Jumat, Maret 29, 2024

Mengapa Harus Menolak FPI? [Tanggapan untuk Zuhairi Misrawi]

Husnul Aqib
Husnul Aqib
Peneliti Indonesian Culture Academy (INCA).

maruf-rizieq
Kapolri Jenderal Tito Karnavian bersalaman dengan pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab, disaksikan Ketua MUI KH Ma’ruf Amin (tengah) di Jakarta, 28 November 2016. [Foto: benarnews.org]
Menarik memang memperhatikan pola relasi antara Front Pembela Islam (FPI) dan Nahdlatul Ulama (NU). Kedua ormas Islam ini seringkali menunjukkan sikap yang saling berlawanan dengan nuansa yang terkadang penuh ketegangan. Jika FPI belum secara tegas menjelaskan alasan-alasan pertentangannya dengan NU, sebaliknya NU—merujuk artikel Gus Mis—memiliki lima alasan dasar mengapa menolak FPI. Garis besarnya, argumen yang dijabarkan Gus Mis mengandung sudut pandang ideologis, sosiologis, dan politik.

 

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: Apakah mustahil terjalin relasi yang lebih harmonis antara NU dan FPI?

Tak perlu diragukan lagi bahwa Gus Mis merupakan salah seorang dari generasi muda NU yang paling cemerlang. Pandangan-pandangannya progresif dan moderat dalam kerangka wawasan kebangsan dan khasanah keislaman. Karenanya, tidak keliru untuk dijadikan panutan oleh anak-anak muda seperti saya.

Namun, terdapat suatu yang mengkhawatirkan, setidaknya dalam penglihatan saya. Mengenai beberapa pandangan beliau akhir-akhir ini terkait FPI, yang selalu berkisar pada sikap negasi, baik secara personal maupun kelompok. Hal itu secara literal tersampaikan dalam tulisan beliau yang terakhir.

Bahwa aksi-aksi FPI akhir-akhir ini dan yang lalu-lalu memang “menjengkelkan”, namun tidak bisa dipungkiri bahwa gelombang aksi-aksi tersebut membesar dan meluas ke berbagai penjuru. Terbukti, aksi 411 dan 212 membuat Jakarta berwarna putih oleh lautan massa Islam yang datang dari berbagai wilayah Indonesia. Walaupun aksi-aksi tersebut miskin substansi dan karena itu tidak menghasilkan solusi maupun perjuangan jangka panjang dan revolusioner selain mengkriminalisasi Basuki Tjahaja Purnama, yang jelas, FPI tumbuh menjadi semakin berpengaruh.

Sekali lagi, tingkah-polah FPI seringkali membuat kita geleng-geleng dan khawatir karena dapat mengganggu kohesi sosial benar adanya. Namun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa kelompok massa ini semakin hari semakin besar dengan struktur organisasi yang semakin rapi dan gerakan yang semakin sistematis.

Maka, saya percaya bahwa negasi bukanlah sikap yang tepat. Selain bahwa negasi hanya akan melahirkan negasi balik, begitu seterusnya, sikap demikian hanya akan membuat umat terbelah. Tentu saja kita tidak bisa membayangkan kohesi total dan permanen, bahkan mustahil mewujudkan kohesi semacam itu karena konflik juga merupakan bagian dari sunnatullah. Namun, konflik konstruktif tetap harus diupayakan, sebab itulah perintah Allah dalam ungkapan fastabiqul khairat bberlomba-lomba mewujudkan kebaikan).

Memperhatikan situasi akhir-akhir ini, nampak sekali bahwa konflik antar umat mengarah semakin kasar. Saling lapor ke polisi, saling hujat, dan saling tolak hanya membuat dunia sosial kita semakin gaduh. Sayangnya, semua orang menjadi terlibat aktif dalam sikap saling negasi tersebut. Dalam konteks itulah saya mempersoalkan pandangan Gus Mis dan sikap NU, jika memang benar sesuai apa yang dituliskan Gus Mis.

