Cinta tak pernah kehabisan kata. Ia bisa ditulis dengan huruf apa saja. Sebab, ada yang lebih penting dari sekadar dapat dibaca, yaitu bisa diberi makna. Dan, i-b-u adalah huruf-huruf terbaik menulis cinta. Ya, ibu mencintai anak setiap hari, bahkan jauh sebelum anak itu dilahirkan. Namun, tidak sebaliknya. Anak sesekali bahkan lupa punya ibu, apalagi ketika ia semakin asyik dengan dirinya sendiri. Anak baru ingat ibunya ketika lapar, letih, sakit, dan kehilangan asa. Ketika itu, ia memanggil yang terdekat dengannya: ibu!
Ya, sebaiknya peringatan Hari Ibu tidak cuma setahun sekali, tapi setiap hari. Sebab, anak memang perlu diingatkan terus-menerus bahwa ia punya ibu, satu-satunya manusia yang tidak akan pernah melupakannya, sosok yang melindungi dan memperjuangkan keselamatan anak bahkan sejak sebelum hadir di dunia. Ibu telah hadir untuk anaknya, atau bolehlah kita sebut sebagai calon anak, sejak ia mengandung. Ibu menyayangi anak sejak dari rahim, dengan bahasa cinta yang khas dan khusus. Tanpa rekayasa.
Ya, memperingati Hari Ibu memang tak ada dalilnya. Namun, menghormati ibu sedemikian rupa sampai-sampai tak ada yang lebih kita hormati selain ibu kita sendiri, kita sama tahu: Muhammad SAW pernah menjawab pertanyaan soal itu. Masih untung peringatan Hari Ibu hanya sekali setahun. Bagaimana coba kalau setiap hari? Bukankah kita lebih sering gagal daripada berhasil dalam hal menghormati ibu? Bukahkah kita lebih sering menuruti kemauan sendiri dibanding menuruti kehendak ibu?
Bukankah kita masih suka membantah, bahkan melawan ibu? Bukankah kita berani bersuara lebih tinggi dari ibu? Bukankah kita, yang konon sudah dewasa ini, tidak suka diperlakukan seperti anak kecil oleh ibu? Atau, bahkan lagi, ada di antara kita yang malu memperlihatkan ibunya yang tetap sederhana dan apa adanya ketika kita sudah sukses, necis, mentereng, dan wah? Bukankah kita tidak takut mengatur ibu harus begini-begitu? Bukankah lebih sering ibu mendoakan kita daripada kita yang mendoakan ibu?
Saya yakin, sesungguhnya ibu tidak minta diingat atau diperingati. Bahkan, ibu rela meniada demi anaknya—supaya anaknya menjadi orang berada. Mau melakukan apa saja untuk anak. Menjual piring agar anak bisa makan pun ibu tak malu. Ibulah yang lebih berbakti pada anaknya, bukan sebaliknya. Ibulah yang menenangkan kita saat menangis, di mana kita ketika ibu berurai airmata? Ibulah yang terjaga dalam kantuk dan capek yang dahsyat ketika anaknya sakit, di mana kita ketika ibu mengaduh? Ibulah yang menceboki, memandikan, merawat kita. Di mana kita ketika ibu melemah?
Anak terhadap ibu, bagaimana? Berapa kali dalam hidupmu kau hadir untuk ibu? Bukan, saya bukan bertanya pada Anda. Saya bertanya pada diri sendiri. Apa yang sudah saya lakukan untuk ibu? Apa yang bisa saya sebut telah saya lakukan untuk bisa membalas kasih sayang ibu? Saya baru tersadar tidak melakukan apa-apa, belum melakukan apa-apa, untuk ibu, ketika beliau telah wafat. Terasa ada sejak tiada. Ya, ibu tidak tergantikan. Sejak itu, saya memperingati kedurhakaan saya sendiri terhadap ibu. Setiap hari.
