Sabtu, April 20, 2024

Merawat Kemajemukan, Menjaga NKRI

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.

Apa yang Anda tangkap dengan usaha serius seorang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam menjaga keutuhan Indonesia? Ketika menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, misalnya, Gus Dur pernah mengajak seluruh masyarakat agar mengakhiri kebencian terhadap mereka yang ditetapkan terlibat dalam peristiwa 30 September 1965. Presiden RI ke-4 itu mengusulkan pencabutan Ketetapan MPRS No. 25 Tahun 1966.

Gus Dur juga mengizinkan perayaan Imlek (mencabut Inpres No. 14/1967). Sebagai gantinya, kemudian keluar Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000. Ujungnya, Gus Dur menjadikan Imlek sebagai hari libur bagi mereka yang merayakan. Hari ini kita bisa menyaksikan Imlek sebagai hari libur nasional. Tidak hanya itu, Gus Dur kemudian mengakui Kong Hu Cu sebagai agama resmi di Indonesia.

Saya juga memperoleh informasi, pasca reformasi 1998 Gus Dur menghadiri acara Seren Taun di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Seren Taun merupakan acara tahunan bagi penganut ajaran Sunda Wiwitan di daerah setempat. Gus Dur diketahui sangat dekat juga menghormati para ulama, habib, dan para pimpinan agama.

Di luar kalangan umat Islam, Gus Dur didaulat sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa di Semarang (2004). Gus Dur juga menerima Anugerah Mpu Peradah dari DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia di Jakarta (2004). Kesimpulannya, Gus Dur merangkul semua elemen bangsa, dan dengan sekuat tenaga membela hak-hak mereka, terutama kelompok minoritas.

Tidak sekali Gus Dur berbeda pendapat dengan umat Islam dan lebih khusus lagi dengan masyarakat Nahdliyin (basis utama pendukungnya) demi membela kelompok minoritas di Indonesia. Menurut saya, yang dilakukan Gus Dur adalah meyakinkan masyarakat bahwa Indonesia bisa menjadi rumah bersama, termasuk bagi mereka yang berbeda (minoritas). Syaratnya, antara satu kelompok dengan kelompok lain harus terbebas dari kecurigaan.

Maka, masa lalu harus dimaknai sebagai pelajaran yang terus dicari kebenaran faktanya, dan bukan dipelihara sebagai dendam. Dalam pemikiran Gus Dur, semua itu bisa terwujud bila bangsa Indonesia bersatu. Di sisi lain, negara harus mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan. Karena itu, keadilan dibuktikan pertama kali dalam bentuk memberikan kesamaan hukum kepada kelompk minoritas.

Upaya yang sama juga dilakukan budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Saya pertama kali menyaksikan panggung Cak Nun pada tahun 1996-an, di Pesantren Al-Ma’ruf Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, Jawa Tengah. Saat itu, KH Ahmad Kholil Karim menghadirkan Cak Nun untuk acara di pesantren. Kesan saya, saat itu, Cak Nun tampil memukau tidak seperti pembicara panggung kebanyakan. Kiai mbeling ini berdialog dengan audiens, bahkan mengajak sebagian dari mereka yang hadir untuk bersama naik ke panggung.

Forum Cak Nun diminati oleh kalangan luas, tidak ada batas agama, suku, atau kelas sosial. Tidak sekali atau dua kali di panggung Cak Nun ada orang yang sedang menyandang setatus “berperkara”. Semuanya diterima oleh tuan rumah dengan terhormat. Ketika saya kuliah di IAIN Walisongo Semarang (awal 2000-an), saya terus mengamati forum Cak Nun di seputar kawasan Simpang Lima.

