“Jangan kau kira bisa membela sesuatu, apalagi keadilan, kalau tak acuh terhadap asas.”
Pram dalam Anak Semua Bangsa menggambarkan jelas betapa susahnya menjaga keadilan. Keadilan ternyata dipertahankan bukan karena sentimen primordial. Dia dipelihara bukan karena prinsip kepentingan. Adil berdiri tegak karena ada prinsip yang jadi tumpuannya. Kesetiaan pada prinsip itulah satu-satunya alasan pekik keadilan dikumandangkan.
Sejak Ahok divonis bersalah oleh rumah pengadilan, lini masa media sosial ribut tak keruan. Warganet menumpahkan perasaannya dengan berbagai cara. Ada yang memasang foto hitam di akun media sosialnya. Itu sebagai tanda belasungkawa atas matinya keadilan. Status panjang berisi analisa kecurangan pengadilan berbaris jejer semrawutan. Tagar dengan luapan perasaan dizalimi muncul dengan ragam versi. Seperti biasa, media sosial selalu jadi medium paling praktis menyuarakan apa pun.
Tak lama berselang, gerakan seribu lilin membela Ahok hadir. Bukan hanya di ibu kota, tapi juga dibeberapa tempat di luar Jakarta. Seperti tak mau kalah dengan aksi “angka-angka cantik”, massa berkumpul di satu titik di tiap kota. Seruannya sama, mereka menuntut keadilan hukum pada Ahok. Aksi menyalakan lilin dianggap sebagai simbol menerangi gelapnya hukum di Indonesia.
Tidak berhenti disitu. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) merasa perlu untuk mengeluarkan surat pernyataan. Isinya kurang lebih sama bahwa vonis pada Ahok invalid. Putusan itu hanya produk dari permainan politik. Hampir bisa dikatakan, surat ini adalah perwakilan suara mayoritas umat Kristen di Indonesia.
Jelas terlihat ada rasa keadilan tersakiti. Orang-orang kecewa. Mereka merasa kecurangan sedang bekerja. Keadilan, menurut mereka, telah mati di Indonesia.
Kita Sebenarnya Membela Siapa?
Kisaran bulan Maret, seorang pendeta dengan perawakan sederhana divonis penjara oleh pengadilan di Lampung. Dia dinyatakan bersalah karena melanggar pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Kabarnya, dia membela dan mengorganisir para petani Lampung yang tanahnya dirampas oleh korporasi.
“Mendampingi masyarakat yang diperlakukan tidak adil, kemudian yang dipinggirkan, termaginalkan,” katanya dalam sebuah wawancara, “sudah menjadi bagian hidup saya.” Keputusan hukum pada Pendeta Sugianto tidak adil. Tapi, tak ada seribu lilin untuk dia.
Beberapa bulan yang lalu, seorang perempuan sederhana meninggal dunia. Dia relakan kakinya dipasung semen. Matahari membakarnya di depan Istana Negara. Dia memohon kepada Presiden Jokowi agar tanahnya di Kendeng jangan dirampas. Itu terpaksa dilakukannya karena Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, sudah tidak lagi menghormati hukum.
Di tengah perjuangannya itu, dia berpulang ke pangkuan Tuhan. Ibu Patmi, yang mati dalam perjuangan kelestarian alam, justru tidak mendapat surat pernyataan dari lembaga apa pun.
Sampai kini, kasus Marsinah dan Munir tidak ada kabarnya. Lebih parahnya, berkas-berkas Munir dikatakan hilang. Sebuah bentuk “ketidakpedulian” negara atas kasus ini. Negara sama sekali tidak menunjukkan sikap seriusnya. Marsinah, perempuan yang mati mengenaskan. Moncong senjata ditusuk ke alat kelaminnya kemudian ditembak menghancurkan rahimnya. Sampai kini, dia pun tak berjumpa dengan keadilan. Tapi tak ada foto hitam tanda bela sungkawa buat mereka di media sosial. Tak ada tagar buat mereka.
