11 September 2015, sebuah crane jatuh di Masjidil Haram menimpa ratusan jamaah yang berada tepat di sekitar crane tersebut. Badai dari cuaca tak bersahabat merontokkan crane dari posisinya. Crane runtuh menimpa para jemaah di bawahnya, membunuh 107 jiwa, dan melukai sekitar 200 orang (Newsweek, 11 September 2015). Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan crane tersebut dipasang dengan posisi yang salah sehingga tidak tahan dengan guncangan angin badai (Saudigazette, 24/9).
Meski telah menjadi bencana, otoritas pengelola Ka’bah tidak mencabut semua crane dari kompleks Masjidil Haram. Laporan dari Saudigazette (24/9) menunjukkan, 100 crane masih terpasang di kompleks Masjidil Haram. Pengelola mengklaim kali ini instalasi crane lebih aman. Hingga hari ini, para jemaaah masih beribadah di bawah naungan crane yang pernah jatuh saat diguncang cuaca buruk. Pihak pengelola tidak mengambil langkah yang lebih aman dengan mencabut semua instalasi crane pasca kecelakaan saat ibadah haji masih berjalan.
Kecelakaan crane di Masjidil Haram bermula dari proyek pembangunan yang serampangan dari pemerintah Saudi. Kota Mekkah telah bersalinrupa sejak proyek pengembangan kompleks Masjidil Haram dikerjakan. Kompleks Masjidil Haram adalah pusat aktivitas Mekkah. Karena Mekkah adalah kota wisata rohani dengan Masjidil Haram sebagai situs ibadah utama. Proyek pengembangan kompleks Masjidil Haram akan mempengaruhi tata kota Mekkah.
Sejak proyek pengembangan Masjidil Haram dikerjakan, kompleks masjid diperluas, hotel-hotel, mal, dan pusat perbelanjaan dibangun di sekeliling kompleks masjid. Menara jam raksasa mirip dengan Big Ben berdiri di dekat Masjidil Haram. Mekkah, kota pusat ibadah haji dan umroh, sudah bersalinrupa seperti kota metropolis modern.
Instalasi crane adalah satu dari sekian langkah pendukung proyek pengembangan kompleks Masjidil Haram. Proyek pengembangan terlihat dijalankan serampangan karena merusak situs-situs bersejarah yang ada di sekitar kompleks Masjidil Haram. Selain itu, proyek pengembangan Masjidil Haram menyimpan bahaya lain, yaitu minimnya fasilitas pendukung keselamatan jemaah jika terjadi bencana atau kecelakaaan seperti jatuhnya crane beberapa pekan lalu.
Hotel, mal, dan pusat belanja memang bertebaran di sekeliling kompleks Masjidil Haram. Namun fasilitas kesehatan seperti rumah sakit sangat minim (Foreign Policy, 22/9). Rumah Sakit Ajyad, rumah sakit terdekat dari kompleks Masjidil Haram, hanya memiliki kapasitas 52 tempat tidur.
Rumah sakit terdekat berikutnya adalah Rumah Sakit Al Noor, kapasitasnya sedikit lebih besar dari Ajyad. Namun lokasinya berjarak 4 mil dari kompleks Masjidil Haram. Kapasitas Rumah Sakit Ajyad kontras dengan rencana pembangunan Hotel Menara Abraj Al Bayt di dekat kompleks Masjidil Haram yang dirancang berkapasitas 10.000 kamar.
Kapasitas rumah sakit di kompleks Masjidil Haram jelas tidak cukup untuk menangani krisis seperti kecelakaan jatuhnya crane yang menimpa ratusan jamaah. Andai ada rumah sakit yang bisa melayani ribuan pasien di dekat kompleks Masjidil Haram, barangkali korban kecelakaan crane bisa diselamatkan.
Ada dua masalah serius di balik kecelakaan crane di Masjidil Haram, masalah prosedur keamanan pembangunan di Masjidil Haram dan minimnya fasilitas kesehatan untuk menunjang keselamatan jutaan jamaah haji. Pemerintah Saudi lebih tekun membangun hotel dan pusat perbelanjaan untuk melayani hasrat konsumtif para jemaah ketimbang sarana kesehatan dan sarana pendukung lainnya untuk keselamatan mereka.
