Minggu, April 28, 2024

Sumbar, Islam dan Politik

Israr Iskandar
Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas IImu Budaya Universitas Andalas Padang

Walaupun merupakan salah satu propinsi saja dari 38 propinsi yang ada di Indonesia saat ini, namun dalam konteks politik nasional, Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang selalu menarik perhatian sejumlah kalangan pengamat. Konteksnya tidak pada perkembangan politik kekinian saja, namun juga terhubung dengan dinamika politik di masa lalu.

Dalam dua kali Pemilihan Presiden terakhir, yakni tahun 2014 dan 2019, misalnya, Sumbar telah menarik perhatian, karena hasil Pilpres di daerah ini menunjukkan hasil yang “unik” juga. Dua kali pesta demokrasi dengan pola “antagonistik” – karena hanya tersaji dua pasangan capres-cawapres saja — seolah (kembali) menandai Sumatera Barat sebagai salah satu pusat politik Islamis terpenting di Indonesia.

Walaupun pasangan capres yang banyak dipilih di Sumbar tidak mewakili spektrum politik Islam, tetapi rakyat daerah ini – khususnya pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu — menganggap Prabowo Subianto lebih mewakili aspirasi mereka  dibandingkan Joko Widodo. Dalam politik bercorak dualitas atau dualisme, rakyat Sumbar memilih tokoh yang dianggap lebih mewakili imajinasi mereka, termasuk tentang politik Islam.

Sumbar dan Politik Islam

Dalam sejarah Indonesia, Sumatera Barat memang salah satu pusat kekuatan Islam terpenting di tanah air. Dasarnya yang utama tentu karena secara sosio-kultural, Minangkabau dan Islam sudah seperti dua sisi dari satu keping mata uang. Semboyan sosio-kultural “adat bersendi syarak syarak bersendi Kitabullah” menunjukkan adanya “pertautan” agama dan budaya masyarakat di Minangkabau, terlebih sejak zaman Padri abad 19.

Dalam perkembangan sejarah modernnya, mayoritas masyarakat daerah ini gandrung pada partai-partai Islam. Dalam Pemilu 1955, partai-partai Islam menguasai sekitar 80 persen suara di Sumatera Barat. Pada saat itu Masyumi tampil dominan dengan 49 persen suara, disusul Partai Perti di posisi kedua dengan 28 persen suara.

Bandingkan dengan suara partai-partai “nasionalis”, seperti PNI, yang hanya 0,7  persen saja (Amal, 1982). Padahal, PNI misalnya, pada saat itu merupakan partai pemenang di tingkat nasional, yakni 22,3 persen suara (Feith, 1999). PKI memang mendapatkan suara hampir 6,5 persen di Sumatera Barat, namun kemungkinan suara yang diraih sebanyak itu tidak seluruhnya berasal dari aspirasi masyarakat Minangkabau.

Tidak hanya itu, mereka yang dikenal sebagai tokoh-tokoh pergerakan Islam di Indonesia abad 20 juga banyak berasal dari ranah Minangkabau, antara lain Agus Salim, Mohammad Natsir, Rasuna Said, Rahmah El Yunusyiah dan Hamka. Kalau dirunut lebih ke belakang lagi, daftarnya akan makin panjang. Sebagian mereka pada masanya merupakan ideolog Muslim terkemuka di tanah air. Saat debat soal ideologi negara di masa lalu, mereka tampil di garda depan sebagai pembela ideologi negara berdasarkan Islam.

Namun dalam rentang perjalanan sejarah berikutnya, ekspresi politik Islam orang Indonesia tak  berjalan linear. Bahkan politik Islam model lama seakan “tenggelam” dalam arus sejarah bangsa. Dibubarkannya  Partai Masyumi karena sejumlah pemukanya terlibat pemberontakan PRRI (1958-1961) di Sumatera Barat tidak hanya menjadi “titik balik” politik Islam Indonesia model lama, terutama untuk golongan Islam modernis, tetapi juga kehidupan demokrasi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Hal itu karena keadaan titik balik politik Islam itu sejalan dengan kemunculan sistem politik otoritarian. Pada mulanya sistem Demokrasi Terpimpin, tetapi sistem itu segera runtuh pada pertengahan 1960-an. Paradoksnya, bubarnya otoriterisme  Demokrasi Terpimpin justru berganti dengan otoriterisme Orde Baru di mana militer menjadi inti kekuatannya.

