Sabtu, April 20, 2024

Merobek Kafan Patung Tuban

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.

Agustus tahun ini barangkali menjadi bulan paling kelabu bagi umat Khonghucu Indonesia. Simbol agama mereka, Patung Kuan Sing Tee Koen, tengah dirundung percobaan penutupan paksa oleh sejumlah ormas Islam, hingga membuat Pemerintah Kabupaten Tuban memutuskan untuk menutupinya dengan kain kafan putih.

Dalam tradisi Islam-Sunni, putih adalah simbol kesucian sekaligus penyerahdirian (surender). Seperti halnya mayat, apa pun yang dikafani dianggap tidak lagi berkutik. Seluruh kendali telah bergeser ke kelompok mayoritas. Dalam konteks Tuban, patung tersebut telah dianggap seperti mayat. It is over, it’s dead. Nasibnya akan ditentukan oleh pertarungan politik dari Jakarta hingga Tuban.

Polemik pendirian Patung Kwang Seng Tee Koen layak dicermati. Hal ini bukan semata-mata terkait problem perizinan, namun lebih dari itu ada intensi kuat penggiringan masalah ini ke isu SARA, dalam hal ini kebencian terhadap etnis dan keagamaan tertentu.

Intensi ini terang benderang terlihat dari desakan 30 elemen yang menamakan diri Forum Ormas LSM Jawa Timur saat bertemu DPRD Provinsi (7/8). Sehari setelah itu, mereka kembali mengultimatum agar patung ini dirobohkan. Jika ini terjadi, maka patung Tuban akan menjadi korban ke-10 aksi kebencian terhadap patung dalam 10 tahun terakhir ini. Patung-patung tersebut dirobohkan atas nama kebencian terhadap berhala dan tuduhan pornografi. Bagaimana menjelaskan fenomena ini?

Inferioritas-Kolonial

Sangat mungkin tidak banyak yang sadar bahwa kebangkitan formalisme politik Islam sebagaimana terjadi di Indonesia sekarang kerap dibarengi oleh munculnya perasaan inferior terintimidasi oleh simbol-simbol agama lain. Perasaan ini selanjutnya menggumpal dan mendorong terjadinya destruksi atas nama kemurnian agama. 

Agama baru kerap mengunggulkan dirinya sendiri seraya meninjui agama lama, termasuk menstigma simbol-simbolnya. Merujuk Rictor Norton (2000), Yahudi dan Kekristenan awal membusungkan dadanya di hadapan bangsa Asyiria dan Babilonia dengan cara merepresi praktik ritual homoerotisme yang dianggap menentang hukum alam.

Dalam konteks patung dan simbol keagamaan, sejarah Protestan pernah berlumuran darah karena terjangkiti penyakit ikonoklasme, sejenis doktrin atau praktik kebencian terhadap kepercayaan religius tertentu.

Kala itu Protestan mengkritik keras Katolik yang memang dikenal lebih artistik dengan berbagai simbol ilahiah. Oleh Protestan, kekayaan ini dibabat habis. Protestan merasa perlu menampilkan mazhab Kristen baru yang harus berbeda–yakni kekristenan yang lebih terang benderang tanpa simbol (Davis 1973). Mungkin itu sebabnya gereja Protestan terlihat pucat, kering, dan miskin sentuhan estetika-ilahiah. Sangat berbeda dengan Katolik.

Ikonoklasi Islam

Yang perlu dicatat, jauh sebelum ikonoklasi menjangkiti Protestan, sejarah Islam juga dirundung hal sama; dipenuhi sikap permusuhan terhadap patung dan simbol milik agama lain, terutama kelompok politeis, Yahudi dan Kristen.

Tentu ada banyak bukti Nabi dan para penerusnya bersikap toleran atas simbol agama lain. Namun, jika mau jujur, bercak ikonoklasi Islam tidaklah bisa dihapus dari lini masa yang bahkan telah menjadi sistem kepercayaan tersendiri karena kukuh disokong teks–baik al-Qur’an maupun al-Hadits.