Masalah proyek pengembangan kompleks Masjidil Haram tidak berhenti pada ketidakseimbangan sarana kesehatan dengan jumlah jamaah. Proyek pengembangan yang serampangan juga menghancurkan situs-situs bersejarah di sekitar komples Masjidil Haram. Sejak 2012, sudah banyak liputan membahas rusaknya situs-situs bersejarah di Mekkah pasca proyek pengembangan kompleks Masjidil Haram. Situs-situs yang berkaitan dengan tempat aktivitas Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan sahabatnya, tanpa ampun digusur oleh Pemerintah Saudi. Tempat-tempat itu beralihfungsi jadi fasilitas pendukung Masjidil Haram.
Time (2014) melaporkan rumah Hamzah, seorang paman Nabi Muhammad, sudah diratakan untuk pembangunan hotel. Selain itu, rumah Khadijah, istri Nabi Muhammad, juga sudah beralihfungsi jadi toilet umum. Meskipun rumah itu memiliki nilai historis tinggi. Karena di situ dipercaya tempat Nabi beristirahat sesuai menerima wahyu pertama. Kini rumah tersebut sudah beralihfungsi jadi tempat buang hajat para jemaah.
Rumah Abu Bakar, sahabat terdekat Nabi dan suksesor kepemimpinan politik pasca wafatnya, juga sudah lenyap. Kini digantikan Hotel Hilton.
Satu persatu situs bersejarah di Mekkah dihancurkan dan dialihfungsikan jadi hotel, toilet umum, dan pusat perbelanjaan. Penghancuran situs bersejarah di Mekkah dipercaya akan terus berlanjut. Dr Irfan Alawi dari Islamic Herritage Research Foundation menjelaskan rumah kelahiran Nabi Muhammad pun tidak aman dari ancaman penghancuran (The Independent, 2014).
Badan pemelihara warisan budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unesco) tidak berdaya mencegah penghancuran situs bersejarah di Mekkah. Roni Amelan, jurubicara Unesco menjelaskan, pihaknya tidak bisa mencegah penghancuran situs bersejarah di Mekkah, karena Pemerintah Saudi Arabia tidak pernah mengajukan situs-situs bersejarah sebagai warisan dunia yang harus dijaga (Time, 2014). Unesco tidak memiliki basis legal untuk mencegah penghancuran jika negara yang bersangkutan tidak melaporkan situs-situs bersejarahnya.
Selain ketidakberdayaan Unesco dan ketidakpedulian Pemerintah Saudi, penghancuran situs bersejarah di Mekkah makin sulit dicegah karena Mufti Besar Arab Saudi Sheikh Abdul Azis bin Abdullah Al Sheikh mendukung penghancuran situs bersejarah di sekitar masjidil Haram untuk perluasan kapasitas (The Independent, 2014). Orientasi Wahabi—sekte dominan di Arab Saudi–yang tekstualis dan ahistoris mewujud sempurna dalam rencana tata kota Mekah di kompleks Masjidil Haram. Situs-situs bersejarah dihancurkan, alih-alih dirawat untuk menghargai jejak langkah leluhur pendiri peradaban Islam di Mekkah.
Perpaduan ide Wahabi dan kepentingan bisnis membuat tata kota Mekkah di kompleks Masjidil Haram lebih berorientasi pada kepentingan bisnis dengan memanjakan hasrat konsumtif para jemaah, tapi minim perhatian aspek keselamatan dan aspek pendidikan lewat pemeliharaan situs-situs bersejarah. Revisi proyek pengembangan kompleks Masjidil Haram dan situs ibadah lainnya perlu dilakukan untuk merawat situs bersejarah dan mengutamakan aspek keselamatan dan keamanan para jemaah haji.
Kolom terkait:
Agama dan Korupsi: Dari Patung Yesus hingga Haji dan Umroh
Mensterilkan Haji dari “Bising” Politik?