Terlahir dari Kemapanan
Raden Panji Sosrokardono – demikian nama lengkapnya. Ia merupakan putra ketujuh dari Regent (baca: Bupati) Sidoardjo, bernama Raden Adipati Pandji Tjondro Negoro. Terlahir di Sidoarjo pada 1891, selepas ayahnya menjabat regent – yang diawali pada 25 Juni 1883 (Widodo dan Nurcahyo, 2013).
Mengawali pendidikannya di sekolah mentereng di masa Kolonial Belanda pada 1899. Karena ayahnya seorang bupati, Sosrokardono melenggang masuk ke Europeesche Lagere School (ELS). Sekolah yang hanya dimasuki kalangan anak Eropa, Indo Eropa, Timur Asing, maupun elite pribumi.
Sosrokardono menempuh pendidikan di ELS selama tujuh tahun. Mata pelajarannya sama dengan mata pelajaran sekolah dasar di Belanda, kecuali mata pelajaran Sejarah Belanda yang diganti dengan Sejarah Belanda dan Hindia Belanda. Mata pelajaran Sejarah ini lebih menekankan pada geografi Hindia Belanda.
Mata pelajaran lainnya yang diajarkan meliputi membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, ilmu bumi, pengetahuan alam, menyanyi, menggambar, dan olahraga. Mata pelajaran yang diberikan di tingkat lanjutan di ELS adalah bahasa Prancis, bahasa Inggris, sejarah umum, ilmu pasti, menggambar pertanian, olahraga, dan pekerjaan tangan untuk siswa perempuan (Algemeen verslag van het onderwijs in Nederlandsch-Indië, 1917).
Selepas menamatkan di ELS pada 1906, Sosrokardono meneruskan studinya di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). OSVIA merupakan sekolah pendidikan pribumi bagi calon pegawai-pegawai bumiputra. Lulusan OSVIA umumnya dipekerjakan dalam pemerintahan kolonial sebagai ambtenaar (baca: pamong praja). Sekolah ini dimasukkan ke dalam sekolah keterampilan tingkat menengah dan mempelajari soal-soal administrasi pemerintahan (Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indië, 1935).
Sosrokardono memang tidak menyelesaikan pendidikannya di OSVIA. Bukan lantaran orang tuanya tidak mampu, namun ia berontak dengan suasana, kurikulum, maupun brainwash yang dilakukan sekolah terhadap siswa OSVIA. Ia hanya menyelesaikan sampai kelas III.
Di usia 18 tahun, ia beralih menjadi mantri lumbung di Kawedanaan Mojosari, Mojokerto Jawa Timur. Ia bertugas mengurusi beras untuk rakyat. Namun, aturan-aturan untuk natura yang ditetapkan Controleur, kerap memicu perselisihannya dengan penguasa Mojosari itu. Ia pun berontak dengan aturan tersebut (Widodo dan Nurcahyo, 2013).
Ketika Sarekat Islam berdiri pada 1912, Sosrokardono telah bergabung di dalamnya. Selain Tjokroaminoto dan Samanhoedi, namanya juga disandingkan dengan petinggi SI lainnya, seperti Soerjopranoto, Goenawan, Agus Salim, dan Abdoel Moeis. Bahkan ketika kepengurusan Central Sarekat Islam (CSI) terbentuk pada 1916, Sosrokardono telah didaulat menjadi sekretaris dari Tjokroaminoto.
Dikarenakan aturan dari CSI, Sosrokardono melepas pekerjaannya sebagai ambtenaar. Ia pun total bergerak dalam perjuangan Sarekat Islam. Selama bergerak di SI, Sosrokardono terlibat aktif sebagai jurnalis di Oetoesan Hindia.
Namun, kedekatannya dengan Semaun–Ketua Sarekat Islam afdeling Semarang, Sosrokardono mulai terlibat dalam gerakan protes, pemogokan dengan mengusung bendera Seksi B, maupun ketika ia memimpin Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB).
Seksi B: Penggalangan Sosrokardono untuk Gerakan Anti Kolonial
Sejak 1917 CSI pun menerima ideologi kiri, tidak hanya untuk menenangkan Semaun cs, tetapi untuk mendapat kepercayaan masyarakat lokal kembali. SI terpecah menjadi beberapa faksi. Di Jawa Barat, cabang revolusioner diberi nama Afdeeling B (seksi B) atau Sarekat Islam B didirikan oleh Sosrokardono pada tahun 1917 (Sufyan, 2021).
