Minggu, Desember 22, 2024

Siapa Penjaga Kebinekaan? [Catatan untuk Munsi II]

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
- Advertisement -
Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2017.

Acara Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) II yang dihelat di Ancol, Jakarta, 18-20 Juli, mengangkat tema penting, yaitu “Sastra sebagai Penjaga Kebinekaan Indonesia”, sebuah pembahasan yang tentu sangat krusial dan fundemental di tengah berbagai problem dan ancaman-anaman terhadap kebinekaan Indonesia. Acara yang dihadiri oleh sekitar 173 sastrawan dan akademisi sastra dari seantero Indonesia itu diundang langsung oleh Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Di samping ajang silaturahim, acara serupa diharapkan menjadi arena pertemuan dialektika, pertukaran wacan,a dan diskursus kesusastraan Indonesia kontemporer. Ia menjadi muara tertuangnya isu-isu nasional terkait dinamika kebudayaan bangsa dan negara untuk meneguhkan bahwa karya sastra dan sastrawannya terus terlibat aktif dan terbuka atas penguatan hal-ihwal ke-Indonesia-an yang bersumber dari inspirasi kebinekaan.

Nama-nama mentereng dalam abjad kesusastraan Indonesia, baik sebagai kritikus cum akademisi dan sastrawan, seperti Ignas Kleden, Abdul Hadi W.M, Seno Gumira Ajidarma, Radhar Panca Dahana, Akhmad Sahal, Suminto A. Sayuti, dan Rusli Marzuki Saria, dihadirkan sebagai pemantik diskusi untuk membuka ruang-ruang dialektis kebinekaan dalam acara penting sekelas musyawarah sastrawan seperti ini.

Kebinekaan Romantik

Setiap orang mempunyai definisi dan imajinasi sendiri tentang kebinekaan Indonesia dan ancaman-ancaman terhadapnya, termasuk makhluk bernama sastrawan. Karena sastrawan, sebagai pelaku dan penghidmat kesenian dan kebudayaan sekaligus, kerapkali dianggap menjadi entitas penting dalam diskursus peradaban dan kebudayaan sebuah bangsa.

Untuk konteks Indonesia, mereka seringkali mengasosiakan diri dengan kerja-kerja kebinekaan, wawasan multikulturalisme dan heterogenitas bangsa dan negara yang telah menjadi landasan dan falsafah bersama. Kesadaran pekerja sastra dan kesenian secara substansial lebih banyak bertolak dari akar tradisi, budaya dan kebudayaan yang telah menciptakannya. Untuk yang terakhir ini, nyaris semua sastrawan—baik sadar maupun tidak—telah menggelutinya lewat karya-karya mereka.

Tetapi, ada satu hal penting yang menurut saya sangat krusial dan pada akhirnya akan sampai kepada ancaman kebinekaan itu sendiri, yaitu fenomena pengerasan identitas. Sayangnya, Munsi II tidak sampai menyentuh konteks dan bahasan ini sama sekali. Para pemateri dan peserta pun lebih khusyu’ membahas hal-hal romantik di balik kebinekaan, yaitu misalnya bagaimana agar eksistensi tradisi lokal diperhatikan dan terus dihadirkan dalam bentuk-bentuk penerbitan karya sastra.

Pembahasan tradisi-etnik an sich dalam Munsi II akhirnya terjatuh kepada upaya redefinisi dengan tanpa melihat perkembangan dan dinamika kontemporer dalam pergulatan dan pertarungan identitas politik dan varian-varian ideologisnya.

Secara kasatmata sastrawan kita dan para kritikusnya seperti kehilangan nafas-nafas kontekstualnya hari ini—jika dilihat dari diskusi yang muncul pada acara Munsi II. Ada yang terlupakan secara substansial bahwa kebudayaan adalah hal-ihwal yang hidup dan bergerak dinamis di mana gesekan dan produk-produk yang lahir di dalamnya harus menjadi concern yang perlu selalu dihadirkan dan dibahas dalam setiap kesempatan. Untuk apa? Untuk menghindari anggapan bahwa sastra kita telah kehilangan denyut, tensi, dan suara-suara kebudayaan bangsanya sendiri.

Akhirnya, kebinekaan Indonesia dalam bingkai pembacaan sastrawan Indonesia dalam Munsi II hanya bergerak di sekitar etnisitas, lokalitas, dan tradisionalitas yang kemudian dibingkai dalam terma heterogenitas, pluralitas dan multikulturalitas. Diskusi tiga terma terakhir diteropong sebagai suatu hadiah yang given, yaitu keberagaman tradisi dan budaya di balik kekayaan ras dan etnik yang dikandung pulau-pulau di Nusantara.