Dalam al-Qur’an, setidaknya terdapat 17 surat yang memuat puluhan kata idol (berhala) dalam konteks yang spesifik dan bernuansa antipati-konfrontatif terhadap sistem ketuhanan Islam. Dan, jika kita susuri, kata tersebut  muncul sebanyak 136 entri dalam tujuh kitab hadits kanonik Sunni — Sahih al-Bukhari, Sahih al-Muslim, Sunan an-Nasa’i, Sunan Abi Dawud, Jami` at-Tirmidhi, Sunan Ibn Majah, dan Muwatta Imam Malik. Sebagaimana di al-Qur’an, hampir semua entri tersebut menggambarkan kesamaan cara pandang.

Barangkali epos krusial antipati terhadap patung terjadi saat penaklukan Makkah (fath al-Makkah). Sebagaimana diceritakan Abdullah ibn Umar yang direkam dalam Sahih Bukhari, setiba di kota kelahirannya–setelah mengkonsolidasi kekuatan di Madinah, rombongan Nabi menyapu bersih ratusan patung di sisi dalam dan luar Ka’bah. “The Prophet entered Mecca and (at that time) there were three hundred-and-sixty idols around the Ka`ba. He started stabbing the idols with a stick he had in his hand and reciting: “Truth (Islam) has come and Falsehood (disbelief) has vanished,”

Beberapa bulan setelah itu, Januari 630 M, Nabi menyuruh Khalid bin Walid mengemban misi “suci” merebut Nakhla bersama 30-an pasukan. Di sana mereka juga menghancurkan patung perempuan al-Uzza sesembahan kaum Qurays (Mubarakpuri, 2002).

Basis tekstual ini selanjutnya menjadi kuncian-antipati untuk dioperasionalkan oleh khalifah penerus Nabi. Dalam dokumen yang dikenal dengan nama Pakta Umar (‘ahda al-Umar), sebagaimana terekam dalam Kitab al-Umm maupun Tafsir Ibn Kathir, Umar bin Khattab kabarnya berhasil melarang warga Kristen Damaskus (sekarang bernama Syiria) untuk membangun maupun merenovasi tempat ibadahnya. Simbol-simbol Kristen dilarang muncul di publik. Hubungan gereja dan rumah warga Kristen tidak boleh melebihi tingginya rumah orang Islam, apalagi masjid.

Catatan pedih destruksi terhadap patung-patung Hindu ketika Islam berusaha mengokupasi India dapat ditemukan dalam dua karya Sita Ram Goel (1998), “Hindu Temples: What Happened To Them?”, atau catatan MT Titus (1930), “Indian Islam: A religious history of Islam in India“.

Menyerang Tubuh Sendiri

Tidak hanya terhadap non-Muslim, amukan ikonoklasi Islam bahkan meranggas melukai bagian tubuh Islam sendiri. Awal tahun 1800-an, keluarga Saudi di bawah Abdul Aziz ibn Muhammad ibn Saud menaklukkan Karbala, dan selanjutnya Mekkah serta Madinah. “Modernisme” yang dibangun olehnya memakan korban berbagai situs bersejarah peninggalan Nabi dan keluarganya.

Pembumihangusan tersebut berlangsung hingga tahun 1970-an. Kelompok Wahabi–sebutan bagi Dinasti Saud–kuatir akan terjadi pemberhalaan terhadap situs tersebut. “The motive behind the destruction is the Wahhabists’ fanatical fear that places of historical and religious interest could give rise to idolatry or polytheism, the worship of multiple and potentially equal gods,” kata Dr. Sami Angawi, pakar arsitektur kuno Islam sebagaimana dikutip portal berita Inggris, Independent (2005).

