Sabtu, April 27, 2024

Terbahak-bahak karena Bully alias Perundungan

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.

Mahasiswa berkebutuhan khusus di-bully di Universitas Gunadarma, Depok. Pihak kampus sudah memberikan sanksi berupa skorsing kepada para pelakunya. [Instagram/thenewbikingregetan
“Keriting, mahkluk astral, sini kamu”
“Gila lo, item”

 

Kalimat-kalimat ini biasa diujarkan bahkan ditanggapi dengan tertawa terbahak-bahak. Bagi remaja, dewasa, mungkin juga orangtua saat ini perihal menamai seseorang berdasarkan ciri fisik yang melekat pada dirinya menjadi hal yang biasa, lumrah, bahkan wajar. Ada pula beberapa orang yang sengaja membiarkan dirinya diberi “label” dan di-bully agar bisa akrab dalam sebuah komunitas dan diterima begitu baiknya.

Perundungan (bully) terkesan “dibiarkan” dan menjadi tontonan yang sedap di tayangan komedi di Indonesia. Setiap orang melucu dengan tak jarang mem-bully. Mem-bully dinikmati sebagai sensasi yang membuat seseorang merasa makin dikenal, makin liar, makin menarik, makin terbahak-bahak.

Keseharian kita sangat dekat dengan perundungan ini. Banyak kantor, komunitas, perkumpulan, kelas, memiliki maskot, yang biasanya dipilih karena berprestasi, kini berubah sebab yang jadi maskot biasanya yang paling rela, paling ikhlas dan paling banyak kekurangan, dan paling sering jadi korban bully.

Inilah pembiaran yang seolah dipelihara begitu baiknya oleh kaum muda generasi ini. Merasa kuat kala berkelompok, merasa paling hebat ketika di kandang, hingga muncul benih-benih anarkis. Padahal kebebasan berkumpul, berpendapat, dan berserikat disusun oleh pendiri bangsa ini bukan untuk menghimpun kekuatan untuk melemahkan yang sendirian, lemah, dan kekurangan.

Kebebasan berserikat untuk menyelamatkan mereka yang terikat, membantu manusia menemukan kemanusiaannya, bukan mencurangi kemanusiaan itu sendiri.

Perundungan kembali diangkat seolah jadi masalah yang baru muncul ketika ada video-video kekerasan di media sosial yang menghias beberapa hari lalu jadi viral. Jika tidak viral, mungkin bullying masih dianggap angin lalu, oh biasa, bahkan nyaris ada yang menganggapnya sebagai hal wajar.

Media sosial memberi kita bukti bahwa anak kekinian adalah mereka yang memiliki kelompok, geng, lalu memiliki “tanah” jajahannya sendiri. Video kekerasan dan bullying dominan fisik mencuat dari kampus Gunadarma. Bullying ini melibatkan banyak remaja. Ada yang aktif memegangi tas korban, tidak membiarkannya melewati jalan yang seharusnya ia berjalan, menertawai korban bullying yang konon mengidap autisme.

Lebih parah lagi, ada banyak remaja waras lainnya yang melihat kejadian itu, masih berdiam diri, merekam dengan jeli, dan menertawakan dengan geli. Betapa mereka tidak memiliki hati. Bullying fisik yang dilakukan di ranah kampus ini seolah pemandangan lucu yang patut diabadikan. Hingga, korban bullying sempat melawan dengan mengempaskan tangan ke pelaku.

Namun, empasan itu tak membuat pelaku bullying berlalu. Apa pun maksudnya, entah karena alasan bercanda atau lucu-lucuan, tindakan bullying tidak dibenarkan. Tak ada manusia yang bisa menghakimi kekurangan manusia lainnya.

Satu lagi bullying yang tidak kalah kejam yang dilakukan kelompok bocah yang mungkin terinsiprasi sinetron “langit” yang memiliki geng, kemudian berkumpul dan cenderung merasa kuat karena perkumpulan itu. Sedihnya, pelaku bullying ini masih sangat belia, masih SMP. Video anak-anak ini mem-bully korbannya tersebar luas di media sosial. Banyak yang menyayangkan anak-anak belia ini bisa melakukan hal-hal yang terekam persis seperti gaya-gaya preman.

