Masih ingat kekalahan Paris Saint-Germain atas Real Madrid di leg kedua Liga Champions beberapa waktu lalu? Kekalahan itu menyebabkan PSG gagal melaju di babak berikutnya. Memang, dalam pertandingan tersebut PSG tidak diperkuat bintangnya, Neymar. Tapi, itu tak menjadi alasan, sebab dalam pertemuan sebelumnya di kandang Real Madrid, PSG juga kalah meski bermain dengan kekuatan penuh.
Dalam momen liga champions musim ini PSG memang ingin unjuk kekuatan. Jika musim sebelumnya PSG terdepak di babak enam belas besar, musim ini PSG berharap bisa tampil sejauh mungkin. Amunisi bintangnya pun ditambah dengan mendatangkan Kylian Mbappe, serta membeli Neymar dari Barcelona dengan harga spektakuler dan menjadi pemain termahal saat ini. Dari sektor pemain belakang mereka juga membeli Dani Alves dari Juventus untuk menambah daya pertahanan.
Maka, diukur dari segi kedalaman skuat, antara PSG dan Madrid sama-sama tim yang bertabur bintang. Toh, akhirnya Madrid yang memenangkan pertarungan. Kok, bisa demikian? Ya, karena memang bola itu bundar, sehingga segala hal bisa berputar dan terjadi di lapangan hijau.
Tapi, bukan sekadar ini faktornya saya kira. Pernyataan dari pelatih legendaris Italia, Arrigo Sacchi, sebagaimana dikutip detik.com menjelaskan hal tersebut. Bahwa “PSG hanya sekumpulan individu yang bermain tanpa ide”.
Ya, PSG memang bisa membeli Mbappe dan Neymar dengan harga selangit. Tapi, ide atau filosofi tidak bisa dibeli, kata Sacchi. Ini memang terlihat dari bagaimana PSG yang belum menemukan filosofi bermain. Ini berbeda dengan klub besar yang sudah mapan, seperti Madrid yang dikenal dengan gaya counter attack, Barcelona dengan model tiki-taka, dan sebagainya.
Di Liverpool, Klop mengenalkan gaya gegenpressing, Mourinho dari dulu terkenal dengan model bermain defensif, dan pelatih lain dengan filosofi bermain yang berbeda.
Filosofi atau ide inilah yang menjadi daya lecut para pemain. Meski tidak bertabur bintang sekalipun, dengan filosofi yang kuat, permainan menjadi menggigit. Sebagaimana Tottenham Hotspurs di era Mauricio Pochettino saat ini, mampu menjadi pesaing tim-tim kuat di Liga Inggris, meski pemain bintangnya tidaklah banyak.
Ini karena filosofi permainan telah terhujam di jiwa pemain, menjadi pemompa semangat, sehingga bisa tampil seratus persen saat bermain untuk klub yang dibelanya. Filosofi ini bukan soal uang, tapi soal penanaman karakter pada diri pemain. Di sini, uang tidak bisa lagi berbicara.
Ideologi Cadar
Setali tiga uang dengan problematika PSG, beberapa waktu ini juga marak isu tentang larangan bercadar bagi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Larangan tersebut dikeluarkan oleh Rektor, sebab menurutnya ini dilakukan sebagai antisipasi dari massifnya gerakan ideologis yang menentang NKRI.
Isu larangan cadar di UIN bukan semata soal pakaian, tapi ada upaya massif dari penyebaran ide-ide Timur Tengah yang bertentangan dengan ideologi negara. Sebagaimana diakui juga oleh Al-Makin, salah satu dosen UIN Suka, melalui laman facebooknya.
Kebijakan larangan bercadar ini tentu menimbulkan polemik tersendiri. Meski akhirnya Rektor mencabut larangan tersebut, dengan alasan demi menjaga kenyamanan iklim akademik di kampus. Walaupun sudah dicabut, polemik masih tetap saja kuat. Media sosial pun ramai dengan selentingan-selentingan komentar yang kadang bernuansa hinaan dan debat kusir.
Bercermin pada kekuatan PSG yang kalah oleh Madrid, cadar ini juga demikian sifatnya. Ketika cadar sudah menjadi ideologi, maka sulit untuk dihentikan. PSG mempunyai kekuatan dana yang melimpah untuk menghentikan Madrid, UIN Suka mempunyai kekuatan hukum untuk menolak cadar, namun pada akhirnya masih mentah juga. PSG tetap kalah, cadar juga tetap diperjuangkan. Inilah ideologi, kekuatan yang tidak bisa terbeli baik dengan kekuatan dana, kekuatan hukum, bahkan kekuatan politik sekalipun.
Sama seperti ideologi kebencian di medsos. Meski Jonru telah ditahan, bukan berarti ujaran kebencian di medsos akan menghilang. Meski Muslim Cyber Army (MCA) sedang diproses hukum, tetap saja pemberitaan hoaks di medsos masih bermunculan.
Ideologi Jonru dan MCA sudah kadung menyumblim di sebagian nurani masyarakat, sehingga mereka akan tetap bergerak. Tumbang satu Jonru, akan muncul Jonru yang lain.
Ideologi vs Ideologi
Lalu, bagaimana cara yang terbaik mengatasi semua itu? Dalam hal ini memang masih bias untuk menyebut bahwa cara ini adalah yang terbaik, sedangkan metode yang lain tidak baik. Bahwa apa yang dilakukan oleh Rektor UIN Suka melalui jalur hukum di satu sisi bisa menjadi solusi. Tapi ini tidaklah cukup, sebab sifat dari ideologi adalah menular dari manusia satu ke manusia lainnya.
Hal ini karena tiap-tiap manusia perlu mempunyai keyakinan mengenai bagaimana semestinya ia dapat menjalankan kehidupannya. Keyakinan itu ia dapat dari ideologi tersebut. Demikian menurut Louis Althuser.
Maka, langkah yang perlu ditempuh, yakni melalui penanaman ideologi pula agar menjadi lawan balik (counter). Kalau ini yang dilakukan, berarti sudah “apple to apple”, seimbang secara gerakan. Dalam wadah inilah langkah preventif dilakukan. Jika ingin mencegah penyebaran ideologi yang terselubung dalam cadar, maka lakukan pembinaan secara ideologis pula.
Di sisi ini memang tidak mudah, butuh waktu cukup panjang, energi besar, dan ketelatenan tinggi. Berbeda dengan langkah hukum yang serba hitam putih, atau langkah politis yang membutuhkan lobi-lobi tingkat tinggi, kadang tidak butuh waktu panjang.
Di sisi lain, langkah ideologis kadang juga melelahkan. Tapi, justru di situlah kekuatan ideologi itu akan ditularkan. Semakin mengakar suatu gerakan ideologis, maka akan semakin menjulang hasilnya. Menarik, bukan?
Kolom terkait:
Kontroversi Cadar, UIN Suka, dan Pelintiran Kebencian
Cadar dan Kompleksitas Hubungan Agama-Budaya
Cadar dan Kebebasan Mahasiswa UIN Yogyakarta