Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana memperluas pelarangan operasional sepeda motor di jalan-jalan protokol di Jakarta. Setelah pelarangan operasional sepeda motor di Jalan Thamrin hingga Jalan Medan Merdeka Barat sejak Juli 2014 sukses, rencana pelarangan diperluas sampai Bundaran Senayan (Jalan Sudirman berbatasan dengan Jalan Sisingamangaraja) per 1 September 2017, dan rencananya pelarangan akan sampai di Jalan Rasuna Said, Kuningan.
Seperti biasa, kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra. Para pengendara mobil tentu menyambut senang pelarangan tersebut karena mereka akan semakin nyaman mengendarai mobil. Sementara para pemotor (bikers) tentu merasa terganggu dengan pelarangan tersebut karena akan mengganggu ruang gerak mereka. Di sosial media, telah beredar meme “mobil bayar pajak bergerak bebas, motor bayar pajak dibatasi geraknya”. Meme ini mencerminkan protes masyarakat atas dasar prinsip keadilan, seharusnya kalau dibatasi, semuanya dibatasi.
Sebagai pengguna setia angkutan umum, saya mencoba berdiri di tengah alias netral saja,yaitu silakan batasi ruang gerak kendaraan pribadi (mobil maupun motor), yang penting berikan kami alternatif untuk melakukan mobilitas geografis secara lancar, selamat, aman, dan nyaman. Jangan sampai terjadi, mobil dan motor dibatasi ruang geraknya, tapi masyarakat tidak disediakan alternatif untuk bertransportasi sehingga mobilitas masyarakat terganggu.
Jadi, kata kuncinya adalah kelancaran mobilitas warga. Mobil pribadi, sepeda motor, dan angkutan umum itu hanyalah sarana saja untuk melakukan mobilitas geografis.
Di negara-negara maju, terutama kota-kota di Eropa, banyak warga telah lama meninggalkan kendaraan pribadi di rumah dan melakukan mobilitas dengan menggunakan angkutan umum. Angkutan umum di sana memang cukup bagus: jadwal tepat waktu, selamat, aman, nyaman, dan terjangkau, sehingga meski orang menggunakan angkutan umum, ketepatan waktu perjalanan dapat diprediksi secara tepat, orang tidak perlu khawatir terlambat karena naik angkutan umum.
Sementara itu, angkutan umum di Jakarta belum memberikan jaminan ketepatan waktu. Warga Jakarta tidak memiliki keyakinan akan datang tepat waktu bila menggunakan angkutan umum. Bahkan sampai hari ini, angkutan Metromini dan Kopaja masih memiliki kebiasaan buruk mengoperkan penumpang di tengah perjalanan dan masih banyak pengamen, sehingga orang tidak merasa aman dan nyaman naik angkutan umum.
Bus Transjakarta yang sejak awal dirancang sebagai moda alternatif untuk melakukan perjalanan secara lancar, selamat, aman, nyaman, dan terjangkau sampai sekarang mengalami stagnasi jumlah penumpang. Sejak 2012 lalu jumlah penumpang yang diangkut per hari rata-rata masih di bawah 400.000 orang. Meski jumlah subsidi yang diberikan Pemprov DKI Jakarta tiga kali lipat dari tahun 2012, jumlah penumpangnya tidak naik sampai 20%. Ini artinya kinerja Transjakarta masih buruk, tak bisa diandalkan sebagai moda alternatif.
Satu-satunya jalur Transjakarta yang sudah cukup bagus baru Koridor 1 (Blok M – Kota). Selebihnya masih karut marut. Saya selalu mengatakan, “jangan naik bus Transjakarta saat Anda tergesa, karena pasti akan frustasi karena kecewa”. Ini artinya, bus Transjakarta baru cocok untuk sarana transportasi santai, bukan memburu waktu kerja. Bahkan kinerja Koridor 1 pun selama empat tahun terakhir mengalami gangguan dengan adanya pembangunan MRT (mass rapid transit).
Sampai saat ini, dari segi ketepatan waktu dan kelancaran, baru kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek yang sudah dapat diandalkan. Terbukti jumlah penumpangnya melonjak hampir tiga kali lipat sejak 1 Juli 2013 saat tiket elektronik diterapkan. Namun karena masih banyaknya hambatan (perlintasan sebidang), frekuensi KRL ini tidak bisa ditambah lagi. Sebab, bila ditambah, maka palang pintu di perlintasan sebidang tidak akan pernah dibuka sehingga menimbulkan kemacetan di seluruh wilayah Jakarta. Tugas pemerintah dan Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi masalah di perlintasan sebidang tersebut.