Dalam kesimpulan saya, Cak Nun konsisten mendidik masyarakat untuk menghargai keragaman. Misalnya, di tengah mayoritas audiens Muslim, Cak Nun mengundang “kelompk lain” untuk naik ke panggung. Kelompok lain yang saya maksud adalah mereka yang beda keyakinan, beda etnis, atau mereka yang sedang diidentifikasi negatif oleh masyarakat. Cak Nun tidak hanya tampil di forum ilmiah, tetapi juga mengisi acara di desa, di daerah perbatasan, di pengajian keagamaan, di wilayah konflik, serta diundang ke luar negeri.

Maka, menjadi jelas bahwa Cak Nun sedang berupaya keras untuk merawat kebhinekaan, dan menjaga negeri ini dari acaman konflik antar saudara di Indonesia.

Masih ada banyak lagi tokoh yang merawat keberagaman di tengah masyarakat, yang hasil upayanya tidak mudah kita lihat. Saya menandai, figur seperti Nurcholish Madjid (w. 2005), KH Musthofa Bisri, Buya Ahmad Syafii Maarif, dan Prof. Quraish Shihab juga intens menjaga keutuhan bangsa ini dengan kapasitas masing-masing.

Saya tidak menafikan tokoh-tokoh lain ketika di luar sana ada juga tokoh besar yang melakukan kerja-kerja serupa. Masalahnya, keteladanan tokoh-tokoh di atas belum bisa membendung kemarahan kita kepada saudara sendiri. Hari ini kita menyaksikan pertengkaran sesama warga-bangsa karena perbedaan pilihan di Pilkada Jakarta. Hari ini kita mudah dengan lantang menunjuk muka saudara sendiri sebagai “kafir”, mengatakan sebagai “orang bodoh”, dan bahkan “layak dibunuh”. Lalu, apa arti persaudaraan kita sebagai warga Indonesia?

Kita seakan lupa bahwa di Indonesia semua ada: jutaan manusia, ribuan pulau, ribuan suku, ribuan bahasa, dan ribuan budaya. Kalau kita mengerti kondisi bangsa kita, mengapa kita melihat orang lain sebagai lawan. Seakan-akan kita tidak diberi petuah-keteladanan para pendahulu. Lalu, siapa yang kita ikuti?

Mengamati kondisi yang demikian, ada tiga lapisan benteng pertahanan untuk membendung upaya memecah-belah keutuhan sebagai bangsa. Pertama, benteng keluarga. Para orangtua harus memainkan peran keluarga, juga sebagai sekolah pertama, bagi putra-putrinya. Kepada mereka, salah satunya, perlu ditanamkan dasar-dasar kebangsaan dan persaudaraan yang meluas. Di sini, kata “saudara” jangan dibatasi hanya dalam ikatan darah, suku, atau kepercayaan. Tetapi harus diperluas lagi dengan ikatan sesama warga bangsa-negara.

Kedua, benteng institusi pendidikan. Sekolah dan perguruan tinggi perlu merespons kondisi di tengah masyarakat terkini. Maka, selain memberikan pendidikan skill kepada siswa dan mahasiswa, juga penting untuk membuka wawasan nasionalisme mereka yang lebih filosofis. Tunjukkan kepada mereka keragaman nyata yang dimiliki bangsa Indonesia. Kaum cendekia adalah yang paling bisa diharapkan bisa merawat keragaman itu.

Ketiga, benteng masyarakat. Lingkungan di masyarakat ibarat kolam ikan besar yang menampung jutaan benih ikan, yang ditetaskan keluarga dan lembaga pendidikan. Nilai-nilai yang disemaikan oleh keluarga dan perguruan tidak ada artinya apabila tercemari di masyarakat. Karena itu, masyarakat juga bertanggung jawab untuk menyaring bibit-bibit pemusuhan dan upaya pecah-belah.

Mari dan saatnya terus meneladani para penjaga keutuhan Indonesia.

Baca juga:

Dalam NKRI Tak Ada Orang Kafir!

Siapakah Orang Kafir Itu? Telaah Kronologi dan Semantik Al-Qur’an

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.