Penulis prolifik, Tere Liye, memutuskan untuk berhenti mencetak ulang novel-novelnya sebagai wujud protes atas tingginya pajak yang harus ia bayar. Ia juga mengeluhkan bahwa pengaduannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) tak ubahnya pesan yang masuk ke telingan yang tuli. Dalam akun Facebooknya, Tere sampai-sampai menegaskan bahwa masyarakat harus bersikap sopan kepada para penulis karena mereka membayar pajak tertinggi.
Tere mengklaim bahwa pajak yang dibayarnya jauh lebih tinggi daripada apa yang dibayar oleh pebisnis dan kaum profesional lainnya. Seorang penulis yang mendapatkan royalti sampai dengan Rp 1 miliar, misalnya, harus membayar pajak penghasilan sebesar Rp 245 juta. Karenanya, Tere telah meminta dua penerbit—Gramedia Pustaka Utama (GPU) dan Republika Penerbit—untuk tidak mencetak ulang karya-karya fiksinya sejumlah 28 judul.
Terlepas dari kontroversi seputar keputusannya untuk memutuskan hubungan dengan pihak penerbit, keprihatinan Tere seharusnya tidak saja dipandang sebagai protesnya atas ketidakadilan perlakuan pajak bagi penulis dan ketidakpedulian pemerintah mengenai masalah ini.
Tak kalah pentingnya, persoalan ini menjustifikasi apa yang dinamakan sebagai “kutukan” yang mau tak mau harus diterima oleh banyak penulis. Disebut “kutukan” bukan karena ilmu hitam yang dimiliki pengarang, melainkan semacam pakaian keniscayaan yang harus dikenakan bila seseorang telah menjatuhkan pilihan takdirnya sebagai novelis, kolumnis, penyair atau penulis buku pelbagai genre lainnya.
Hemat saya, setidaknya ada dua “kutukan” yang menemani jalan hidup seorang penulis, yakni kesepian dan intelektualitas.
Menulis adalah bekerja di tengah kesunyian karena membutuhkan konsentrasi, ketenangan, dan komitmen. Menyendiri untuk menulis novel atau cerita pendek membutuhkan waktu yang intens. Ia menjadi penting untuk menulis. Tidak jarang seorang pengarang melewati bahkan ketinggalan momen hanya untuk sekadar menikmati hari-hari yang hangat dan cantik karena larut di kamar ketika menulis.
Karena tidak adanya jaminan bahwa tulisan yang dihasilkan menunjukkan hasil langsung dalam bentuk keuntungan finansial, seringkali seorang penulis merasakan apa yang dikerjakannya tidak produktif. Menulis sering kali menjadi “bisnis frustasi” yang menggabungkan waktu kesendirian berjam-jam dan minimnya pengakuan instan. Karenanya, menulis dirasakan tidak produktif.
Namun, dalam lubuk hati terdalam, seorang penulis merasakan betul bahwa menulis bukanlah aktivitas yang tidak produktif. Keuntungan, meski tidak selalu berbentuk uang, mewujud sebagai insentif yang personal. Di saat seorang menulis apa pun, dan begitu ia menyelesaikan sebuah cerita, situasi ini adalah momen sukacita, sebuah endorfin tinggi!
Upaya-upaya kreatif yang diperbuat oleh penulis dalam berkarya lagi-lagi tidak jauh dari kesendirian lantaran tidak lazimnya di tengah-tengah masyarakat. Anne Rice menyatakan ia selalu membawa perekam kecil ke mana-mana untuk menangkap ide-ide tertentu yang masuk ke kepalanya saat ia tidak berada di dekat keyboard.
Sebelum penemuan PC, Margaret Mitchell menulis di atas potongan kertas dan bahkan serbet ketika mengerjakan magnum opus-nya, Gone With the Wind. A.A. Navis, seorang sastrawan besar dari ranah Minang, disebut-sebut kerap membawa kertas di sakunya, bahkan sampai ke toilet, guna mendapatkan ide yang mahal ketika lewat.
Menulis juga “dikutuk” sebagai aktivitas intelektual tertinggi. Ini mendorong orang untuk memiliki kemampuan bertahan yang tinggi dan energi yang kuat untuk menjadi penulis yang berkomitmen. Dibandingkan dengan kegiatan intelektual lainnya—membaca dan diskusi—menulis adalah yang paling sulit.
Membaca membuat kita paham, diskusi membuat kita lebih dalam memahami apa yang dibaca, dan menulis mempertajam apa yang kita baca dan diskusikan. Banyak membaca tapi tidak menulis sama seperti gudang, menyimpan barang berharga tapi tidak digunakan oleh orang lain. Sebaliknya, menulis setelah membaca intensif dan diskusi aktif hampir sama dengan pabrik, menghasilkan barang bagi konsumen, dalam hal ini adalah pembaca.
Mewakili aktivitas intelektual yang paling sulit, menulis bukanlah persoalan gampang. Tulisan yang bagus akan berkontribusi terhadap literasi yang lebih baik. Pada Maret 2016 lalu, sebuah studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCTU) berjudul “Most Literate Nation of the World” menempatkan Indonesia pada rangking ke-60 dari 61 negara dalam hal literasi, di atas hanya Botswana, dan di bawah Thailand sebagai anggota ASEAN lainnya .
Survei ini menandaskan bahwa kegiatan menulis memang bukanlah kegiatan yang mudah. Ini terbukti bagaimana media sosial dipenuhi oleh sampah-sampah kata, kalimat dan frasa yang sarat kebohongan, lazim disebut hoaks.
Perlu juga dicatat bahwa rendahnya literasi memiliki efek buruk bagi aktivitas menulis buku. Di Indonesia, menulis buku teks bukanlah bisnis yang berujung keuntungan finansial yang besar. Penerbit dan toko buku mendapatkan banyak uang, sementara penulis bahkan jarang impas.
Tidak mengherankan jika banyak penulis potensial enggan menulis dan cenderung menyalahkan pihak penerbit karena mengambil persentase penjualan buku yang tidak adil. Sebaliknya, penerbit cenderung menyalahkan budaya membaca masyarakat yang rendah. Ini pada gilirannya menjadi pertanda buruk bagi pemasaran buku.
Di satu sisi, kasus Tere berkaitan dengan keadilan dan royalti bagi penulisnya. Namun, di sisi lain, inilah puncak gunung es lemahnya tradisi intelektual bagi sebagian besar masyarakat kita.