Indonesia kita kini berada dalam situasi di mana berbagai sentimen sosial sedang direbus habis-habisan. Sentimen sosial ini begitu riuh, direbus sebagai isu-isu sensitif atau isu sederhana namun sedemikian rupa dibuat sensitif secara kolektif dalam kuali sosial kita. Beberapa isu lama, hoax, dan fitnah pun digunakan untuk merebus sentimen kolektif.
Kebencian menyebar ke mana-mana, dijadikan alat yang memang efektif untuk mendidihkan air sentimen sosial. Dalam proses perebusan sentimen sosial habis-habisan ini, etiket dan etika sosial lumer di bahwa pantat para perebus.
Sebenarnya wajar belaka bahwa berbagai isu berkontestasi dalam kehidupan sosial untuk merebut pengaruh satu sama lain. Namun fenomena mutakhir kita menunjukkan bahwa berbagai isu diangkat tidak lagi dalam kerangka persaingan merebut pengaruh secara dewasa dalam suatu sistem demokrasi yang sehat. Kontestasi budaya dan politik tidak lagi bermartabat. Lebih dari sekadar kontestasi kekuatan-kekuatan sosial, perebusan sentimen sosial secara habis-habisan tanpa disadari telah menjadi tujuan pada dirinya sendiri.
Sentimen adalah perasaaan, pandangan dan/atau sikap berlebihan tentang sesuatu. Karena berlebihan, secara umum ia menjurus pada hal negatif, apalagi bila sentimen itu dibangun pada tataran kolektif menjadi sentimen sosial. Secara ekstrem dapat dikatakan, sentimen sosial adalah perasaan tidak suka terhadap (kelompok) orang lain atas alasan tertentu, terutama atas alasan perbedaan.
Perasaan tidak suka ini direbus terus hingga menjadi kebencian (kelompok) terhadap (kelompok) orang lain. Dan, kebencian akan melahirkan kebencian lagi, bahkan bisa tak berujung sebagai spiral kebencian sosial. Kini kebencian sosial merupakan teror baru yang tentu saja menakutkan bagi kelompok sosial yang dibenci.
Secara umum, sentimen sosial direbus melalui berbagai isu etnis, politik, ideologi, dan agama (baik interagama maupun antaragama). Isu-isu itu demikian konkret belakangan ini. Misalnya, sentimen anti-Tionghoa di(muncul)kan kembali, terutama berkaitan dengan isu politik pemilihan gubernur DKI Jakarta.
Isu ini dibalut pula dengan kebijakan politik-ekonomi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang berorientasi ke Tiongkok. Proses perebusan sentimen anti-Tionghoa ini tampak nyata dengan mereduksi atau bahkan menafikan kompleksitas fakta politik di satu sisi, dan fakta sejarah integrasi etnis Tionghoa dalam Indonesia, baik secara budaya maupun politik, di lain sisi.
Fenomena perebusan sentimen sosial ini tampak lebih konkret dalam isu-isu keagamaan. Gairah keagamaan yang kian tinggi bukannya memantapkan nilai-nilai universal agama, melainkan justru mengerdilkannya. Bukannya menghidupkan spiritualitas dan etika sosial, melainkan justru membunuhnya. Meningkatnya intoleransi dan radikalisasi agama belakangan ini adalah buah dari gairah keagamaan yang justru mengerdilkan pesan-pesan universal agama. Beragama pun jadi kian baper dan sensi.
Dalam konteks ini, sentimen sosial direbus menjadi anti-agama bukan saja secara teologis, melainkan bahkan sekadar sebagai pergaulan sosial-budaya. Misalnya, boleh-tidaknya umat Islam mengucapkan selama Natal selalu menjadi ingar-bingar insinuatif pada bulan Desember.
Fenomena perebusan sentimen sosial ini tampak lebih konkret lagi dalam isu-isu tentang Islam. Ini bisa difahami karena di Indonesia Islam merupakan agama mayoritas.
Tanpa menyertakan sentimen sosial internal umat Islam, air sentimen sosial di Indonesia tak akan pernah mendidih. Maka, sentimen keagamaan di kalangan umat Islam pun kian panas. Dalam hal ini setidaknya ada tiga isu yang cukup menonjol. Pertama, isu khilafah. Kedua, isu Syiah dan Ahmadiah. Kedua, insinuasi atau tuduhan tradisi-tradisi Islam sebagai bid’ah.
Khilafah merupakan ideologi minoritas umat Islam Indonesia yang tampaknya kian mendapat tempat di hati sebagian umat Islam Indonesia sendiri. Imajinasi tentang bentuk pemerintahan Islam ini menjadi satu utopia sebagai jalan keluar dari ketidakpuasan atau bahkan kekecewaan terhadap sistem politik Indonesia.
Tak pelak lagi isu khilafah ini menimbulkan reaksi dari umat Islam sendiri, yaitu penegasan kelompok Islam arus utama lagi moderat bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah final. Dalam hal ini, sentimen sosial-keagamaan dan ideologis mengeras, baik di internal umat Islam, antara Islam dan negara, dan antarumat beragama.
Dari beberapa fenomenanya, terutama kaitan kelompok Islam pro-khilafah ini dengan jaringan internasional Islam radikal, jelas sekali bahwa sentimen sosial-ideologis ini sedang direbus.
Dalam pada itu, isu Syiah dan Ahmadiah barangkali merupakan isu paling efektif merebus sentimen sosial-keagamaan umat Islam Indonesia. Secara umum, sikap anti-Syiah dan anti-Ahmadiah tampak meningkat dalam beberapa tahun terakhir, bahkan dalam bentuk kekerasan fisik dan pengusiran para penganutnya dari kampung halaman mereka.
Syiah dan Ahmadiah punya sejarah panjang di Nusantara. Sebagian tradisi Syiah bahkan terintegrasi atau terakulturasi dalam kebudayaan Nusantara, seperti tradisi tabut di Minangkabau atau tradisi suro di Jawa. Sentimen anti-Syiah dan anti-Ahmadiah belakangan ini jelas sedang direbus. Hal itu tampak dari fakta bahwa belum pernah terjadi aksi keberatan terhadap dua aliran Islam ini dilakukan dengan cara-cara kekerasan seperti terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Akhirnya, berkembang pula insinuasi atau tuduhan beberapa tradisi Islam sebagai bid’ah, seperti tahlilan dan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi tahlilan bahkan tidak saja dianggap bid’ah, melainkan dikatakan sebagai pesta kematian, suatu insinuasi yang jelas merebus sentimen para pendukung tradisi tahlilan itu sendiri. Para penentang tradisi keagamaan ini ditengarai sebagai mazhab Wahabi, aliran Islam yang kaku dari Saudi Arabia. Insinuasi ini tak kalah efektif merebus sentimen sosial-keagamaan umat Islam. Hasilnya adalah reaksi terhadapnya: muncul sentimen anti-Wahabi.
Yang mencemaskan adalah bahwa kita tidak bisa menduga ke mana arah proses perebusan sentimen sosial ini. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika sentimen sosial ini mencapai titik didih maksimalnya. Yang kita tahu, air mendidih bisa nikmat dijadikan kopi hanya bila perebusnya menguasai sepenuhnya air yang direbusnya. Jika sang perebus tak menguasai air sepenuhnya, orang lain dapat menggunakan air mendidih itu untuk keperluannya sendiri. Air mendidih bisa tumpah atau bahkan dapat dituangkan ke muka perebusnya sendiri. Salam.