Merenovasi 50 ribu stadion barangkali jauh lebih mudah ketimbang mereformasi struktur kepengurusan FIFA. Lalu, sebuah serbuan ke tempat menginap para pejabat FIFA di Swiss pada 2015 silam, melepaskan cengkraman seorang tua renta bernama Sepp Blatter dari pucuk pimpinan badan yang paling berkuasa soal sepakbola.
Serbuan tersebut merupakan permintaan Biro Investigasi Amerika (FBI) yang bekerja sama dengan Pemerintah Swiss. Saking tak bisa disentuhnya Blatter di FIFA, lalu muncul anekdot: Tidak ada yang bisa meruntuhkan rezim FIFA selain Tuhan dan Amerika.
Bukan rahasia lagi kalau negara-negara maju di Eropa—juga Amerika Serikat—tak menaruh simpati pada gaya kepemimpinan Blatter. Namun, menentang Blatter secara langsung dan terbuka tak akan menghasilkan keuntungan. Justru sebaliknya, Blatter bisa saja balik menyerang dengan kebijakan-kebijakan tak populer.
FIFA memang menerapkan sistem di mana suara terbanyaklah yang menentukan keputusan. Di sinilah “kelebihan” Blatter. Ia merangkul negara-negara kecil ataupun negara yang bisa diajak “bekerja sama”. Ini yang membuat suara negara-negara yang ingin mereformasi FIFA selalu kandas. Perubahan seolah hanya bisa dilakukan dengan “kekerasan”, sehingga lagi-lagi muncul anekdot: jangan pernah remehkan kekuatan orang-orang bodoh dalam jumlah yang banyak.
Anggota FIFA yang Arogan
FIFA adalah Federasi Sepakbola Internasional yang tak menginduk ke mana pun. Sistem ini yang kemudian diterapkan oleh FIFA bagi 211 anggotanya (asosiasi negara/federasi). Para anggota FIFA mesti mandiri dan independen sehingga terlihat kalau asosiasi negara anggota FIFA ada di luar negara itu sendiri semacam non-government organization (NGO).
Sistem ini punya kelebihan dan kekurangan. Salah satu kelebihannya adalah tiap asosiasi negara tak perlu mengemis kepada negara. Bahkan, bukan tidak mungkin, bantuan yang diberikan FIFA bagi Eritrea atau Gibraltar sama nilainya dengan yang diterima Federasi Sepakbola Amerika Serikat (USSF).
Bebasnya asosiasi negara untuk menentukan nasibnya sendiri membuat mereka mungkin terkesan arogan dan keras kepala. Saat negara memberikan saran atau arahan, mereka akan mengancam kalau itu adalah bentuk intervensi. Jika FIFA sudah menganggap itu sebagai intervensi, maka “hukumannya” tidak main-main: dibekukan!
Di banyak negara, sepakbola adalah olahraga utama. Meski bukan olahraga yang rajin memberikan prestasi, sepakbola sudah telanjur dianggap sebagai olahraga yang merakyat.
Tidak mentasnya sepakbola di kompetisi internasional akan menghadirkan beragam ketidakstabilan. Masyarakat bisa saja melakukan protes besar-besar karena kesebelasan negaranya tidak bisa berkompetisi melawan negara lain. Padahal, olahraga adalah salah satu jalan bagi suatu negara untuk mengalahkan negara lain tanpa melalui perang.
Arogansi asosiasi negara/federasi ditunjukkan dengan enggannya mereka diatur atau direformasi saat tidak ada prestasi nyata yang diberikan. Hal ini tentu merugikan, karena asosiasi negara/federasi merupakan wajah dari negara itu sendiri.
Indonesia mengalami hal serupa. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi menginginkan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk turut pada aturan. Kala itu, pada kompetisi Liga Indonesia 2015, Badan Olahraga Profesional Indonesia mensyaratkan sejumlah hal kepada tiap kesebelasan untuk dilengkapi sebelum memulai liga. Hingga batas waktu yang ditentukan, ada dua kesebelasan yang tidak mendapatkan rekomendasi dari BOPI sehingga kompetisi boleh digelar hanya dengan 16 kesebelasan. Namun, PSSI tetap pada jalannya dan membiarkan dua kesebelasan tersebut tetap berkompetisi.
Hal ini yang menjadi salah satu alasan Menteri Imam Nahrowi membekukan PSSI. Di sisi lain, PSSI tetap tidak bisa melawan keputusan tersebut dengan tetap menggelar liga. Pasalnya, Kepolisian tidak bisa memberikan izin yang turun kalau ada rekomendasi dari BOPI. Kompetisi pun terhenti pada April 2015.
Masih Berkuasa
PSSI dibekukan pada 17 April 2015. Sehari berselang, PSSI tengah melakukan Kongres Luar Biasa yang menghasilkan keputusan bahwa La Nyalla Matalliti kembali dipilih sebagai ketua.
