Senin, Oktober 7, 2024

Perempuan, Teruslah Bernyanyi!

Adele memboyong 5 penghargaan, termasuk Album of The Year, dalam malam Grammy Awards ,12 Februari 2017, lalu. [Reuters]
Panggung seni tarik suara dunia telah menjadi saksi kemunculan perempuan-perempuan inspiratif yang tak hanya sekadar bernyanyi, namun membawa pesan tersendiri bagi perempuan di seluruh dunia untuk berani mengekspresikan diri melalui ide dan bakatnya.

Beberapa penyanyi kenamaan yang masuk dalam jajaran tersebut meliputi Beyoncé, Adele, Lalah Hathaway, Madonna, hingga Celia Cruz. Srikandi-srikandi musik Indonesia juga turut berkiprah menyuarakan semangat bagi perempuan Indonesia untuk berani mengekspresikan diri.

Namun, ternyata masalah suara bukan hanya ada di pilkada. Jauh sebelum masa ini, bahkan lebih tua dari masa-masa Ella Fitzgerald terjun ke dunia musik, terdapat masa di mana perempuan di Eropa dilarang untuk bernyanyi, terutama di gereja. Terdengar lucu memang, tetapi inilah yang terjadi di zaman Medieval.

Sebagaimana yang tertoreh dalam catatan pergerakan seni tarik suara, karya-karya produksi zaman Medieval mayoritas mengacu pada musik berkonten religius. Jadi, tidak diperbolehkan bernyanyi di gereja adalah tanda bahwa pintu cenderung tertutup bagi perempuan untuk bisa bernyanyi.

Hal ini disebabkan karena interpretasi main comot yang terjadi pada masa itu, ketika perkataan Rasul Paulus bahwa “women should remain silent” dimaknai sebagai pesan harfiah di mana perempuan tidak diizinkan untuk memberikan suaranya. Tetapi, sebagaimana eksistensi perempuan dan laki-laki sama-sama tidak bisa dipungkiri, misinterpretasi ini membawa dampak yang tak kalah tidak menyenangkannya untuk laki-laki.

Pelarangan perempuan untuk bernyanyi tentu menimbulkan absennya warna suara sopran dan alto dalam lagu yang dinyanyikan. Hal ini menimbulkan kebutuhan warna suara pengganti suara perempuan. Merasa tak cukup dengan suara falsetto laki-laki, akhirnya kebijakan pemotongan alat kelamin laki-laki dilakukan untuk mengurangi hormon dan mendukung pembentukan suara seperti perempuan.

Mereka kemudian disebut sebagai castratos. Para castratos ini yang menggantikan peran warna suara perempuan dalam lagu-lagu yang dinyayikan. Castratos berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dan tak jarang keluarga yang pada saat itu memiliki banyak anak menyerahkan beberapa anaknya untuk menjadi castratos, mengingat kurangnya lapangan pekerjaan.

Menjadi castratos bukan tanpa risiko. Bahkan, ketika castratos tersebut berhasil menjadi bintang opera, secara sosial mereka mengalami diskriminasi. Tak jarang juga castratos yang mengalami kematian karena efek operasi.

Namun demikian, upaya pergerakan menuju perubahan tak lantas berhenti. Muncul tokoh seperti Paul dari Samosata yang mengajarkan perempuan pada masa itu bagaimana caranya belajar bernyanyi mazmur dan Hildegard von Bingen yang membuat 70 lagu sakra untuk biarawati di Rupertsberg. Setelah berpuluh tahun bersuara di bawah tanah, sekitar tahun 1650, otoritas Perancis di bawah Louis XIV mulai memanggil dan mengizinkan penyanyi perempuan solois untuk menyanyikan lagu-lagu sakral.

Segregasi penyanyi masih terjadi, namun kaum komposer tidak peduli dan menabrak segala kekakuan sosial yang terjadi dalam bermusik ini. Barbara dan Margarethe Keiser merupakan dua penyanyi perempuan pertama yang berhasil tergabung dalam paduan suara gereja. Sejak saat itu, advokasi untuk menyertakan perempuan dalam barisan penyanyi sakral semakin kuat.

Meski terlihat remeh temeh dan tidak relevan dengan dunia yang begitu kompleks, pelarangan bernyanyi bagi perempuan ini menunjukkan beberapa fenomena yang patut menjadi refleksi. Pertama, kekerasan terhadap hak perempuan tak jarang membawa kerugian baik bagi pihak perempuan maupun laki-laki, seperti apa yang terjadi pada castratos. Kedua, pembacaan diskursus dan merekatkan aturan pada perempuan secara asal sangat bisa terjadi.

Di balik fakta muram dan kemungkinan represi terhadap kebebasan berekspresi, saya melihat bagaimana penyanyi perempuan dapat menjadi sosok yang berpengaruh seperti deretan nama yang telah disebutkan pada paragraf awal. Bukti kekuatan perempuan dan bernyanyi dapat dilihat juga dari pelarangan yang hampir serupa yang juga terjadi di Iran.

Lagu merupakan medium penyampai pesan yang jitu karena, sebagaimana disampaikan dalam studi neurosains, otak manusia pada dasarnya menyukai musik. Ketika pesan dikemas dalam nada, pesan cenderung lebih mudah diterima. Dengan demikian, bernyanyi menjadi cara yang dipilih oleh Sara Najafi di Iran, tiga penari dan penyanyi hip hop di Saudi Arabia, Maria Anderson di Amerika Serikat, dan banyak lagi.

Opresi dan diskriminasi dalam dunia musik terhadap perempuan terjadi bahkan sebelum musik menjadi industri. Opresi juga terjadi dalam lingkup internal di mana ras dalam masyarakat tersebut sama—meski jika melompat sedikit ke Amerika Serikat isu rasial akan menambahkan poin cerita tentang diskriminasi ini.

Berangkat dari keletihan mencari jawaban di mana sisi berbahayanya perempuan yang bernyanyi, pemikiran untuk tetap melakukannya malah bertambah kuat. Pada masa sekarang, suara perempuan bergema di setiap sudut dunia dengan membawa pesan masing-masing.

Titik-titik perjuangan mulai dari zaman Medieval ketika berlaku larangan bagi perempuan untuk bernyanyi dalam ibadah di Eropa, perjuangan penyanyi perempuan berkulit hitam di Amerika Serikat, hingga perjuangan mengekspresikan diri penyanyi-penyanyi perempuan di Timur Tengah, terbukti telah membawa perubahan bagaimana masyarakat memandang hak individu untuk turut serta memiliki bagian peran dalam lingkungan sosialnya serta hak individu untuk mengekspresikan diri dan menyampaikan idenya pada publik.

Penyematan aturan yang tak relevan dikritisi lewat karya, termasuk oleh perempuan-perempuan di dunia tarik suara, meskipun risikonya adalah dilabel sebagai pemberontak akibat mendobrak status quo dalam pemikiran masyarakat kebanyakan. Bukan semata demi kepentingan kelompok, tapi untuk mengusahakan masyarakat yang lebih dewasa dan memahami keberimbangan dan hidup yang berdampingan. Oleh karena itu, women should NOT remain silent.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.