Sabtu, April 27, 2024

Saracen yang Sinting dan Mengerikan

Syahirul Alim
Syahirul Alim
Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia. Penulis lepas, pemerhati sosial, politik dan agama.
“Individu saja sangat merusak kalau informasinya itu tidak benar, bohong apalagi fitnah. Apalagi yang terorganisasi ini mengerikan sekali. Kalau dibiarkan mengerikan… Harus diusut tuntas,” kata Presiden Joko Widodo tentang aksi Saracen di silang Monas, Jakarta, Minggu (27/8/2017).

Terungkapnya aktor penyebar berita hoax dan kebencian yang disebut aparat kepolisian dengan istilah “Saracen” adalah gambaran orang-orang yang sehat tetapi tidak walafiat. Sejauh ini, menjadi kebiasaan umum, ketika kita ditanya soal kabar lalu dijawab “sehat”, namun itu hanyalah gambaran sebatas kesehatan dalam arti fisik, karena secara mental-spiritual belum tentu, apakah kita sakit atau mengalami gangguan.

Sehat walafiat berarti kondisi seseorang dalam keadaan sehat yang sempurna, lahir, batin, akal, tidak dalam kondisi keburukan dan kesintingan atau merasa pihak lain justru dianggap buruk. Sehat walafiat tentu saja kondisi sehat lahir dan batin serta seluruh aspek yang menyangkut kehidupan dirinya dalam keadaan sehat dan tentu bahagia dalam segala aspek.

Dalam realitas kehidupan manusia, tentu saja banyak pribadi yang sehat secara fisik, yang ditunjukkan oleh kondisi dirinya secara kasat mata bugar, namun seringkali memiliki cara pandang buruk terhadap pihak lain, lalu dengan bangganya mempublikasikan keburukannya kepada khalayak ramai. Kelompok yang disebut Saracen ini tentu selalu mengumbar keburukan atau kesalahan orang lain dengan cara melebih-lebihkannya sehingga keburukan dan kekurangan pihak lain jelas semakin berkesan kuat.

Di saat bangga dengan cara yang mereka lakukan, padahal mereka sadar bahwa itu merupakan perbuatan salah, mengandung risiko dan implikasi hukum, jelas mereka mengidap penyakit. Mereka sehat secara fisik, tetapi sesungguhnya mengidap penyakit batin berupa kedengkian, kebencian, dan menginginkan pihak lain hancur dengan cara yang mereka lakukan.

Terlepas dari motivasi ekonomi yang menjadi latar belakang  atau kelompok mana pun dalam menebar kebencian ini di dunia maya, yang pasti hobi yang mereka tekuni dengan mengungkit aib orang lain–terlebih saudaranya sendiri–jelas adalah hal yang terlarang dalam agama.

Secara tegas al-Qur’an malah memberikan gelar kepada para penebar kebencian dan berita bohong ini (ghibbah) dengan sebutan “pemakan bangkai” yang tentu saja lebih parah dari seorang kanibal sekalipun. “Dan janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. al-Hujurat: 12).

Mereka adalah “para pemakan bangkai” sebagaimana dilukiskan al-Qur’an dan mereka dalam keadaan tak merasa jijik sedikit pun akibat perbuatan yang dilakukannya. Jika memang benar perbuatan mereka itu, bukankah mereka sedang sakit? Orang yang suka menebar kebencian dan fitnah kepada orang lain jelas tidak dalam keadaan sehat, tetapi didera sakit yang sulit dideteksi apa penyakitnya, sebab penyakit ini jelas terkait dengan kondisi psikis, bukan penyakit dalam artian fisik.

Parahnya lagi, ketika mereka tak pernah mau memahami dan mendengarkan, al-Qur’an memberikan gelar bak hewan ternak bahkan lebih sesat dari hewan. Memahami banyak hal dan mau mendengarkan dari banyak pihak akan membentuk pola pikir dan kondisi hati lebih sehat, lain halnya dengan pribadi yang tau mau mengerti dan mendengarkan pihak lain.

