Hidup mengungsi di negara sendiri bagi jemaah Syiah Sampang adalah sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Tidak pernah terlintas di benak mereka bahwa akan ada hari di mana mereka dipaksa meninggalkan rumah dan tanah yang telah mereka dapatkan dari hasil jerih payah mereka sendiri. Mereka dicerabut dari lingkungan hidup di mana mereka lahir dan tumbuh dengan segala keterikatan sosial-budaya di dalamnya.
Sejak insiden pembakaran yang terjadi pada Agustus 2012 silam, mereka yang menjadi korban justru menjadi pihak yang diusir dan diharuskan meninggalkan rumah mereka dalam keadaan habis terbakar dilalap api. Tak sempat mereka mengemas barang-barang berharga yang dimiliki, termasuk dokumen penting seperti ijazah, akte kelahiran, kartu keluarga, dan dokumen berharga lainnya.
Demi alasan keamanan, mereka diungsikan ke GOR Sampang selama kurang lebih sembilan bulan. Pemerintah Kabupaten Sampang dan kepolisian waktu itu beralasan keamanan mereka akan lebih terjamin jika diungsikan.
Sementara itu, kehidupan mereka selama di GOR sungguh memprihatinkan. Mereka masih menghadapi teror dan ancaman dari kelompok anti-Syiah. Parahnya lagi, sebagaimana dipaparkan oleh Farabi (2014), sarana dan prasana pengungsian juga masih sangat terbatas. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang jatuh sakit dan mengalami gizi buruk.
Tak cukup menyaksikan kesengsaraan jemaah Syiah yang hidup serba terbatas di GOR, kelompok massa anti-Syiah mendesak Pemerintah Kabupaten Sampang mengusir mereka ke luar Sampang. Hak mereka untuk mengejar kebahagiaan dan mendapatkan hidup layak dirampas begitu saja demi memuaskan hasrat komunitas yang membenci secara membabi buta. Akhirnya, dengan keadaan terancam oleh amukan massa, mereka meninggalkan Sampang menuju Sidoarjo, Jawa Timur.
Kini, sudah hampir empat tahun mereka menjadi pengungsi di Rusunawa Jemundo Sidoarjo, terhitung sejak 20 Juni 2013. Tak ada kepastian sampai kapan mereka bisa pulang ke kampung halaman, ke tanah kelahiran mereka. Padahal, sebagai warga negara, mereka memiliki hak atas kebebasan bergerak, termasuk untuk kembali ke kampung halaman mereka. Tapi apa boleh buat, upaya untuk bisa kembali pulang tampaknya menemui jalan buntu.
Harapan Pulang yang Terus Menyala
Saya bersama dua teman mahasiwa dari Universitas Airlangga, Surabaya, mengunjungi Rusunawa pada Desember 2016 lalu. Kondisi Rusunawa saat kami kunjungi nampak sepi, tidak banyak orang lalu-lalang di sekitar Rusunawa. Bangunan yang terdiri dari lima lantai tersebut tidak semuanya diisi oleh jemaah Syiah, melainkan ada beberapa penduduk yang juga menjadi penghuni di sana.
Anggota jemaah Syiah Sampang selama di Rusunawa menjalani aktivitas seperti masyarakat pada umumnya; bekerja, beribadah, mendidik anak, dan kegiatan lainnya. Bedanya, mereka mendapat label pengungsi. Identitas ini sesungguhnya tidak mereka harapkan.
Di Rusunawa, ada beberapa kandang ayam yang terletak di belakang rusun. Ayam ini sengaja diternak oleh para pengungsi untuk tambahan penghasilan. Selain ternak ayam, ada banyak kelapa yang telah dikupas dan dijemur di sekitar halaman rusun. Menurut informasi yang kami terima dari salah satu anggota jemaah Syiah Sampang, pekerjaan mengupas kelapa ini sedikit membantu untuk tambahan pengahasilan demi menutup kekurangan dari uang tunjangan hidup yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Anak-anak kecil bermain dengan fasilitas seadanya dan terkungkung dalam bangunan bersusun. Mereka menyampaikan bahwa mereka rindu main di sawah, mandi di sungai, dan bermain dengan bebas bersama teman-teman mereka seperti saat hidupnya masih baik-baik saja.
Ketika kami bertanya lebih mendalam apa harapan mereka kepada pemerintah, semua anggota jemaah Syiah Sampang yang kami wawancarai menginginkan hak mereka untuk pulang ke Sampang dapat dipenuhi. Mereka sudah melupakan kejadian masa silam dan memaafkan semua pelaku. Mereka berharap tak ada lagi kekerasan serupa, baik di Sampang maupun di daerah lain.
Berdasarkan penuturan yang kami terima dari Ustaz Iklil, salah satu pemimpin jemaah Syiah Sampang, berbagai upaya telah dilakukan untuk meminta kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Sampang agar pengungsi dapat dipulangkan ke Sampang. Namun sampai saat ini, permintaan tersebut belum diterima.
“Jika pun ada mediasi dari Pemkab Sampang, saya berharap tidak lagi berat sebelah,” ujar Ustaz Iklil.
Harus diakui, konflik Sunni-Syiah yang terjadi di Sampang bukan hanya karena faktor teologis, melainkan banyak faktor yang mempengaruhi. Mulai dari ekonomi, politik, perebutan pengaruh di masyarakat, hingga keluarga sebagaimana diungkapkan dalam berbagai penelitian Farabi (2014), Hilmy (2015), Afdillah (2016). Karea itu, rekonsiliasi konflik keduanya membutuhkan kerja keras berbagai pihak, terutama Pemerintah Kabupaten Sampang.
Yang pasti, sebagai warga negara, mereka seharusnya mendapatkan perlakuan yang adil dan hak-hak kewarganegaraanya dilindungi. Sikap “diam” Pemerintah Kabupaten Sampang yang terus “membebankan mereka” kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan mengalienasi mereka dengan status pengungsi adalah tindakan diskriminatif yang jelas bertentangan dengan amanah konstitusi dan hak asasi manusia.
Sampai kapan kita membiarkan saudara sebangsa kita, jemaah Syiah Sampang, menjadi pengungsi di negara sendiri?