Untuk itu, tesis Terry Eagleton (1966) bahwa kritik sastra kotemporer tidak memiliki fungsi sosial yang substantif bisa dimaklumi jika ditarik dalam konteks pertemuan akbar para sastrawan seperti Munsi. Karena wacana kebudayaan kontemporer yang substantif dan kontekstual seakan dilupakan bersama-sama oleh para pelaku sastra.

- Advertisement -

Menjaga Kebinekaan?

Dalam konteks Indonesia dewasa ini, ancaman utama terhadap kebinekaan justru terletak pada pengerasan identitas yang subur berkembang di kalangan kelompok-kelompok beragama. Sebagai mayoritas, kelompok-kelompok Islam yang berafiliasi dengan gerakan politik dan gerakan komunal lainnya (dengan latar belakang doktrin ekstremis) kerap menjadi tirani mayoritas yang pada akhirnya mengancam kebinekaan itu sendiri.

Mereka menggunakan gerakan Islam populis dengan varian ideologi politik Islam transnasional (Islamic revival) dan tak jarang mempraktikkan kekerasan komunal, misalnya melakukan tekanan lewat demonstrasi berseri dalam kasus Ahok.  Atau memakai legitimasi seperti MUI untuk memobilasasi massa dengan tunjuan menciptakan tekanan dan bahkan teror dalam arti yang luas.

Di negara demokrasi, tak ada yang keliru ihwal gerakan massa yang berafiliasi dengan ideologi apa pun. Tapi tirani mayoritas, dalam pengalaman Indonesia, telah memperburuk dan mengancam khazanah kebinekaan. Kita sepakat bahwa berdemonstrasi dengan beragam ekspresi adalah hak yang dijamin undang-undang. Tetapi praktik kekerasan yang ditunjukkan lewat simbol, stigmatisasi etnis dan bentuk-bentuk tekanan lainnya sangat mengancam kita sebagai bangsa yang majemuk. 

Sebelumnya, tekanan atas kelompok yang berbeda keyakinan seperti tragedi Ahmadiyah di Jawa Barat dan Syiah di Sampang menyimpan paradoks naif bagi kebinekaan itu sendiri.

Tak bisa terelakkan bahwa problem di atas adalah ancaman nyata terhadap kebinekaan yang lahir karena multikultaralisme dan pluralitas masyarakat Indonesia. Gerakan-gerakan berbasis ideologi dengan pengerasan identitas komunal tersebut justru kerap mempolarisasi hingga ke hal-hal mendasar seperti stigma SARA. Isu-isu etnisitas pun dipakai dan distigmatisasi dengan begitu hebat oleh beberapa kelompok untuk kepentinga kekuasaan.

Ketika pengerasan identitas komunal yang berbasis agama (seperti terjadi dalam 10 tahun terakhir) sempurna merasuk dan kemudian dikemas oleh partai politik untuk mengisi ruang publik, identitas etnik-lokal dan multikulturalisme di dalamnya dengan segenap ekspresinya akan dipupus habis dengan alasan parsial. Bukan tidak mungkin pada akhirnya kebinekaan kita akan tergerus dan tertekan. Apalagi akhir-akhir ini mulai ada situs kesenian tradisional yang dirusak oleh suatu kelompok dengan alasan agama.

Dalam tensi gerakan polarisasi kelompok beragama yang semakin menguat akhir-akhir ini, dunia sastra seharusnya berkontribusi secara proporsional tetapi tetap tidak meninggalkan unsur-unsur substansial pada ranah proses kreatif kesusastraan. Misalnya aspek-aspek eksplorasi imajiner dan eksperimentasi sebagai wilayah mutlak dalam karya sastra.

Akhirnya sebagai catatan bagi Munsi II yang berjargon menjaga kebinekaan, Panitia Munsi II seharusnya melampirkan data-data terbaru-kontekstual yang secara langsung terjadi di tengah-tengah kita agar karya-karya sastra tidak semakin menjauh dari realitas, bukan justru memaknai kebinekaan melulu hanya soal romantika. Meski begitu, kita masih bisa tersenyum karena karya-karya sastra kontemporer yang berserakan di luar Munsi tetap aktif menyuarakan topik-topik kontekstual terkait pertarungan identitas agama, konflik sosial dan sebagainya, sebutlah misalnya Okky Madasari, Mahfud Ikhwan, Arafat Nur, dan sebagainya.

Saya melihat mereka tidak pergi dari basis kultural dan kebudayaan yang telah membangun kesadarannya dalam melahirkan karya-karyanya. Karena, karya sastra, pada akhirnya, dituntut untuk mengeksplorasi problem-problem sekitar dan peristiwa-peristiwa historis-kontekstual sebagai landasan kesadaran berkarya.

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.