Sejarah Islam pernah mencatat goresan luka dalam sikap kaum ulama menghadapi kekuasaan. Sebagian besar ulama menunduk di hadapan Sultan dan bersedia menjadi, ibarat kata, pemegang ‘stempel’ yang membenarkan semua kebijakan yang diambil Sultan. Agama, di tangan kaum ulama jenis ini tak lagi menjadi kekuatan kritis terhadap kekuasaan.
Sebagian kaum ulama lain kecewa melihat sikap politik macam itu. Mereka menganggap para pemegang otoritas rohaniah itu telah menjual agama dan harga diri mereka sendiri dengan harga murah di hadapan duli Tuanku paduka Sultan. Dan mereka yang kecewa itu pun menjauhi kekuasaan duniawi ini menuju tempat sepi di padang pasir dengan pakaian suf, bulu domba sederhana dan seadanya.
Pakaian ‘suf’ itu membuat mereka disebut kaum sufi, orang-orang yang merawat dunia rohani dari noda-noda keserakahan duniawi. Ini terjadi pada sekitar abad 11 dan sejak itu protes mereka berkembang. Mereka membendung keserakahan yang diperjuangkan dengan penyalahgunaan simbol-simbol keagamaan itu.
Sampai hari ini ketegangan itu masih berlanjut. Dunia Islam menjadi seperti kaca retak. Suara rohaniah masih tetap terdengar lantang. Tapi mereka yang cenderung memilih dekat dengan kekuasaan bisa dengam mudah bermetamorfosa. Kekuasaan tetap menjadi tujuan utama perjuangan tapi simbol-simbol keagamaan pun tak ditinggalkan. Jubah, surban, pici dan tasbih menjadi simbol suci yang melekat pada dunia kita hari ini.
Simbol-simbol itu tampak meriah, dan subur, tapi jangan-jangan sebenarnya dunia rohani kita ini gersang? Tak mudah kita menemukan solusi yang indah. Dan kita memilih yang mudah: simbol- simbol suci itu tetap kita pertahankan. Dan kita pun ke mana-mana gigih berjualan simbol.
Maka di dunia kiai pun kita kenal sebutan Kiai ‘Indannas, kiai yang dikenal oleh manusia pada umumnya karena wujud lahiriah mereka. Kiai itu punya pesantren, punya jubah, punya surban, punya tasbih, dan mereka mengajarkan kemuliaan hidup pada masyarakat. Inilah kiai pada umumnya. Posisi ini mentereng. Maka ada saja orang-orang yang berusaha memperlihatkan dirinya punya jubah, punya surban dan tasbih. Dan simbol-simbol itu dikenakannya setiap hari supaya dia pun dikenal punya ciri identitas sebagai kiai.
Di kota-kota besar yang gersang secara rohaniah, banyak orang yang gemar melengkapi diri mereka dengan simbol-simbol tadi. Isinya boleh saja tidak ada tapi simbol itu membuat mereka tenteram. Bahkan ada orang yang kalungan tasbih dan kancing atas bajunya dibuka supaya tasbihnya kelihatan. Mungkin dia tak ingin disebut kiai tapi ingin sekali diberi kesan sebagai orang saleh. Kelihatannya kesan itu penting. Esensinya tidak ada pun tak menjadi soal. Yang penting kesan luarnya. Kalau perlu, sengaja pamer sedikit bukan masalah.
Ada pula kiai yang tak peduli apa orang lain mengenalnya sebagai kiai atau bukan. Tokoh jenis ini bahkan tak begitu gembira bila kekiaiannya dikenal orang. Dia sengaja menyembunyikan kekiaiannya di balik pakaian orang biasa. Baju biasa, celana biasa, dan sering tanpa pici apalagi jubah atau surban. Ini jenis Kyai ‘Indallah: kiyai yang dikenal hanya oleh Allah bahwa dia kiai sejati.
