Kamis, April 18, 2024

Valentine dan Tafsir Sosial atas Kenyataan

Didid Haryadi
Didid Haryadi
Meraih Master Sosiologi di Istanbul University, Turki. Penggila sepak bola.
Komunitas New Castle bekerjsama dengan Kelompok Anak Rakyat (Lokra) mengadakan aksi jalanan mengenang kelahiran Inggit Garnasih di Jalan Sukarno Bandung, Jawa Barat, Minggu (12/2). Acara "Februari Bulan Cinta Inggit Garnasih" merupakan kegiatan untuk mengenang Inggit Garnasih istri kedua Presiden Soekarno yang lahir pada 17 Februari, sekaligus mengajak anak muda Bandung merayakan Februari sebagai Bulan Cinta Inggit Garnasih daripada merayakan hari Valentine. ANTARA FOTO/Agus Bebeng/foc/17.
Komunitas New Castle bekerjsama dengan Kelompok Anak Rakyat mengadakan aksi jalanan mengenang kelahiran Inggit Garnasih di Bandung, Jawa Barat, Minggu (12/2), dalam acara “Februari Bulan Cinta Inggit Garnasih”. ANTARA FOTO/Agus Bebeng/foc/17.

Semangat dan gegap gempita kehidupan kaum urban terus mewarnai hari-hari bersama sepaket riuh rendahnya dunia. Penanggalan Masehi kini memasuki bulan kedua dan tepat pada pekan kedua. Tentu saja sudah banyak hatıra (dalam bahasa Turki, bermakna kenangan) yang terekam dan beberapa di antaranya berusaha dimanifestasikan dalam perilaku sosial.

Ada yang merayakan kenangan dengan simbol angka-angka sebagai bagian dari cinta tanah air, namun pada saat yang sama juga mungkin mereka lupa bahwa ada sisi lain kehidupan yang mana orang-orang dengan tanah dan haknya terampas kemudian kesulitan untuk mendapatkan sumber air.

Pada dasarnya 14 Februari adalah hari yang biasa saja. Tidak ada keistimewaan di dalamnya. Mungkin ia menjadi lebih terasa menyenangkan karena beberapa orang menganggap penanggalan tersebut memiliki makna sebagai hari kasih sayang. Pemaknaan terhadap simbol dan angka-angka tentu saja bisa muncul karena beragam faktor. Di antaranya adalah karena pengalaman yang kemudian diinterpretasikan dalam sebuah perayaan.

Secara umum kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna yang sangat subyektif sebagai satu dunia yang koheren. Dari sini dapat diketahui bahwa kenyataan dalam kehidupan sosial adalah sesuatu yang sangat tergantung kepada kesadaran diri atas hal tersebut. Dalam bahasa sosiologis, kondisi seperti ini dikenal dengan terma “objektivasi”, yang mana dipertegas oleh Peter L Berger sebagai kesadaran atas suatu kenyataan subyektif yang batiniah.

Dalam sebuah petuahnya di laman Rumah Kaca, sang tuan dari Blora, Pramoedya Ananta Toer menyatakan bahwa, “hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”

Jika diselami lebih dalam, apa yang disampaikan oleh tuan Pram sangat benar. Teks yang disampaikannya dalam bentuk roman tersebut masih relevan dan beriringan dengan konteks zaman yang terus melaju bersama ragam “peradabannya”. Idealnya, literasi harus tetap menjadi metode dan poros utama dalam mengembangkan kesadaran manusia. Dan kemudian memanifestasikannya dalam sebuah selebrasi kasih sayang bersama mereka yang dipinggirkan hak-haknya.

Merawat Kesadaran Kolektif
Kehidupan sehari-hari memiliki struktur ruang dan waktu. Dan keduanya secara tidak langsung memberikan peran penting untuk membentuk tingkat kesadaran atas kenyataan yang ada. Pada sisi yang lain, bahasa dan pengetahuan juga mampu menggerakkan ruang kesadaran kolektif, misalnya perihal kemanusiaan dan keadilan sosial. Kombinasi bahasa dan pengetahuan adalah terbangunnya kepekaan terhadap isu-isu yang terjadi di lingkungan sekitar atau yang sedang terjadi di daerah lain yang memiliki kesamaan pokok masalah.

Setelah objetivikasi, faktor kedua dalan tafsir sosial atas kenyataan adalah eksternalisasi, Berger menyebutya sebagai sebuah keharusan antroplogis. Yang mana keberadaan manusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Dan keberadaan manusia harus secara terus-menerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas.

Kombinasi antara eksternalisasi dan objektivasi merupakan momen-momen dalam suatu proses dialektis yang akan terus berlangsung. Faktor ketiga dari momen tersebut adalah internalisasi, dunia sosial yang sudah diobjektivasi dimasukkan kembali ke dalam kesadaran selama berlangsungnya sosialisasi. Dan ketiga faktor tersebut memiliki keterkaitan dan bersesuaian dengan suatu karakterisasi yang esensial dari dunia sosial.

Dalam penggalan liriknya, Van Williams bernyanyi, “lost my valentine, you could never keep my meaning straight, and I won’t wait in line, for you to give me any time of day.” Sebuah perasaan yang sangat mendalam dan menyimpan pesan untuk terus berjuang dalam cara yang berbeda.

Setiap orang bisa saja menginterpretasikan setiap baris sajaknya, terutama pada bagian chorus yang memancing untuk sedikit beprikir perihal revolusi yang disampaikannya, “I want a revolution, you want a short solution, we never could see eye to eye. You wanted retribution, I came to the same conclusion, it’s a story as old as time, I heard you crying in the other room.”

Selebrasi hari kasih sayang adalah bagian dari tafsir dan bukan sebuah kewajiban untuk dirayakan. Terus membangun jaringan dan komunitas lewat kanal informasi dengan menyebarkan pengetahuan melalui metode literasi rasanya jauh lebih menyenangkan. Dan bagi mereka yang sedang merayakannya, selamat bersenang-senang. Mungkin Van Williams adalah orang yang akan terus konsisten dengan pilihan dalam liriknya bersama First Ait Kit. Juga Berger yang telah memberikan kontribusi dan salah satu ide untuk memahami kenyataan sosial.

Didid Haryadi
Didid Haryadi
Meraih Master Sosiologi di Istanbul University, Turki. Penggila sepak bola.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.