Jumat, Maret 29, 2024

Solidaritas untuk Rina Nose dan Perempuan yang Melepas Jilbab

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.
Rina Nose.

Tulisan ini saya buat untuk Rina Nose dan perempuan-perempuan lain yang memutuskan untuk jujur menerima dirinya sendiri. Dan itu tidak mudah, sangat tidak mudah. Mencari dan menerima diri sendiri sampai pada menunjukkan kepada orang di lingkungan sekitar tentang pilihan kita untuk berbeda pada arus utama sangatlah tidak mudah.

Sekadar berbagi pengalaman, di tahun 2014 saya memutuskan untuk total melepas jilbab setelah copot-pasang memakainya sejak SMA di tahun 2008. Alasan saya memakai jilbab di tahun 2008 adalah karena saya bersekolah di SMAN di kota Cibinong, yang sebenarnya tidak ada aturan tertulis bahwa tidak wajib pakai jilbab. Tapi karena norma keislaman konservatif yang kuat tertanam di sana, maka saya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk menggunakannya. Ditambah paksaan dari ibu saya yang merasa perempuan harus menggunakan jilbaba atau dia akan membuat seluruh keluarga masuk neraka.

Memberontak untuk tidak mau pakai jilbab sering saya lakukan. Ketika duduk di kelas 2 SMA, saya sering nampak buka-tutup jilbab yang membuat ibu saya geram. Rambut saya dipotong paksa agar saya malu dan menggunakan jilbab. Tapi saya tetap bertahan keinginan tidak mau pakai jilbab dengan buka-tutup.

Seringnya saya buka-tutup jilbab membuat teman-teman saya menuduh saya “kerudung dusta”, padahal saya berusaha jujur berkata saya tidak ingin pakai jilbab. Selepas SMA, karena imaji jilbab telanjur melekat pada diri saya dan banyak orang mengenal saya di lingkungan yang mengenakan jilbab, semakin sulit buat saya untuk tidak menggunakannya.

Pada posisi yang semakin sulit melepas jilbab membuat kesehatan mental saya ikut terganggu. Saya bertarung dengan diri saya yang enggan menggunakan jilbab dan menghabiskan energi saya untuk itu. Setiap kali saya masih mengenakan jilbab, saya tidak pernah peduli pada ha-hal lain di luar diri saya dan mencela orang lain yang lebih buruk kondisinya dari saya agar saya merasa lebih baik dengan keadaan saya.

Saya tubir, nyinyir, dan merasa lebih suci dari yang lain demi mempertahankan jilbab di kepala ini. Tapi hal itu tetap tidak membuat hati ini tenang. Saya terus mempertanyakan diri saya dan membenci diri sendiri setiap kali bercermin karena saya merasa hidup dengan penuh kepalsuan.

Pernah sekali saya menonjok cermin di kaca kosan sampai pecah berkeping-keping karena saya tidak menyukai pantulan diri saya di cermin. Sampai kapan saya harus bertahan dalam kepura-puraan ini? Apakah saya cukup berani melepas jilbab ini dan menunjukkan kepada masyarakat siapa diri saya yang sebenarnya?

Tekanan batin begitu keras antara keinginan untuk jujur dan belum siap menghadapi penolakan dari masyarakat. Terlebih saya sendirian. Saya harus rawat jalan ke psikolog dan psikiater selama dua bulan untuk akhirnya menemukan bahwa akar masalah depresi dan ketakutan saya adalah selembar jilbab. Dan untuk bisa berdamai dengan diri sendiri, jawabannya adalah dengan konsisten tidak mengenakan jilbab lagi.

Ada banyak yang terjadi setelah saya lepas jilbab. Saya dituduh murtad atau pindah agama. Ibu saya mengalami shock luar biasa dan menangis selama sebulan karena keputusan saya. Ayah saya terguncang dan menyesal telah membiayai pendidikan saya selama ini. Tapi itu hanya pada awalnya, berangsur-angsur orangtua saya menerima pilihan saya karena mereka menyayangi saya. Tapi tidak dengan keluarga besar ibu saya, mereka membenci saya dan seluruh keluarga kecil kami dan melarang saya mengklaim diri sebagai bagian dari mereka.

Sudah tiga kali lebaran saya, ibu saya, tidak bisa pulang ke keluarganya karena saya memilih untuk tidak pakai jilbab. Hampir seluruh teman di perkuliahan saya menjauh. Beberapa teman laki-laki bahkan menganggap saya sudah menjadi pelacur dan berusaha “menawar” saya. Semua itu karena pilihan saya untuk melepas jilbab.

Jilbab bukan lagi jadi perkara kewajiban agama, tapi menjadi kontrol sosial. Sebesar apa pun saya berusaha memberikan argumen logis bahwa jilbab bukan bagian dari ritual agama Islam, melainkan hanya kebiasaan, semua argumen ditolak. Jilbab adalah norma yang menjadi dogma. Perempuan yang belum menggunakannya akan mengalami tekanan sosial melalui iklan dan berbagai tayangan televisi yang membuat sekaan-akan hanya perempuan baik yang memakai jilbab dan perempuan jahat akan membiarkan rambutnya tergerai dan seksualitasnya terbebaskan.

Bad girl-good girl terinternalisasi melalui penggunaan jilbab pada hari ini.

Rina Nose bukan selebriti pertama yang melepas jilbab, ada Tri Utamie, Rossa, Marshanda, Tya Subiyakto yang lebih dahulu melakukannya. Tak tanggung-tanggung Sukayna, cicit Rasulullah, juga menolak mengenakan jilbab. Tapi tentu saja kelompok konservatif Islam pasti akan menampik fakta sejarah yang tidak sesuai dengan keinginannya.

Fenomena melepas jilbab yang dilakukan pada hari ini lebih sulit karena mengenakannya menjadi tren dan norma sosial. Teruntuk Rina Nose dan beberapan public figure yang berani jujur pada dirinya sendiri, terimakasih untuk telah memberikan semangat dan keberanian bagi saya (dan teman-teman lain yang melepas jilbabnya).

Kolom terkait:

Oscar Lawalata dan Manufakturisasi Agama

Kuasa Gelap Jilbab dan Perempuan Aristokrat Arab

Cadar dan Wajah Islam

“Islam Kaffah” yang Bagaimana?

Islam Gembira

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.