Selasa, April 30, 2024

Yang Teralienasi dalam Keriuhan Digital

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Moral saat ini semakin morat-marit. Kita terengah-engah di antara benturan budaya Barat dan Timur. Jika Barat mengandalkan hubungan profesionalnya dan Timur mengandalkan hubungan kemelekatannya, maka saat ini kita terjepit di kedua kutubnya. Kita mencoba berhubungan secara profesional, namun kita tak kunjung mahir.

Taruhlah disiplin masih, bahkan semakin kacau. Kita semakin doyan untuk datang terlambat. Bahkan, situasi terkini semisal macetnya jalanan sering kali dibuat menjadi sumber pembenar mengapa kita terlambat. Alih-alih bertanggung jawab, kita malah berdalih dengan menyalahkan situasi.

Hal yang sama juga terjadi pada ranah kemelekatan. Kita semakin jauh dari aspek budaya kita. Jika dulu kita suka bertutur sapa, saat ini kita semakin tak suka untuk saling menyapa. Kita semakin jauh ke dalam diri sehingga lupa keluar untuk bermasyarakat. Kita semakin suka mengurung dan terkurung dalam kelelapan sendiri.

Saban hari kita sibuk dengan media digital. Tutur kata yang dulu kita ucapkan dengan sadar melalui mulut kini ditukar menjadi bahasa-bahasa digital. Kata-kata didangkalkan menjadi kumpulan huruf-huruf mati. Kata-kata mendadak tanpa bunyi, apalagi jiwa.

Kata-kata menjadi benda mati. Diucapkan benda mati, diantarkan benda mati, lalu ditangkap oleh benda mati pula: gadget. Dari benda mati itulah kita bertukar sapa hingga tanpa sadar mulut kita ditukar oleh jari-jari.

Agaknya, untuk saat ini, kita memang tak perlu lagi telinga untuk mendengar atau mulut untuk berucap. Kita hanya butuh mata untuk melihat. Maka, jangan heran, ketika di bus, di kafe, di kereta api, atau di tempat-tempat umum lainnya, kita melihat manusia-manusia minim sentuhan, apalagi sapaan. Kita hanya akan melihat manusia-manusia yang menutup telinganya dengan headphone. Sentuhan menjadi tak berarti.

Hilangnya Kesadaran

Tesis filsuf Emmanuel Levinas (1906-1995) yang mensyaratkan pertemuan antarwajah sudah benar-benar usang. Dulu Levinas pernah bilang, hidup harus berdenyut, kini hidup sudah mekanis, bahkan otomatis. Hidup sudah tanpa denyut. Kita sudah semakin tak suka lagi bertemu dengan manusia. Kebutuhan akan manusia lain sudah digantikan oleh mesin yang memang sangat mahir dengan mazhab mekanisme dan otomatismenya.

Saban hari lamat-lamat kita sudah lebih suka ke mesin ATM daripada antre dan duduk manis di deretan kursi bank. Mau pesan tiket pesawat, kita juga tinggal tekan tombol. Semuanya serba otomatis.

Kita tak lagi menikmati bagaimana suara memanggil-manggil nama kita melalui nomor urutan. Kita tak lagi mau belajar tentang apa artinya menunggu. Semuanya harus serba gegas. Siklus harus dipercepat. Sekali lagi, syarat perjumpaan ala filsuf kawakan Levinas sudah usang. Wajah tak perlu lagi. Wajah sudah ditanggalkan supaya semuanya menjadi anonim. Tanpa identitas.

Saya jadi teringat pada novel The Face of Another (1967) karya Kobo Abe. Pada novel itu, sang tokoh utama, karena kecerobohan di laboratorium, mengalami kecelakaan parah. Wajahnya menjadi jelek tak berbentuk. Dia tak percaya diri.

Karena itu, setiap keluar, dia menutupi wajahnya dengan perban. Sayangnya, orang-orang yang melihatnya selalu penuh curiga. Bagi masyarakat masa itu, wajah masih teramat penting. Namun, wajah seperti apa yang akan dia tunjukkan karena dia sudah “anonim”?

Dia tak putus asa. Dia berkunjung ke rumah bedah. Masih gagal juga. Dia lalu membuat sendiri wajahnya dalam bentuk topeng. Hasilnya meriah. Dengan perangkat teknologi dan bahan-bahan yang diolahnya sedemikian rupa, topeng itu bisa berkeringat, tumbuh pula bulu dan jerawat. Dia puas.

Tetapi, ada sesuatu yang pelan-pelan disadarinya: bahwa topeng itu tak membebaskannya. Topeng itu justru menguburnya semakin dalam. Ada sebuah kekuatan, yaitu kesadaran, yang terus meronta-ronta untuk mencuatkan bahwa wajah aslinya adalah topeng. Tak lebih berharga dari topeng apa pun. Artinya, dia masih anonim.