Sayangnya, preman ini berseragam, dibekali dari rumahnya dengan uang saku, gizi, dan kemapanan, juga disekolahkan. Entah, bagaimana orangtuanya mendidik, anak-anak ini harus direhabilitasi mentalnya.

Bullying yang dilakukan geng karbitan ini bersifat fisik dan verbal. Mereka, meminta korbannya salim, layaknya anak kecil yang menaruh hormat kepada yang lebih tua. Setelah itu diminta sujud layaknya menyembah. Perkataan yang tidak sepantasnya dikeluarkan sebagai bukti bahwa kekuasaan sang geng adalah mutlak.

Lagi-lagi, ada banyak orang yang melihat, merekam dengan jelas, dan membiarkan kejadian ini. Untuk apa direkam? Bukankah mereka mengabadikan kejahatan mereka? Bahkan ini ditayangkan di instagram story mereka. Untuk apa? Atau mereka gagal paham bahwa video yang direkam itu bukanlah sebuah kejahatan, melainkan kekinian. Kekinian yang menganggap bahwa kuat itu berkeroyok, berkelompok, dan yang paling keras berteriak.

Universitas Gunadarma dan sekolah tempat pelaku bullying menempuh pendidikan akhirnya mengeluarkan pelaku bullying, bahkan Kartu Jakarta Pintar (KJP) anak-anak SMP itu dicabut. Apakah dengan dikeluarkannya pelaku-pelaku bullying ini dari sekolah akan menghentikan mentalnya untuk merendahkan orang lain, memaksa orang lain untuk bersujud, memaksa orang lain untuk hormat?

Bullying itu penyakit mental yang harus disembuhkan dengan jutaan rasa empati. Menempatkan pelaku bullying di sebuah panti sosial, panti jompo, bahkan hutan, menurut saya bisa memperbaiki secara perlahan mentalnya. Mereka harus dipaksa berjuang hidup, merasakan bagaimana bersyukur, juga mencoba segala upaya agar bisa bertahan hidup.

Untuk para penonton yang ada di tempat perundungan terjadi, untuk para penonton yang sengaja mengabadikan lewat video dan gambar untuk disebarluaskan, sudah sepatutnya juga diberi hukuman kemanusiaan. Pembiaran yang dilihat oleh manusia “waras” dan dibiarkan begitu saja, apakah masih bisa disebut manusia waras? Karakter inilah yang harusnya ditangani.

Mereka yang melihat penyiksaan fisik, verbal, perundungan yang kejam bisa jadi berdiam diri dan tidak melakukan perlawanan atau pertolongan adalah calon-calon kuat menjadi pelaku perundungan. Apakah orangtua siap melihat anak-anaknya tumbuh sebagai calon pelaku perundungan? Sebelum ini terwujud, rehabilitasi mental sangat diperlukan sejak dini.

Bullying itu juga sangat erat dengan karakter. Karakter sarkasme, egois, pemberontak, bila dimiliki oleh sebagian besar generasi sekarang jika perundungan itu dibiarkan. Tidak hanya di Indonesia, kasus perundungan di dunia pendidikan di luar negeri juga menjadi permasalahan serius. Bahkan banyak yang mempersenjatai anak-anaknya yang cenderung menjadi korban perundungan ketika berangkat sekolah.

Semenakutkan itukah sekolah? Jika benar demikian, apa pentingnya sekolah? Sekolah justru memproduksi orang-orang jahat?

Karena mengalami perundungan yang berulang, seorang siswa bernama Young (17 tahun) dibekali pistol tangan oleh ibunya. Bukan untuk memecahkan kepala para pengejeknya, namun hanya sebagai peringatan saja. Awalnya hanya bermaksud hanya berjaga-jaga saja, namun siapa sangka jika Young akhirnya benar-benar menggunakan pistol yang diberikan ibunya.