Walaupun demikian, Orde Baru tetap harus melaksanakan Pemilu sebagai basis legitimasinya berkuasa. Dalam konteks itulah Pemilu tahun 1971 digelar, namun zeitgeist pemilu kedua dalam sejarah Indonesia itu sudah jauh berbeda.  Hasil pemilu 1971, dan pemilu-pemilu Orde Baru selanjutnya, seolah menjadi point of no return bagi politik Islam model lama.

Perkembangan itu  kemudian ditopang pula tokoh-tokoh Islam baru yang seolah memberi justifikasi intelektual bagi transformasi model politik Islam Indonesia. Seolah politik Islam model baru secara kelembagaan ada dan membaur di mana-mana, termasuk Golkar, partai pemerintah yang berwatak “nasionalis-pragmatis” yang selama lebih tiga dekade Orde Baru juga “menjual” narasi Islam untuk menarik simpati rakyat Muslim.

Orang Islam di Sumatera Barat berada dalam pusaran pergeseran model politik Islam Indonesia itu. Hasil pemilu pertama Orde Baru itu menunjukkan “aspirasi” politik nasionalis malah  jauh lebih besar dibandingkan kumulasi aspirasi partai Islam sendiri. Golkar yang mewakili suara “nasionalis” menang besar di daerah ini. Memang trauma politik masa lalu yang berkait erat dengan politik Islam sering dianggap sebagai faktor pengubah, namun pengaruh politik “buldozer” rezim Orde Baru jauh lebih signfikan dalam mempengaruhi proses dan hasil pemilu pada masa-masa paceklik demokrasi itu, termasuk di Sumatera Barat.

Manakala politik otoritarian runtuh dan berganti dengan corak politik demokrasi di zaman reformasi, model politik Islam lama tak pernah kembali, termasuk di Sumatera Barat. Sejak pemilu 1999 sampai sekarang, politik Islamis corak lama makin menyusut. Kalaupun ada yang terlihat “pure” sebagai partai Islam, perolehan suara mereka tidak sesignifikan partai Islam di masa lalu, seperti pernah diperoleh Partai Masyumi atau Perti pada Pemilu 1950-an.

Ekspresi politik Islamis di daerah ini secara umum sudah bergeser dan bersalin rupa dengan justifikasi intelektual yang lebih baru lagi dengan isu-isu yang lebih inklusif juga.  Perkembangan ini mengikut pola secara nasional di mana ceruk pemilih “partai tengah” masih yang paling besar di Sumbar di mana pengelompokan politik sepenuhnya didasarkan pada alasan pragmatis. Koalisi-koalisi partai yang terbentuk, lebih didasarkan pada alasan kepentingan jangka pendek, yakni kekuasaan di parlemen dan pemerintahan.

Memang di masyarakat dan parlemen, khususnya DPRD, suara-suara Islamis masih berkumandang, seperti tercermin dari usulan dan berlakunya perda-perda bernuansa syariat, namun spiritnya tak lagi seperti politik Islamis di masa lalu. Semangat Islamis pada masa kini lebih pada hal-hal simbolik keagamaan, seperti tata cara berpakaian Muslimah dan  ihwal akhlak Islami lainnya, bukan pada ide-ide dasar  yang bertentangan secara diametral dengan konsensus dan hukum negara yang bersifat inklusif, walaupun dalam ekspresi dan pelaksanaannya tidaklah selalu mudah.

Terkait: Politik Orang Minang

Israr Iskandar
Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas IImu Budaya Universitas Andalas Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.