Nah, perasaan demikianlah (kesadaran) yang kini hilang dari peradaban kita. Kita semakin suka anonim. Kita semakin suka memalingkan wajah dari orang lain.

Jika Kobo Abe mencuatkan betapa pentingnya wajah sebagai lambang perjumpaan, saat ini kita sudah memalingkan wajah agar tak berjumpa dengan wajah lain. Kita semakin doyan mengurung diri. Kita tak tahu ini gejala apa. Apakah ini artinya bahwa sejarah selalu berulang sehingga ibarat siklus, karena itu, mau tak mau, lama-lama kita akan kembali ke zaman dulu meski dengan jalan yang berbelit-belit? Entahlah karena masa depan masih teka-teki.

Namun, jika melihat gejala kekinian, agaknya hidup memang bergerak melingkar dan linier: kembali ke asal-muasalnya.

Sederhana saja, jika menurut kosmolog dan fisikawan, setelah peristiwa big bang terjadi, maka timbul namanya singularitas, saat ini bukan kita juga mengalami gejala yang serupa (big bang). Bedanya, big bang itu ada dalam bentuk ledakan kecerdasan. Ini sudah diramalkan Irving John Good. Jika kita melacak lagi, sudah banyak prediksi yang menyebutkan muara yang sama: akhir dari manusia.

Pakar matematika, John von Neumann, juga sudah mengingatkan bahwa ras manusia seperti yang kita kenali (sekarang) tak mungkin berlanjut.

Apakah ini akan menjadi akhir dari manusia? Sekali lagi, kita tidak tahu pasti. Namun, dalam filsafat, awal dan akhir bisa menjadi saudara kembar yang sinonim. Bahwa ketika kita semakin jauh melangkah, pada saat yang sama kita semakin dekat ke asal kita. Kita berjalan untuk kembali. Kita datang dari ketiadaan untuk kembali tiada pula. Benar-benar tiada. Sebab, kita tak mengisi ruang waktu yang kita lakukan untuk sesuatu yang berarti pada orang lain.

Hidup kita mekanis. Kita berjalan untuk berjalan. Kita tak peduli, apakah di pinggir jalan itu ada bunga layu yang butuh disiram, ada gelandangan yang butuh kepedulian.

Di jalan itu, kepedulian kita sirna. Kita berjalan semakin gegas, semakin gesit. Kita tak merasakan bagaimana membersamai orang lain. Kita bahkan tak paham siapa kita. Kita hanya peduli pada gadget kita. Semua yang berada di luar kita adalah latar belakang.

Dari gadget itu, kita berkicau. Kita menyanyikan lagu kebencian. Kita membagikan lagu kebencian. Bahkan, itu semua dilakukan dari rumah bernama keluarga. Namun, apalah arti sebuah keluarga. Sebab, rumah keluarga itu kini sudah terbagi-bagi.

Di rumah itu, secara visual, kita memang tampak bersatu. Tetapi, ini hanya penampilan visual. Sebab, di rumah itu, kita hanya saling melihat, tetapi tak bertemu, apalagi berbincang. Di rumah itu, kita kesepian. Di rumah itu, kita menyapa orang yang nun jauh di sana, namun pada saat yang sama mengabaikan yang dekat.

Dari rumah itulah kita membagikan lagu-lagu kebencian. Dari kamar mandi. Dari ruang tamu. Lalu tanpa kita sadari, kita tidur bersama lagu-lagu kebencian itu. Setelah bangun, kita membuka gadget, lagu-lagu kebencian ternyata sudah antre untuk dinyanyikan.

Pagi lantas berubah menjadi waktu yang sibuk untuk menyanyikan dan membagikan lagu kebencian. Kita lupa menikmati matahari sembari membaca buku, sembari bercengkerama dengan anggota keluarga, sembari mendengar kicau-kicau burung. Kita bahkan lupa untuk bahagia.

Yang dramatis, kita lupa atas itu semua karena kita menjadi manusia yang sibuk. Saking sibuknya, orang lain pun tak mendatangi kita lagi. Tolehlah, saat ini ketika bahagia atau duka, kedatangan orang lain sudah digantikan papan bunga karena orang lain juga sibuk sesibuk-sibuknya. Di sinilah saya sadar, ternyata kesibukan sinonim dengan kesepian!

Kolom terkait:

Siapa Merebus Sentimen Sosial Kita

Ketika Media Sosial Menjadi Semakin Personal

Menjaga Kewarasan di Era Pasca Kebenaran

Generasi Media Sosial, Handphone, dan Tertawa Sendiri

Demokrasi, Hoax, dan Media Sosial

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.