saya menyandarkan harapan perubahan Burma menuju tempat yang jauh lebih baik dari hari ini kepada gerakan massa di akar rumput. Meskipun mereka juga diliputi banyak kekurangan yang layak untuk dikritik. Kelompok inilah yang bagi saya akan menjadi sandaran terakhir apakah Burma akan lebih baik setelah NLD menang pemilu atau justru mengulang tragedi Indonesia pascakemenangan PDIP tahun 1999 kemarin.

NLD-Suu Kyi memang sudah tidak layak untuk diharapkan.

Fakta politiknya mungkin banyak yang belum tahu. Bahwa dalam Pemilu 2015 lalu, dari 1.151 calon anggota parlemen yang diusung NLD, tidak  ada satu pun kandidat Muslim. Persis seperti daftar calon dari USDP (partai bekingan tentara). Padahal Muslim adalah salah satu basis suara tradisional NLD. Para pendiri partai ini sebagian di antaranya adalah aktivis Muslim. Orang yang meyakinkan Suu Kyi untuk bertarung dalam politik adalah juga seorang Muslim. Selain fakta bahwa dari total pemilih di Pemilu 2015, 5% di antaranya adalah kelompok Muslim.

Keterkejutan saya makin bertambah setelah membaca pernyataan Win Htein, juru kampanye nasional NLD, yang secara terbuka mengatakan bahwa pilihan untuk mengesampingkan umat Muslim adalah pilihan logis agar dapat memenangi pemilu secara mayoritas. Bahwa NLD secara organisasional memilih melakukan pembersihan internal dari kader-kader mereka yang Muslim karena dipandang akan menghambat tujuan partai memenangi pemilu. Tampak jelas bahwa NLD-Suu Kyi sedang ketakutan dengan menguatnya sentimen agama yang dipelopori kelompok Ma Ba Tha.

Untuk orang yang masih terus mengikuti kondisi politik Burma dari kejauhan, cukup mengagetkan bahwa NLD-Suu Kyi akan bertindak hingga serendah dan seoportunis ini hanya untuk memenangi pemilu.

Itu mengapa ketika orang-orang kembali meributkan soal Suu Kyi, saya hanya kembali mengingatkan diri bahwa nenek ini sebenarnya biasa saja. Kurang lebih mirip Megawati dulu ketika masa reformasi.

Nothing special about her. She just another old lady who obsessed with power.

Andre Barahamin
Andre Barahamin
Peneliti di Yayasan PUSAKA: Pusat Studi, Advokasi & Dokumentasi Hak-hak Masyarakat Adat. Juru Kampanye Forum Advokasi Penyelamat Hutan dan Tanah Rakyat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.