Setiap agama memiliki ajaran tentang bagaimana berbakti pada orang tua, utamanya pada ibu. Tapi, sebagai anak, kita suka bertanya: sampai batas-batas yang bagaimana kita wajib berbakti pada ibu? Kita suka pada yang paling mudah dan tidak bikin susah. Kita mencari celah pembenaran agar tidak kena ‘pasal’ anak durhaka. Tapi, lihatlah: ibu tidak memberi batas pada dirinya untuk berbakti pada anak. Ibu bahkan berani berdoa bahwa ia rela mengambil sakit anaknya agar sang anak sembuh dan kembali sehat.
Ibu memiliki naluri yang tak dimiliki anak. Kita menyebutnya naluri keibuan. Tanpa perlu diperjelas, kita sama tahu apa itu naluri keibuan. Masing-masing kita punya ibu, namun masing-masing kita belum tentu punya anak, kan? Ada yang belum punya, ada yang sudah punya, ada yang tidak punya anak. Tapi, kita pasti punya ibu. Yang oleh karena sifatnya yang naluriah itulah, ibu tak pernah berpura-pura mencintai dan menyayangi anaknya. Ibu adalah kemurnian. Cintanya sejati. Rindunya tulus, tanpa embel-embel.
Ketika mengkhawatirkan anaknya, yang bahkan dalam keadaan sehat wal‘afiat, ibu benar-benar khawatir. Bukan dibuat-buat. Ketika mengharapkan yang terbaik untuk anaknya, ia benar-benar senantiasa mengusahakan yang terbaik dan berdoa. Yang kalaupun harus mengorbankan kesenangannya agar anaknya tidak sedih, ibu tak pernah merasa perlu berpikir dua kali. Untuk anak, kata ibu, apa pun akan ia lakukan. Untuk ibu, apakah apa pun akan kita lakukan? Saya bertanya ini pada kita semua, sesama anak dari seorang ibu.
Berat, seberat apa pun, niscaya ibu akan berjuang demi anaknya. Berat, seberat apa pun, apakah anak akan berjuang demi ibunya? Mari kita jawab dengan jujur, yang sejujur-jujurnya jujur. Memperingati hari ibu setiap hari? Jujur saja, berapa kali dalam sehari kita ingat ibu? Lebih sering mana dibanding lupa? Ibu bertahun-tahun menyuapi kita. Di mana pun, kapan pun, dalam keadaan bagaimanapun, saat kita merengek minta makan, ibu muncul sebagai pahlawan. Malukah Anda jika ibu tiba-tiba minta disuapi di depan umum?
Terlalu susah membandingkan cinta ibu pada anak dan cinta anak pada ibu. Terlalu jauh. Jadi, jika mendasarkan hanya pada pengetahuan—apalagi prasangka—bahwa memperingati Hari Ibu adalah tradisi kaum tertentu, yang kita anggap sebagai lebih buruk dari kaum kita, ada satu pertanyaan: sejak kapan mengingat ibu itu buruk? Satu hari saja dalam satu tahun, menyadari dan memperingati betapa kehadiran ibu adalah teramat sangat penting bagi seumur hidup anak, di mana letak keburukannya?
Tidak memperingati Hari Ibu memang tidak menjadikan seorang anak lebih buruk daripada yang lain. Pun sebaliknya, memperingati Hari Ibu tidak lantas menjadikan seorang anak lebih baik daripada yang lain. Sebab, substansinya bukan pada hari peringatan, namun pada ingatan terhadap hari-hari ketika ibu tak lagi bisa nyaman merebah kala perutnya membesar. Ibu tak lagi bisa tidur sejak kita dilahirkan dan meraung setiap malam. Tapi, ibu selalu memimpikan kesuksesan dan kebahagiaan untuk anaknya.
Ibu menua, kemudian gugur tanpa bunga tanda jasa, namun anak-anaknya justru meributkan satu hari saja dalam setahun apakah halal atau haram memperingati kasih sayang ibu yang sepanjang masa. Betapa, oh, betapa.