Berdasarkan kondisi angkutan umum yang masih buruk tersebut, memang belum tepat perluasan pelarangan operasional sepeda motor sampai ke Jalan Rasuna Said, Kuningan, dalam waktu 1-2 tahun ke depan. Sebab, bila itu dilakukan, mobilitas warga jelas akan terganggu, bahkan terhambat.
Kurang tepatnya pelarangan sepeda motor sampai Jalan Rasuna Said untuk waktu 1-2 tahun ke depan, bukan hanya karena angkutan umumnya belum siap, tapi kondisi jalan sepanjang MT Haryono – Gatot Subroto dan Mampang – Kuningan itu saat ini sedang dibangun infrastruktur transportasi (LRT, underpass, dan flyover) sehingga kapasitas jalan menyempit.
Konsekuensi dari pembangunan infrastruktur itu salah satunya adalah separator bus Transjakarta dibongkar, sehingga jalur Transjakarta tidak steril lagi, dan karenanya ketepatan waktu perjalanan bus Transjakarta tidak bisa dijamin. Dalam kondisi jalan menyempit dan layanan angkutan umum yang masih buruk, sepeda motor menjadi salah satu solusi untuk menyiasati kemacetan.
Banyak pemilik mobil berpindah ke motor, termasuk menggunakan ojek online untuk menembus kemacetan. Bila dalam kondisi semacam itu akses sepeda motor dilarang masuk Jalan Rasuna Said, itu jelas tidak manusiawi, sama dengan menyiksa warga untuk tidak melakukan mobilitas geografis.
Melarang operasional sepeda motor itu hal yang mudah. Hal yang sulit adalah memberikan tawaran alternatif solusi untuk bertransportasi secara lancar, selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. Tugas pemerintah dan Pemprov DKI Jakarta yang mendesak adalah menyediakan alternatif sarana mobilitas warga. Bila alternatif sarana mobilitas warga itu tersedia dengan baik, maka kebijakan pelarangan kendaraan pribadi, apa pun jenisnya, bisa dilakukan dan tidak akan menimbulkan gejolak.
Perluasan pelarangan operasional sepeda motor sampai Bundaran Senayan, misalnya, bisa lebih diterima karena layanan angkutan umum di sana sudah relatif baik, meski pada jam puncak calon penumpang masih menunggu lama di halte untuk mendapatkan kendaraan yang bisa mengangkutnya. Namun, melarang sepeda motor melintasi Jalan Rasuna Said dalam kondisi jalan masih banyak gangguan dan operasional angkutan umum masih terbatas, itu bisa menimbulkan revolusi sosial. Ini “penggusuran”. Para bikers bisa ramai-ramai menutup jalan tersebut sehingga kota bisa menjadi lumpuh.
Karena itu, sebaiknya Pemprov DKI Jakarta tidak tergesa-gesa melakukan pelarangan sepeda motor melintas di Jalan Rasuna Said. Tunggulah awal 2019 nanti ketika pembangunan LRT, underpass, dan flyover yang ada di sepanjang Jalan MT Haryono – Gatot Subroto dan Mampang Prapatan – Kuningan itu tuntas dan layanan bus Transjakarta Koridor VI itu sudah berjalan optimal.
Sambil menunggu pembangunan infrastruktur transportasi di koridor tersebut selesai dan perbaikan layanan Transjakarta, sebaiknya Pemprov DKI Jakarta membangun fasilitas park and ride untuk sepeda motor di Cawang (sekitar UKI), Ragunan, Pasar Minggu, Kampung Melayu, dan lainnya agar sepeda motor dari pinggiran kelak dapat parkir di sana untuk selanjutnya pindah ke angkutan umum.
Tanpa menyediakan fasilitas park and ride, agak susah melarang sepeda motor melintas di jalan-jalan protokol di DKI Jakarta, karena melarang sepeda motor berarti melarang mobilitas warga. Untuk itulah, alternatif-alternatif solusinya terlebih dahulu disediakan baru lakukan pelarangan
Demi keadilan pula, pembatasan pergerakan tidak hanya untuk sepeda motor saja, tapi juga untuk mobil pribadi. Kebijakan ganjil genap adalah salah satu contoh pembatasan gerak mobil pribadi. Namun, kebijakan ganjil-genap hanyalah kebijakan antara saja, kebijakan akhirnya adalah electronic road pricing (ERP). Jika tidak ada gangguan lagi dalam proses tender, seperti tahun 2016 lalu yang terhambat oleh surat dari KPPU, ERP akan dilaksanakan pada tahun 2019.
Sebaiknya, perluasan pelarangan terhadap sepeda motor sampai Jl Rasuna Said pun pun dilaksanakan bersamaan dengan pemberlakuan ERP. Jadi, ada asas keadilan: sama-sama bayar pajak dan sama-sama dibatasi ruang geraknya.
Kolom terkait:
Jakarta, Sistem Ganjil Genap, dan Kepanikan Ahok