Pada 1917 jumlah anggota Seksi B mencapai 1.200 orang. Pesatnya perkembangan SI di kabupaten Tasikmalaya sesuai dengan basis aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat Tasikmalaya. Sebagian besar anggota SI adalah pengusaha batik dan industri kerajinan, pedagang, haji-haji berpengaruh, kiayi dan guru ngaji.
Selain Sosrokardono sebagai penggerak utama, Seksi B juga digerakkan oleh Haji Ismail asal Gunung Tanjung Manonjaya, Haji Sulaeman, Abdul Jalil, Alhasim, Tabri, dan Haji Hasan Cimareme. Melalui kolaborasinya dengan Haji Ismail membangkitkan perlawanan dengan melakukan mobilisasi Afdeeling B se-Priangan.
Aksi perlawanan yang digalang Haji Ismail, dilatarbelakangi perilaku sewenang-wenang dari Controleur Garut terhadap kaum petani. Petani Garut masa itu dipaksa memberikan sebagian hasil pertanian kepada pemerintah. Haji Ismail Bersama Sosrokardono pun menyusun rencana perlawanan (McVey,1960).
Massa Seksi B yang telah dimobilisasi oleh Haji Ismail terlambat mendatangkan bala bantuan ke Cimareme. Sebab aksi radialnya telah tercium oleh pemerintah kolonial Belanda. Upaya perlawanan dari Seksi B pun gagal. Peristiwa ini menyeret sejumlah tokoh Afdeeling Bm termasuk Tjokroaminoto (Presiden SI) dan Sosrokardono selaku sekertaris CSI diseret ke pengadilan Hindia Belanda.
Pengadilan Sosrokardono
Akibat peristiwa Cimareme, Sosrokardono pun segera ditahan oleh veldpolitie. Meskipun menolak keras keterlibatannya dalam peristiwa Cimareme, Sosrokardono tetap ditangkap karena namanya disebut-sebut sebagai pendiri dari Seksi B. Dari saksi-saksi yang menghadiri persidangan Sosrokardono dan Haji Ismail, ia merupakan aktor utama dari semua gerakan yang didalangi oleh Seksi B.
Dari penyelidikan yang dilakukan oleh jaksa, disebut bahwa gerakan protes, pemogokan sampai tindak perlawanan yang dlakukan oleh Seksi B selama enam bulan jelang peristiwa Cimareme, yang memimpinya adalah Sosrokardono. “untuk memberikan sinyal untuk pemberontakan di negara-negara ini, dan bahwa laki-laki yang akan memimpin tentara Sarikat Islam sebagai emirnya adalah Sosrokardono (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20 Januari 1920).
Puluhan saksi yang dihadirkan oleh jaksa dan veldpolitie menegaskan bahwa mereka mendengar langsung perintah dari Sosrokardono. Sosrokardono dinilai alpa, ketika ia tidak berhatoi-hati untuk memastikan apakah yang hadir dalam rapat tertutup Seksi B seluruhnya adalah massa fanatiknya.
“Ketidakhati-hatian yang besar yang ditunjukkan oleh fanatik ini dalam berbagai pertemuan telah menjadi penyebab kehancurannya. Tanpa terlebih dahulu memastikan bahwa tidak ada orang yang tidak dapat dipercaya hadir di pertemuan-pertemuan tersebut,” – demikian de Telegraf memberitakannya pada 22 Januari 1920.
Secara terbuka dan penuh semangat Sosrokardono di depan massa dengan lantang menyampaikan di depan peserta yang hadir, bahwa mereka harus melawan otoritas pemerintahan. Sosrokardono mengklaim rencana-rencana tersebut telah dirancang oleh CSI. Tidak sampai di sana saja, Sosrokardono memberitahu pada peserta rapat, mengenai strategi pembebasan rakyat Jawa dari praktik kolonialisme.
Ketidak hati-hatian dari Sosrokardono inilah yang kemudian menjadi simpulan dari hakim, bahwa yang menjadi otak dari gerakan radikal Seksi B di Jawa Barat adalah Sosrokardono. “dengan cara yang begitu bodoh dan terbuka, sehingga orang Sunda dengan mudah memahami dengan jelas ke mana arah tujuannya.” – demikian selidik dari Bataviasch Courant pada 20 April 1920.