Yang justru mengherankan adalah ada pernyataan dari beberapa kalangan yang menyebut kelompok pembenci dan penyebar fitnah ini sebagai “mujahid sosmed”, dan bahkan tak sungkan-sungkan mereka dibela sebagai kelompok kritis yang menyebarkan keseimbangan informasi. Bagi saya, ini jelas kesesatan logika dan justru ikut larut menjadi pribadi-pribadi yang sehat tetapi tidak walafiat.

Bagaimana tidak, jika penyebar aib orang lain, apalagi dengan melebih-lebihkan berita atau informasi untuk memperkuat seakan-akan apa yang diberitakan benar, lalu masih dianggap sehat? Jangankan menebarkan informasi yang mengundang kebencian atau fitnah, mengekspose sesuatu yang baik tetapi agar mendapat pujian saja jelas dilarang oleh ajaran agama, karena itu namanya “sum’ah”.

Karena itu, sungguh menarik ketika dalam beberapa kali doanya, Rasulullah selalu menambahkan kalimat “wal’afiah” di sela-sela kalimat “sihah” yang senantiasa dihubungkan dengan kebaikan kehidupan dunia dan akhirat. Berharap atau merasa sehat jasmani saja tentu tidak cukup, karena kesehatan sempurna hanya ada dalam kondisi sehat walafiat.

Maka, setiap pribadi yang merasa sehat walafiat jelas terhindar dari bencana yang bersifat fisik, seperti penyakit yang kasat mata, termasuk dalam hal ini, bencana non-fisik, seperti kedengkian, fitnah, prasangka buruk dan apa pun yang mendorong perbuatan jahat yang bersumber dari dalam diri kita sendiri.

Belakangan memang banyak di antara sekian orang terjangkiti penyakit yang justru menyebabkan situasi dan kondisi sosial bertambah buruk. Hal ini dilakukan oleh mereka yang jelas-jelas mengaku sehat secara fisik, tetapi sesungguhnya jauh dari kesempurnaan kesehatannya (wal’afiat).

Bersenang-senang dalam penderitaan orang lain, jelas tidak dilakukan oleh seseorang yang sehat walafiat. Sama halnya ketika kita menyaksikan kemewahan sepasang suami-istri pemilik First Travel yang gemar mendulang kenikmatan di saat para pengguna jasanya justru terbengkalai dan menanggung kerugian tidak hanya materil tetapi juga identitas sosial dirinya yang dipermalukan di depan publik.

Lalu, yakin jika bos pemilik jasa umrah itu sehat? Saya kira tidak, karena sehat tidak dapat diukur secara fisik, sehat harus sempurna sehingga menunjukkan bahwa mereka benar-benar dalam keadaan sehat walafiat.

Dengan demikian, kita tentu dapat mengukur sendiri, apakah memang sudah berada dalam kondisi sehat saja atau benar-benar sehat walafiat. Jangan terpesona atau terpedaya oleh kondisi fisik yang dirasakan sehat, karena belum tentu mentalitas yang menopang seluruh tubuh kita yang sehat, juga dalam keadaan sama. Jika kita masih merasakan dendam, benci, ingin melihat pihak lain hancur, apalagi terus menebar kebencian, keburukan dan fitnah berarti ada yang sakit dalam diri kita, walaupun sejatinya fisik yang kita rasakan sehat.

Persoalan sehat walafiat tentu tidak sebatas ungkapan yang meluncur dari bibir, tanpa didasari kebenaran hati nurani. Jawaban kita kepada pihak lain yang dinyatakan dengan ungkapan “sehat walafiat” berarti sempurna sehatnya, baik jasmani dan juga ruhani.

Baca juga:

Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?

Ujaran Kebencian dalam Pusaran Ruang Publik

Vox Hoax Vox Dei

Syahirul Alim
Syahirul Alim
Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia. Penulis lepas, pemerhati sosial, politik dan agama.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.