Keadilan, sejak dulu, sudah mati di Indonesia. Hukum tak punya supremasi lagi. Arwah jutaan korban genosida 1965 sampai saat ini menanti haknya atas keadilan. Ribuan orang Papua tak pernah dibela kedaulatnya sebagai manusia dan sebagai bangsa. Ada banyak kasus yang menunjukkan kalau keadilan adalah barang langka sejak dahulu kala di Nusantara ini.
Tapi, setelah Ahok divonis, seruan untuk menuntut keadilan ditegakkan jadi mewabah. Di mana-mana orang jadi tampak melek hukum. Fenomena ini membuat saya bertanya-tanya, “Sebenarnya, siapa yang dibela? Kepentingan politik Ahok? Keadilan? Atau sentimen primordial belaka?”
Siapakah yang Layak Harus Dibela Mati-Matian?
Keadilan adalah topik sentral dalam Alkitab. Khususnya oleh para Nabi dalam Perjanjian Lama. Orang Israel meyakini bahwa kebenaran selalu mengekspresikan diri dalam keadilan (Amos 5:21-24). Bahkan, tanpa keadilan, maka ritual keagamaan pun menjadi hambar tak berguna.
Bagi mereka, keadilan selalu bernuansa teologis, bukan politis belaka. Akarnya berangkat dari pengetahuan tentang Allah sendiri. Tuhan selalu dipersonifikasikan sebagai keadilan (Mazmur 11:7).
Keadilan merupakan motor penggerak seluruh cerita sejarah Israel. Impian nasional Israel bahwa mereka akan jadi bangsa besar lahir dari keyakinan ini: Allah adalah keadilan. Imajinasi eskatologis Israel pun dilukiskan sebagai puncak dari keadilan Allah.
Keadilan menjadi episentrum gerak sejarah Israel lahir bukan dari ruang hampa. Dia merupakan anasir yang tidak terisolasi dari totalitas eksistensi. James Luther Mays menyebut “early capitalism”-lah bidan yang melahirkan konsep keadilan di Israel (1983). Fokusnya pada soal kepemilikan tanah.
Di zaman Perjanjian Lama, tanah hanya dimiliki oleh segelintir orang. Semakin seseorang memiliki banyak, maka kekayaan dan hak istimewa akan menumpuk untuknya sendiri. Sebaliknya, mereka yang tidak punya akses pada tanah akan dijadikan budak atau buruh upah harian.
Situasi ini membuat cara hidup masyarakat Israel berubah. Tanah, yang tadinya diperuntukkan untuk menopang kehidupan bangsa, saat itu digunakan hanya untuk melayani penguasa. Orientasi masyarakat, yang tadinya berbasis pada kepentingan komunitas, jadi beralih pada laba semata. Proses pengadilan hanya berpihak pada orang besar. Keadilan jadi komoditas komersil. Akhirnya, kesenjangan sosial antara kaya dan miskin bertambah lebar.
Persoalan muncul, khususnya, bagi janda dan anak yatim piatu. Mereka sama sekali tidak memiliki akses terhadap tanah. Posisi ekonomi mereka, bukan hanya lemah, tapi tertindas oleh tatanan. Merekalah kelas masyarakat yang terabaikan dan dianggap tak ada.
Itulah sebabnya ketika para nabi menyuarakan keadilan, mereka selalu menyerang para pejabat negara, pemimpin politik, dan para pembesar kerajaan. Pilihan ini tentu bukan tanpa sebab. Ketika itu, masalah utama ada pada tata kelola keadilan. Lembaga aparatus, yang notabene bentukan monarki, menjadi sumber masalah. Mereka dinilai tidak becus dalam tugas meratakan keadilan.
Alih-alih membela hak anak yatim dan memperjuangkan perkara janda-janda, para pejabat ini malah menghisapnya. Amos, salah satu nabi dalam Perjanjian Lama, menghardik mereka. “Hai kamu yang mengubah keadilan menjadi ipuh (racun)” katanya seperti ditulis di Amos 5:7-10.
