Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris, dan Belanda, adalah musuh bebuyutan para pemuda Nusantara yang tak sudi negeri dan bangsanya direbut dan diinjak oleh orang-orang berkulit pucat itu.
Para pemuda Nusantara terus bersalin rupa selama rentang lima abad itu. Sedari Mahapatih Gajah Mada, Pangeran Diponegoro, Umar Said Cokroaminoto, RMP Sosrokartono, Tirto Adhi Suryo, Dewi Sartika, Kartini, hingga mereka yang turut hadir di Jalan Kramat 106 pada 28 Oktober 1928 dan mengikrarkan sumpah, Sumpah Pemuda:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Bagi saya, Sumpah Pemuda ini bukan sekadar ikrar kalimat per kalimat, melainkan berisi suatu tata nilai perubahan; berani berpindah dari titik keterikatan menuju kebebasan yang akhirnya disebut kemerdekaan.
Sebab, jika sumpah hanya berisi kalimat per kalimat, kita bisa saja menemui banyak keganjilan dari Sumpah Pemuda 1928 ini, misalkan;
Soal tumpah darah dan tanah air satu, mungkin tak ada soal berarti. Tapi perkara bahasa dan bangsa itu, kita punya perkara serius. Sejak sumpah keramat ini dibacakan, 721 bahasa yang dikandung bangsa kita pelahan punah satu demi satu—lantaran penuturnya lebih memilih berbahasa Indonesia.
Soal bangsa satu, bangsa terbesar yang purbani dan sejati adalah bangsa manusia. Itulah masalah paling rumit dunia kita sekarang. Kebangsaan manusia mulai pudar. Digerus konsep negara dan agama. Sehingga prinsip dasar kehidupan manusia jadi terabaikan.
Bangsa Indonesia yang dicanangkan Sukarno sebagai kekuatan utama penggerak semangat merebut kemerdekaan, sejatinya adalah metode perjuangan saja. Sukarno bahkan sadar betul bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah imaji baru dari gagasan besar sebelumnya yang bernama bangsa Nusantara. Akhirnya, nusantara dengan segala keunikan norma, moral dan etika seolah lenyap entah kemana.
Upaya kritik ini sama sekali tak mengurangi rasa hormat saya pada para tetua bangsa kita. Tapi jika kita sungguh benar menyadari bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh pemuda hari ini, maka fenomena yang saya sodorkan ini tak bisa dianggap sebelah mata.
Artinya, kebutuhan pemuda sekarang bukanlah bagaimana mereka menghafalkan sumpah kalimat per kalimat dan meneriakkannya dengan toa secara gagah, melainkan menarik nilai-nilai sumpah untuk terus selalu berubah. Pemuda dituntut untuk terus “bersumpah pemuda” sebagai dasar pelepasan diri dari belenggu-belenggu keterjajahan.
Menyumpahi Pemuda
Tidak ada batasan dan definisi jelas tentang apa siapa itu pemuda. Kita hanya sering mendudukkannya sebagai individu produktif dengan idealisme yang melekat di benaknya. Artinya, berapa pun usia individu seseorang–baik itu senior ataupun junior–selagi mereka memiliki kualitas itu, maka mereka layak disebut pemuda.
Permasalahan yang tak pernah selesai pada di lingkungan pemuda ialah stratifikasi senior-junior. Bagaimana senior dengan “kemahaannya” mengendalikan dan menyetir junior-junior yang juga “dipelihara” sebagai penerusnya kelak, sesuai dengan kepentingannya. Bagaimana senior yang juga dengan “kemahaannya” menempatkan para juniornya di posisi-posisi strategis agar suatu saat dapat dimanfaatkan sedemikian rupa.
Dengan segala kemurahan hati para senior yang masih terus saja mengurusi dunia “adik-adiknya” ini, akhirnya sang junior pun terjebak dalam lingkaran ketika mereka tidak punya pilihan lain selain mengikuti “firman” senior. Maka, persoalan senioritas di lingkungan pemuda Indonesia adalah lagu lama yang tak jua merdu dawainya.