Dibekukannya PSSI diiringi dengan pernyataan Menpora di mana “setiap keputusan dan/atau tindakan yang dihasilkan oleh PSSI termasuk keputusan hasil Kongres Biasa dan Kongres Luar Biasa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak sah dan batal demi hukum.”
Nyatanya, meski segala aktivitas PSSI tidak diakui, PSSI tetap teguh menjalankan roda organisasi. Bahkan, saat cengkraman FIFA digoyang Amerika, hal itu tetap tak membuat PSSI goyah. Isu perombakan organisasi menjadi isapan jempol belaka. Selain itu, legitimasi hasil kongres juga dikuatkan oleh Agum Gumelar yang menyatakan bahwa FIFA mengakui hasil kongres tersebut.
Hampir sulit untuk merombak PSSI saat itu. Negara tak punya hak untuk melakukan intervensi. Lagi pula, waktu itu banyak yang meragukan apabila negara membentuk federasi sepakbola yang baru, apakah kepengurusannya akan lebih baik? Atau justru sepakbola Indonesia akan kembali terpuruk seperti halnya dualisme kompetisi beberapa tahun sebelumnya.
Pada pertengahan tahun ini, “angin segar” berhembus. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur berusaha menyelidiki La Nyalla. Namun, Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Jawa Timur itu tak kunjung ditemukan. Malah ada kabar beredar kalau La Nyalla kabur ke Singapura.
Kaburnya La Nyalla ternyata menyangkut statusnya yang kala itu sebagai tersangka kasus penyalahgunaan dana hibah Kadin Jawa Timur. Selama di Singapura, kehadiran La Nyalla sulit terdeteksi dari kejaran aparat kejaksaan karena mendapat bantuan finansial dan hidup berpindah-pindah.
La Nyalla yang izin tinggalnya habis pada akhirnya dipulangkan ke Indonesia pada 31 Mei. Saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta, ia langsung dijemput pihak dari kejaksaan. Setelah itu, kasusnya mulai diproses.
Kaburnya La Nyalla berbarengan dengan dicabutnya pembekuan PSSI oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga pada 10 Mei 2016. Tiga hari kemudian, FIFA yang mengadakan kongres di Mexico City juga mencabut pembekuan PSSI. Hal ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk mereformasi kepemimpinan PSSI.
Pada 3 Agustus 2016, PSSI melakukan Kongres Luar Biasa di mana mayoritas voters meminta perombakan seluruh kepemimpinan PSSI yang terdiri atas satu ketua umum, dua wakil ketua umum, dan 12 anggota Exco. Berdasarkan hasil kongres, diputuskan bahwa pemilihan kepemimpinan PSSI akan digelar pada November.
Di hari yang sudah ditentukan, PSSI dipimpin oleh nama baru, yakni Pangkostrad Letnan Jenderal Edy Rahmayadi, sementara kedua wakilnya merupakan orang lama di sepakbola Indonesia, yakni Joko Driyono dan Iwan Budiyanto.
Langkah Positif di Piala AFF
Dicabutnya sanksi oleh FIFA membuat PSSI menyiapkan kesebelasan untuk berlaga di Piala AFF 2016. Namun, di tengah berjalannya kompetisi Torabika Soccer Champioship (TSC) membuat tim pelatih yang dikepalai Alfred Riedl hanya bisa memanggil dua nama dari tiap kesebelasan.
Dengan persiapan dan sumber daya yang mepet, tidak sedikit masyarakat yang tidak memberikan harapan terlalu tinggi buat tim ini. Apalagi, di pertandingan pembuka, Indonesia kalah 2-4 dari Thailand.
Lalu, keajaiban terjadi dan Indonesia pun lolos hingga partai final. Sempat menang 2-1 di Stadion Gelora Bung Karno, Indonesia tak kuasa mempertahankan keunggulan setelah dikalahkan Thailand 0-2. Kekalahan ini merupakan yang kelima kalinya dirasakan Indonesia di partai final Piala AFF.
Namun, kekalahan tidak melulu berarti kegagalan, ada sejumlah hal yang bisa diambil menjadi pelajaran. Salah satu yang utama adalah bagaimana di tengah segala keterbatasan, tim nasional Indonesia bisa mencapai babak final.
Menyongsong 2017, sepakbola Indonesia mulai menemukan sinar terang. Perombakan di pimpinan PSSI diharapkan mampu membuat sepakbola Indonesia menjadi lebih baik.
Hal yang paling penting dari kepemimpinan PSSI saat ini adalah jangan menutup mata pada kesalahan dan jangan pernah merasa kebal dari kritik. Pasalnya semua hal itu hanya akan mengulang momen-momen kelam dan membikin semua orang lelah dibuatnya.