Teriakan para nabi adalah pembelaan pada rakyat kecil. Mereka adalah orang yang tak berdaya untuk menjaga diri. Mereka, yang dirampas haknya dengan serampangan, dibela Allah dengan mengutus nabi-Nya. Nabi sebagai penyambung lidah Allah, berpihak pada rakyat kecil tertindas. Itu artinya keberpihakan Allah juga. Inilah asas keadilan itu: mengutamakan mereka yang miskin dan tertindas. Inilah substansi membela keadilan dalam tradisi nabi Perjanjian Lama.
Ahok Tidak Perlu Dibela Berlebihan
Ahok tidak menista agama. Vonis yang dijatuhkan kepadanya, memang, tidak tepat. Kita tak perlu membicarakan itu panjang lebar. Namun, Ahok adalah “korban” dari mesin besar politik borjuasi, di mana dia pun ikut bermain di dalamnya.
Kecurangan yang dialaminya bukanlah persoalan hukum. Itu adalah murni permainan politik para elite, antara dia dan teman-temannya. Sebagai aktor politik, Ahok seharusnya sadar akan risiko ini. Ahok tak perlu dibela berlebihan karena dia bisa membela dirinya sendiri.
Masifnya gerakan membela Ahok seolah ingin mengatakan ini sebuah masalah besar. Dari fenomena ini banyak orang menduga akan muncul krisis yang lebih mengerikan. Kita seolah diletakkan dalam situasi kebangsaan yang genting. Bahkan, ada analisis yang mengatakan Ahok harus dibebaskan agar menyelamatkan bangsa ini dari bahaya. Seolah, persoalan Indonesia adalah soal Ahok semata. Ah, kita semua tahu, krisis adalah jualan politik paling mudah laku dijual.
Kasus Ahok jadi begitu fenomenal. Itu justru menimbulkan kecurigaan. Bagaimana mungkin masalah DKI bisa jadi persoalan buat masyarakat di luar Jakarta? Bukankah kecurangan politik itu sudah biasa dalam politik elektoral kita? Bukankah kecurangan hukum itu makan sehari-hari kita? Kita belum pernah mendengar kabar kalau masyarakat Aceh demo karena ada konflik politik di Papua. Gelagat ini seharusnya membuat kita bertanya, “Ada apa sebenarnya?”
Saya menduga kepentingan politik berbalut sentimen primordial sebagai penggerak utama. Aksi bela Ahok, sepertinya, bukan untuk keadilan itu sendiri. Sebenarnya, bangunan logikanya sama dengan aksi “nomor-nomor cantik” itu. Bedanya, pasukan Rizieq mengangkat isu agama untuk kepentingan agenda politik. Sementara, laskar pembela Ahok membawa isu kebhinekaan.
Baru-baru ini, tiga orang petani Surokonto (Jawa Tengah) divonis hukuman penjara. Sebabnya, mereka melawan dalam mempertahankan tanahnya. Sialnya, media tak ramai memberitakan. Beritanya tidak seksi untuk dijual. Tak ada yang bela mereka. Berbeda dengan Ahok, yang pada dasarnya bisa membela dirinya sendiri, petani-petani ini tak ada yang gubris. Mereka dibiarkan berjuang sendirian. Ke mana orang-orang, yang sekarang, ramai berteriak tentang keadilan?
Kepada merekalah seharusnya totalitas pembelaan itu diberikan. Kita seharusnya lebih mengutamakan mereka yang lemah dan tak berdaya melawan penindasan. Mereka yang tidak punya akses pada kekuasaan. Mereka yang dilemahkan oleh struktur yang langsung menindih kehidupan.
Kepada merekalah seribu lilin itu dinyalakan. Kepada merekalah teriakan bahwa keadilan sudah mati disuarakan dengan lantang. Dengan cara itulah, memperjuangkan keadilan yang acuh pada asas baru bisa diterapkan!