Meski dunia politik memang sedang panas-panasnya, seharusnya para pemimpin umat dan tokoh intelektual tidak berlomba-lomba ke arah penyangkalan satu sama lain. Saya percaya bahwa tidak mungkin mewujudkan kejayaan Indonesia dan umat Islam dalam situasi seperti ini.

Oleh karena itu, saya punya tawaran. Karena saat ini yang punya argumen penolakan hanyalah NU sebagaimana ditulis Gus Mis, maka tawaran ini saya tujukan secara eksklusif pada NU dan Gus Mis, namun terbuka juga bagi FPI.

Sebab, secara struktural, saya bukan orang NU ataupun simpatisan FPI, saya berharap tawaran saya dilihat sebagai ketulusan untuk berikhtiar menjalankan apa yang Gus Mis tekankan di akhir tulisannya, yakni tawashaw bil haqq (mengingatkan dalam kebajikan).

Apa yang saya tawarkan dan sekaligus harapkan adalah kemungkinan NU dan FPI membangun relasi harmonis dan kolaborasi produktif. Tawaran tersebut memang terdengar mustahil mengingat relasi disharmonis NU-FPI selama ini, di samping perbedaan tipologi dan karakteristik antar keduanya. Meski demikian, di bawah semangat mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan upaya membangun bangsa dalam perintah fastabiqul khairat, tawaran tersebut bukan tidak mungkin diwujudkan, sebaliknya harus diupayakan.

Langkah awalnya dapat dimulai dengan tentu saja mencairkan komunikasi antar pimpinan dan pengurus kedua ormas. Hal ini juga bukannya mustahil. Saya melihat posisi KH Ma’ruf Amin, ketua Majelis Ulama Indonesia yang mewakili NU, dapat berperan sebagai jembatan yang menghubungkan kedua ormas. Mengingat KH Ma’ruf punya kedekatan dan hubungan lebih harmonis dengan FPI dibandingkan pimpinan NU yang lain.

Langkah tersebut tentu saja salah satu dari berbagai hal yang mungkin diupayakan. NU adalah organisasi besar dengan segala kemampuannya melewati banyak tantangan, berperan dalam berbagai cara, dan mampu menempatkan diri dengan tepat dalam istilah al-tawassuth. Karena itu, tidaklah mustahil bagi NU untuk mengupayakan relasi harmonis dan kolaborasi produktif dengan semua golongan, termasuk FPI.

Jangan sampai muncul kesan bahwa NU hanya mampu membangun relasi harmonis dan kolaborasi produktif dengan negara dan penguasa.

Sekali lagi, yang ingin saya tekankan adalah negasi hanya akan menghasilkan negasi. Jika demikian, kita hanya akan berputar-putar dalam lingkaran setan tanpa keuntungan apa pun. Karena itu, ajaran untuk saling memperingatkan dengan sabar (tawashaw bi al-shabr), sebagaimana ditekankan Gus Mis di akhir catatannya, menjadi kewajiban umat Islam, terutama NU sebagai organisasi umat dan Gus Mis sebagai individu bagian dari umat.

Tawashaw bi al-shabr mengandaikan afirmasi, bukan penolakan-penolakan. Jika Gus Mis ataupun NU menunjukkan sikap penolakan, sama artinya dengan Gus Mis dan NU tidak memiliki kesabaran lagi dalam menyiarkan kebaikan.

Akhirul kalam, saya tidak tahu kenapa harapan dan keluh kesah ini harus saya sampaikan kepada Gus Mis dan NU, bukan kepada Riziq Shihab dan FPI. Barangkali karena saya masih memiliki kedekatan-kedekatan tertentu dengan Gus Mis dan NU, setidaknya dalam sikap, pikiran, dan nilai-nilai atau budaya.

Husnul Aqib
Husnul Aqib
Peneliti Indonesian Culture Academy (INCA).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.