Dalam konteks ikonoklasi awal abad ke-20, peran penting perlawanan Nahdlatul Ulama atas Wahabi sangat krusial untuk diingat. Melalui Komite Hijaz-nya, NU mendesak Pemerintah Arab Saudi menghentikan aksi pembongkaran makam Nabi karena dianggap tidak menghormati Nabi dan keluarganya.

Kebencian yang Terawat

Hingga sekarang, justifikasi teks antipatif terhadap patung atau simbol agama lain masih nyata adanya. Ibarat rudal berhulu ledak tinggi, teks-teks tersebut tidak pernah dilucuti (mansukh) alias masih berstatus aktif. “Siapa sih kamu? Kok, berani mengkritik Bukhari, Muslim atau Imam Syafii?” kata salah satu senior saya di pesantren.

Jika patung Tuban adalah representasi dewa keadilan bagi umat Khonghucu, maka Imam Syafii bisa dianggap dewa hukum mayoritas Muslim Indonesia.

Kuatnya kuncian patronase sikap terhadap teks, hingga saat ini menyebabkan tidak ada satu pun otoritas Islam Indonesia yang berani tegas dan terbuka melucuti  teks-teks antipati tersebut–atas nama menjaga kebhinekaan. Yang terjadi justru sebaliknya, teks-teks ini secara turun- temurun diajarkan di hampir seluruh kanal sistem pendidikan Islam–dari pesantren yang jumlahnya lebih dari 27 ribuan hingga puluhan ribu sekolah Islam formal.

Hipotesis saya, situasi antipati teologis seperti ini yang mempengaruhi beberapa ormas Islam terlibat aktif menolak patung di Klenteng Tuban, di antaranya adalah Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam) dan PCNU Tuban. Melalui surat resmi yang ditandatangi lengkap jajaran syuriah dan tanfidziyyah, NU Tuban memutuskan patung tersebut perlu ditutup secara permanen.

Sikap organisasi yang dikenal moderat ini tentu saja mengejutkan banyak kalangan, sekaligus bisa menjadi indikator sejauhmana sikap toleransi mulai terdegradasi.

Islam Ramah Patung?

Umat Islam perlu memahami bahwa ikonoklasi merupakan watak politik agama yang serakah, kolonialis dan arogan–sebagaimana yang didemonstrasikan ISIS. Jauh sebelum Islam hadir di Indonesia, telah ada Hindu, Buddha dan puluhan agama lokal. Mereka mempunyai sistem kepercayaan sendiri dengan menjadikan patung sebagai salah satu medium transendental. Penting diingat, Islam awal Indonesia dipercaya menyebar dengan cara damai, dan ini berarti terdapat prinsip menghormati kepercayaan yang lebih dulu ada.

Saya haqqul yaqin patung Tuban tidak dibangun untuk memaksa Muslim berpindah ke Khonghucu, atau mengusir umat Islam keluar dari bumi Ronggolawe. Dengan demikian, tuntutan menutupnya bisa dikatakan tidak berlandaskan al-Qur’an sebagaimana diatur dalam al-Hajj 39-40.

39. Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu,”

“40. (yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.”

Dalam konteks keragaman Indonesia, saya meyakini cara paling mulia menegakkan martabat Islam adalah dengan tidak “mengkafani” patung atau simbol agama lain–dengan maksud agar simbol kita terlihat sendirian. Sebaliknya, yang kita butuhkan justru–mengutip sejarawan Amerika Serikat Howard Zinn–” to destroy the weapons of death that endanger us more that they protect us, also that waste our resources as well as the threats against our children and grandchildren.”

Akhirnya, atas nama al-Qur’an dan keberadaban misi profetik Islam, kita wajib membuka kafan patung Tuban, dan kemudian menutupkannya pada syahwat kebencian kita atas kelompok minoritas.

Selamat ulang tahun ke-72, Indonesia!

Baca juga:

Kontroversi Patung Kwan Kong dan Muslim Kagetan

Benarkah Agama Menyebabkan Tindakan Kekerasan? [1]

Benarkah Agama Membenarkan Tindakan Kekerasan? [2 – Habis]

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.