Ini pilihan sikap rohaniah yang jelas dan tegas. Mungkin dia sengaja pula menyindir kecenderungan sementara orang yang melebih-lebihkan dan gemar pamer simbol itu. Dengan kata lain, ini juga sebuah protes sosial. Boleh jadi yang diprotes itu berwajah tembok tebal dan tak merasakan dirinya diprotes. Itu pun tak menjadi soal bagi kiai yang ‘bersembunyi’ itu. Tugasnya mengingatkan dan dia sudah melakukan dengan baik tugasnya.
Di kalangan kaum nahdiyin dikenal sebutan Wali Mastur, yaitu wali yang sengaja menyembunyikan kewaliannya. Dia ‘bersembunyi’ di lingkungan orang-orang biasa. Boleh saja dia menjadi kusir delman atau tukang semir sepatu. Tapi beliau wali, kekasih Allah, yang kelihatannya prihatin melihat agama diperjual-belikan di pasar saham perpolitikan kita.
Farriduddin al Attar menyusun sebuah cerita alegoris tentang Si Bahlul, orang yang diburu-buru anak-anak kecil karena dianggap orang sinting. Orang dewasa pun pada umunya tak mengenal siapa dia selain sebagai ‘wong edan’ yang tak waras. Attar menyembunyikan kenyataan bahwa dia kekasih Allah yang bisa membuat ulama yang gemar bermain-main simbol agama dan tak peduli esensinya, hanya tampak seperti ulama-ulamaan.
Ada dalil kewalian yang patut kita ketahui: ‘la yakriful wali ilal wali. Orang tak akan pernah tahu bahwa seseorang itu wali kecuali kalau orang itu sendiri memang wali. Gus Dur dikenal sebagai wali sejak masa mudanya. Beliau tak pernah memproklamasikan kewaliannya tapi juga tak menutupinya. Sebagian orang di sekitarnya, khusunya mereka yang bukan orang NU, tak percaya kewaliannya. Ada yang bahkan sinis dan mengejeknya.
Sesudah wafat, kewalian Gus Dur makin tegas, makin nyata. Dunia gempar. Beliau dinobatkan oleh rakyat sebagai wali kesepuluh. Dan saat itu, mereka yang dulu tak percaya beliau wali, takluk tanpa ada yang menaklukan. Tokoh kita ini pejuang di garis paling depan sejauh kita bicara mengenai tipuan simbol-simbol.
Ketika orang sibuk bicara kebangkitan Islam pada tahun 1980-an, Gus Dur bertanya yang bangkit apanya, dan apa tanda-tanda kebangkitan itu. Orang bilang, simbolnya ada pada semangat berbusana Islam yang merebak di mana-mana dan pada gairah memahami ajaran. Gus Dur bilang, busana itu masih berupa simbol. Begitu juga pengajian. Apa kebangkitan itu hanya simbolik?
Lahirnya kelompok-kelompok zikir yang mengagumkan, dan bisa membikin jalanan macet total ketika pengajian bubar, mungkin itu kemuliaan nyata tapi tak menyentuh perubahanan tatanan struktural di dunia politik dan ekonomi rakyat. Jadi kemuliaan itu pun masih simbolik.
Simbol-simbol yang begitu meriah itu hingga hari ini belum bisa menampilkan cara hidup nyata yang makin Islami, makin adil. Juga belum tampak kebiasaan untuk makin siap melindungi pihak lain yang tertindas. Kita pun belum menjadi semakin sensitif terhadap problem kemanusiaan.
Kita hanya sensitif pada urusan ‘halal-haram’ yang kita perjual-belikan untuk memberi label pada produk-produk yang sudah jelas halal. Halal-haram macam ini pun masih bersifat simbolik. Belum ada jerit perjuangan yang menganggap haram duit hasil korupsi besar-besaran yang merugikan rakyat.
Hidup ini nyata. Kita tak bisa kenyang atau merasa tenteram di atas hamparan simbol-simbol. Hingga hari ini kita baru bisa membangun simbol-simbol yang seolah hidup kita ini serbarohaniah, padahal kehidupan rohaniah kita gersang karena yang ditampilkan para pemimpin rohani lebih merupakan ajaran politik yang panas dan siap membakar negeri tercinta ini. Subur simbolnya tapi gersang rohaninya bukan cita-cita perjuangan bangsa kita.