Dengan segenap basa-basi dan klise tentang peringatan Sumpah Pemuda, saya pikir pemahaman soal Sumpah Pemuda ini penting di tengah pendapat arus utama yang memahami Sumpah Pemuda sebagai wujud persatuan dan moderasi untuk menenggang perbedaan. Pandangan ini bukan tidak benar, tapi setengah benar dan tidak tuntas saat memaknai signifikansi Sumpah Pemuda.
Pertama-tama, Sumpah Pemuda adalah penegasan kaum muda masa itu atas posisi politik yang jelas. Sebuah posisi politik yang didasari oleh kehendak dan keberanian untuk memisahkan diri dari kaum yang lain, baik kaum aristokratik feodalis maupun kolaborator penjajah yang enggan mewujudkan kemerdekaan di masa depan.
Seperti diutarakan oleh Mohammad Hatta pada tahun 1929, “bahwa bagi kami Indonesia adalah tujuan politik. Karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu Tanah Air di masa depan dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Sebelum ikrar persatuan ditegakkan, terlebih dahulu pembelahan dilakukan, untuk membedakan agenda politik kaum yang sepakat dengan ikrar Sumpah Pemuda dengan kaum yang tidak memiliki tujuan politik ke arah sana. Bagi mereka yang turut serta berikrar dalam Sumpah Pemuda, mereka tidak hendak berkompromi dengan kaum priyayi aristokratik yang hendak mempertahankan keistimewaannya dalam zaman feodalisme.
Mereka pemuda-pemudi yang berkumpul dan menyeru Sumpah Pemuda tidak membangun tenggang rasa dengan mereka yang cukup dengan hubungan yang lebih lunak antara negeri terjajah dengan penjajah induknya dalam skema imperialisme-kolonialisme, tapi mereka menegaskan pembelahan politik yang jelas: kami adalah kumpulan pemuda yang menyatakan argumen politik tentang tanah air satu, bangsa satu, dan bahasa satu; Indonesia!
Adrian Vickers (2005) dalam A History of Modern Indonesia menyampaikan bahwa pada tahun 1920-an, salah satu kosakata yang populer di kalangan partai-partai politik yang melawan kuasa kolonial melalui pemogokan maupun bahasa-bahasa revolusioner adalah Indonesia. Sebuah kata yang pertama kali digunakan oleh ahli alam abad ke-19 untuk mengklasifikasi identitas geografis dan etnis di negeri ini. Kemudian istilah tersebut digunakan untuk tujuan nasionalis, mencita-citakan negara baru di luar relasi kolonial, oleh perhimpunan mahasiswa Nusantara di negeri penjajah yang bernama Perhimpoenan Indonesia. Dan selanjutnya digunakan pertama kali sebagai nama partai oleh Semaoen: Partai Komunis Indonesia, lalu istilah itu menjadi ikrar kesatuan tanah air, bangsa, dan bahasa dalam Sumpah Pemuda.
Pada tahun 1930-an, ketika para pemimpin pergerakan nasionalis memasuki jalan pengasingan, istilah Indonesia disebarkan melalui pendidikan sekolah-sekolah pergerakan bawah tanah yang oleh pemerintah kolonial disebut sebagai sekolah liar. Pada masa itu berbagai referensi dan rujukan yang berbasis sejarah Belanda maupun sejarah Hindia Belanda ditinggalkan, kaum pergerakan nasional menciptakan sejarahnya sendiri yang terfokus pada sejarah rakyat Indonesia. Dalam perjalanannnya, kata Indonesia, yang menjadi sumpah para pemuda, mengandung riwayat pembelahan dari segenap istilah konservatif; pemisahan diri dari era kolonialisme untuk larut dalam zaman yang bergerak dalam persatuan di antara kalangan-kalangan radikal mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Persatuan Indonesia dalam Sumpah Pemuda adalah persatuan yang dapat disejajarkan dengan seruan Danton dalam Revolusi Prancis, “Wahai rakyat Prancis, berapa jumlahmu? Sebutkan jumlahmu adalah Satu!”
Kita yang hendak memmahami Sumpah Pemuda harus memahami konteks sejarah pada masa itu, sehingga tidak mudah terjebak dalam jargon yang kerapkali dikumandangkan oleh kaum oligarkis yang selesai hanya dengan menyeru persatuan, kerukunan, dan order!
Kala itu seruan Sumpah Pemuda adalah manifestasi politik untuk membangun kembali gerakan rakyat yang sudah hancur-lebur setelah kegagalan PKI tahun 1926, dan runtuhnya gerakan Sarekat Islam yang dilanda perpecahan dan faksionalisasi di dalamnya.
Sumpah Pemuda adalah sebuah pernyataan politik bahwa cita-cita Indonesia sebagai sebuah platform politik tidak hilang dan selesai, tetapi justru tengah menemukan bentuk-bentuk barunya yang saat itu dipelopori oleh kaum inteligensia baru yang berlatar belakang kaum priyayi kelas dua yang muak akan alam budaya aristokratik asal sosial mereka yang hierarkis; dan juga hendak menggugat ambivalensi antara nilai-nilai kesetaraan dan modernitas yang mereka dapatkan di bangku sekolah dan kenyataan kolonialisme yang menyengsarakan rakyatnya.
Golongan yang bersatu dalam Sumpah Pemuda adalah golongan kawanan “binatang-binatang jalang” dari kumpulan awalnya yang terbuang, dan sedang membangun kekuatan politik baru melalui penegasan posisi politik.
Saat ini, di ufuk baru abad ke-21, tanah air kita sedang menanti lahirnya generasi baru, kumpulan politik baru yang berani menjadi “binatang-binatang jalang” untuk menegaskan posisi politiknya menolak bentuk-bentuk konformisme kebudayaan, menolak kompromi atas eksploitasi dan menggugat konsentrasi kekuasaan di kalangan faksi-faksi oligarkis.
Sebuah eksperimentasi, dan inisiatif-inisiatif baru, dituntut untuk lahir menampilkan neologisme baru yang memiliki kekuatan yang dapat dibandingkan dengan ikrar Sumpah Pemuda 90 tahun tahun lalu. Sumpah yang lahir sebagai posisi resistensi dari kaum milenial yang berhadapan dengan kesangsian atas hidup, tidak mendapat ruang dalam panggung politik yang dikuasai oleh segelintir aliansi bisnis-politik, diperah tenaganya dalam dunia kerja yang tidak memberikan kepastian hajat hidup, dan kehidupan budaya di sekitar mereka yang terus-menerus menjejali dengan antagonisme tribalistik dan ujaran kebencian.