Ketika itu Young benar-benar dihina habis-habisan oleh setidaknya 6 orang temannya. Merasa terdesak, ia pun mengeluarkan pistol tangan dari dalam tasnya dan kemudian mengacungkan pistolnya sambil menembakkan sebuah peluru. Melihat ini para pem-bully tadi pun lari tunggang langgang dan tak lama pihak keamanan pun datang.

Kabar terakhir menyebutkan kalau Young telah dikeluarkan dari sekolah. Ya, tentu saja orangtuanya beranggapan kalau hal tersebut sangat tidak adil.

Cara lain yang dilakukan seorang ibu bernama Debbie ketika putrinya mengalami perundungan yang tidak bisa dimaaafkan. Wanita ini sangat sakit hati ketika anaknya yang berusia 13 tahun di-bully habis-habisan di Facebook dengan kata-kata yang kasar luar biasa. Kejadian ini tak hanya sekali dan si gadis yang bernama McKenna terlihat sangat depresi dengan hal tersebut.

Debbie pun berbuat sesuatu dengan melaporkan hal tersebut ke pihak sekolah bahkan ke kepolisian. Namun sama sekali tak ada tanggapan yang serius atau lebih tepatnya diabaikan. Suatu ketika ibu dan anak ini tengah berjalan-jalan di mall, kemudian McKenna tiba-tiba meneriaki seorang bocah lelaki yang diduga adalah si pelaku bullying terhadapnya. Spontan sang ibu pun menghampiri si remaja tanggung tersebut dan mencekiknya dengan brutal.

Untungnya si bocah laki-laki tersebut tidak sampai kehabisan napas dan meninggal. Namun akhirnya malah Debbie yang harus merasakan penjara atas aksi balas dendamnya tersebut. Hal ini pun makin bikin McKenna tak karuan. Belum lagi sakit hatinya sembuh gara-gara di-bully, ia harus kehilangan ibunya untuk sementara waktu.

Jepang sendiri belum sepenuhnya bebas dari masalah perundungan. Perundungan justru jadi aib yang bisa merendahkan kualitas sebuah sekolah. Hingga, tak jarang, sekolah menutupi setiap kasus perundungan dan abai terhadap korban perundungan itu sendiri. Guru-gurunya meminta korban menutup mulut dan tidak mengada-ngada cerita rekaan yang sarat akan perundungan.

Ijime (bahasa Jepang) adalah bentuk penyerangan tertentu, baik secara fisik maupun psikis, yang dilakukan secara sengaja dan berkelanjutan kepada korban yang lebih lemah. Pemerintah dan sekolah di Jepang masih belum menemukan solusi yang tepat untuk menghilangkan ijime di sekolah.

Ijime bisa terjadi di Jepang sebab masyarakat Jepang sendiri adalah masyarakat yang homogen dan seragam. Dikarenakan rasa homogen dan seragam yang sudah mendarah daging inilah justru orang yang berbeda akan menjadi sasaran ijime. Lebih pintar, lebih pendek, lebih bodoh, memiliki hobi yang aneh, murid pindahan, orang asing, merupakan sasaran empuk ijime.

Dunia pendidikan Indonesia belum terlambat untuk menertibkan suasana yang berbau bullying di sekolah maupun kampus. Bullying bukan lelucon, bukan pula tindakan kekinian yang terpuji. Tidak ada kebanggaan menyandang mantan pelaku atau matan korban bullying. Jangan memaksa setiap orangtua akhirnya menyewa bodyguard untuk mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Sekolah sama sekali bukan arena preman.

Sekolah diniati untuk membentuk manusia lengkap dengan sisi kemanusiaannya. Jika masih saja ada yang merasa paling kuat, paling pintar, paling kaya, paling berani, mereka harus dicerabuti, direhabilitasi mentalnya pada sebuah tempat yang menyadarkan rasa empati, kasih sayang, dan hakikat mencintai sesama.

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.