Memang, berjalan dan bertahannya suatu organisasi, lembaga atau partai sebagai wadah perjuangan pemuda, sangat ditentukan dengan proses kaderisasi di dalamnya. Namun, apakah logis bahwa yang dimaksud dengan kaderisasi itu ialah di mana junior harus selalu tunduk dan patuh dengan instruksi senior? Selain akan membentuk pola antikritik, pola ini juga seharusnya mengarahkan kita pada pertanyaan selanjutnya, di mana wujud konkeit dari idealisme itu?.
Tidak salah juga jika ada yang mengucapkan bahwa senior selalu mengajarkan adik-adiknya untuk “kritis terhadap sesuatu”, tapi tanpa sadar, kalimat ini sebenarnya memiliki makna yang lebih implisit, yaitu hanya kritis terhadap lawan politik yang bertentangan dengan kepentingan senior itu.
Satu hal yang pasti, pola ini mengejawantah dan melembaga di berbagai sektor perjuangan pemudan dengan varian-variannya yang beragam.
Keterkaitannya dengan peringatan sumpah pemuda yang jatuh hari ini, pemuda dihadapkan dengan banyak konsep serta aksi-aksi tentang bagaimana seharusnya bertindak di Hari Sumpah Pemuda, di mana tindakan itu akan menjadi konsep dasar pemuda untuk bergerak kedepannya.
Salah-satu yang paling “panas” hingga sekarang ialah pro-kontra “Jambore Nasional Wirausaha” yang digagas lintas organisasi mahasiswa yang menyebut dirinya Cipayung Plus. Sejak digulirkannya konsep ini, sejak itu pulalah cakar-cakaran antar aktivis terus terjadi.
Awalnya saya berpikir, kenapa para pemuda junior ini bercakar-cakaran mungkin karena mereka mulai menyadari sisa-sisa kelemahan konsep sumpah pemuda sejak 1928 yang lalu, sebagaimana sudut pandang saya sebelumnya, dan mulai memikirkan jalan keluarnya, demi kemaslahatan negara-bangsa Indonesia.
Artinya mereka telah berani membuat sumpahnya sendiri yang revolusioner dan kekinian, agar tak melulu terjebak pada romantisme masa lalu dan keisengan peradaban. Namun jalan keluar yang dihasilkan berbeda bahkan saling bertentangan hingga akhirnya mereka saling cakar-mencakar.
Saya juga sempat berpikir, paling tidak bercakar-cakarannya mereka menunjukkan bahwa mereka sadar betul dengan apa yang diungkapkan Tomas Hobbes bahwa manusia itu sedianya (state of nature) selalu saling menerkam satu sama lain, hommo homini lupus. Atau mereka paham betul doktrin-doktrin politik Machiavelli dalam bukunya, Ill Principe. Tapi ternyata tidak. Mereka masuk dalam belantara perang hanya karena tunduk dan patuh terhadap seniornya masing-masing. Dan beda senior menunjukkan adanya kepentingan yang beragam pula. Akhirnya cakar-cakaran pun terjadi, sesederhana itu.
Jadi, sumpah pemuda berhenti hanya pada zamannya, tidak ada lagi sumpah-sumpah pemuda selanjutnya, pemuda kini justru lebih senang untuk saling menyumpahi daripada membuat sumpahnya sendiri untuk kembali membebaskan bangsa dari penjajah masa kini. Memang, sebagaimana pemuda 1928, sumpah itu hanya salah satu faktor penentu bandul pendulum perjuangan Indonesia merdeka. Namun, melalui ikrar itulah bakti pada negeri tercipta dititipkan.
Melihat pemuda terus bercakar-cakaran tanpa dasar yang jelas, melihat pemuda yang terus saja menjual kemerdekaannya kepada para seniornya masing-masing, dan kita masih saja terus mengharapkan adanya sumpah dari pemuda ini. Ah, nampaknya kita hanya sedang berenang di air yang keruh.
Kolom terkait:
Sumpah Pemuda: Kita Berbeda karena Kita Sama
Sumpah Pemuda dan Candaan yang Tak Lucu