Jumat, Maret 29, 2024

Menangkal Virus Pemaksaan Kehendak

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Warga melakukan aksi penolakan di tempat yang akan dikunjungi calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk berkampanye di kawasan Kedoya, Jakarta, Kamis (10/11//2016). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

Dewasa ini pemaksaan kehendak seolah sudah menjadi virus endemik yang mulai mengoyak kehidupan berbangsa kita. Setiap orang dan kelompok tak segan menampilkan diri sebagai “jagoan” yang akan melibas siapa pun yang tak tunduk pada keinginannya. Bahkan, dengan menggunakan politik “atas nama”, pemaksaan kehendak digerakkan secara masif dan intensif untuk mempengaruhi pihak mana pun agar kepentingannya bisa tercapai.

Dan untuk memudahkan daya geraknya, upaya pemaksaan kehendak ini dipoles dengan berbagai unsur adiktif yang berlatar agama, ekonomi, politik, dan semacamnya agar bisa merangsang setiap orang dan kelompok untuk berdiri dalam barisan dukungannya. Dampaknya, di berbagai ruang bermunculan irama kegaduhan yang saling bersahutan dengan membawa panji-panji pembenaran dirinya. Bagaikan sebuah orkestra, semuanya memparadekan suara kebenaran secara kolosal yang dipimpin dirigen mereka masing-masing.

Tiap dirigen dibekali dengan kiat-kiat pembelaan diri agar pemaksaan kehendak yang digerakkan bersama para pendukungnya memperoleh daya terjang yang bisa mengalahkan pihak lain. Dalam hal ini, posisi dirigen bisa berbentuk figur seperti tokoh agama, politisi, dan figur publik lainnya yang dianggap sebagai persambungan suara pembenaran kepentingan yang strategis untuk mempengaruhi banyak pihak.

Kegaduhan suara yang saling menyeruakkan upaya pemaksaan kehendak di berbagai arena, dan lamat-lamat kian kentara kebisingan nada provokasinya, disadari atau tidak akan memicu terjadinya kerentanan sosial yang akan merembes pula pada tatanan kebangsaan kita. Dan, apa yang dikeluhkan oleh Presiden Joko Widodo bahwa demokrasi kita sudah kebablasan sebenarnya ingin menohok para pihak yang sangat getol menjadikan pemaksaan kehendak sebagai makanisme dirinya untuk mendaur ulang kepentingan dan keuntungan.

Lalu, ketika pemaksaan kehendak menjadi sumber masalah kegaduhan, kebablasan, dan bahkan kerentanan sosial, apalagi dalam pemaksaan kehendak terselip agenda tersembunyi yang kentara nuansa kepentingannya, masihkah di antara kita mau melakukan maupun terlibat sebagai pendukungnya?

Jangan Memaksa
Secara teologis,  al-Qur’an melansir seruan moral untuk tidak melakukan pemaksaan. Surat al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi “tidak ada paksaan dalam agama” merupakan salah satu pedoman yang perlu diyakini bahwa anjuran jangan memaksakan kehendak menjadi keniscayaan yang patut diikuti.

Hal ini penting diperhatikan, mengingat perilaku pemaksaan kehendak sudah melebar ke mana-mana. Hasil laporan Wahid Foundation perihal kebebasan berkeyakinan dan beragama (KBB) yang di tahun 2016 mengalami peningkatan pelanggaran sebanyak 204 kali, dan eskalasinya melebihi beberapa tahun sebelumnya, menjadi bukti bagaimana pemaksaan kehendak digunakan sebagai instrumen untuk mengintimidasi dan mensubordinasi pihak lain.

Padahal, Tuhan memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk menunjukkan eksistensinya sebagai penganut keimanan berdasarkan agamanya. Bahkan, di surat al-Maidah ayat 48, ditegaskan bahwa “untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah meghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu ummat. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya.”

Dengan demikian, bila al-Qur’an sudah menyuruh kita menghargai pilihan setiap orang untuk menentukan ke mana arah berkeyakinan dan berkeimanan akan ditempatkan, lazimkah kita selalu melansir berbagai aneka pemaksaan kehendak hanya karena ada ajaran agama lain yang diterima dari seseorang yang kita pedomani?

Apalagi, ihwal pilihan ini berkaitan erat dengan ekspresi ketundukan yang menjadi pondasi utama keberagamaan masing-masing orang. Oleh karena itu, menjadi aneh bila perihal perbedaan pilihan keyakinan diintervensi oleh kita yang basis ketundukan keberagamaannya berbeda-beda

Yang lebih ironis, ketika intervensi oleh seseorang yang dianggap memiliki pengaruh melahirkan sebuah kapatuhan lain yang lepas dari jangkar independensinya. Merujuk pemikiran Roderick Martin dalam Sosiologi Kekuasaan, kepatuhan yang dimaksud adalah posisi subordinasi yang diintervensi oleh kekuatan lain untuk menebar ketakutan bagi pihak di luar dirinya.

Dalam konteks keberagamaan, pemanfaatan tempat ibadah seperti masjid sebagai sarana penyebaran dukungan terhadap pasangan tertentu, seperti mengharuskan pilihan kepada Anis Baswedan dan disertai hujatan kepada pasangan lain, yaitu Ahok, hanya beragama non-Muslim, adalah salah satu contoh bagaimana kekuatan lain mengintervensi siapa pun yang ada di tempat ibadah tersebut. Dari sini pemanfaatan tersebut lalu diarahkan untuk tunduk ke dalam kubang ambisi dan kemauan sekelompok orang yang berafiliasi pada pasangan yang didukung.

Secara implisit kita bisa menangkap bagaimana gerakan pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk menyeragamkan sebuah pilihan disertai dengan cara-cara intriktual yang sudah merambah ke wilayah masjid. Masjid yang sedianya menjadi salah satu simbol keberagamaan yang misinya adalah menebarkan nilai-nilai kedamaian dan ketenangan batin, diseret dalam lintasan ketegangan yang di antara motifnya untuk kepentingan politik.

Perihal ini, tulisan Zuhairi Misrawi yang berjudul Menyoal Politisasi Masjid Istiqlal (Geotimes, 2 April 2017) memberikan sebuah paparan kritis bagaimana posisi masjid menjadi tempat pemaksanaan kehendak sekelompok orang, terutama dari kaum puritan. Dampaknya, kehidupan berbangsa kita semakin tunggang-langgang. Agama sudah dijadikan instrumen untuk menebar kebencian. Menjadi wajar bila dalam wajah agama yang demikian, bermunculan label fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme yang basis gerakannya dianggap menyebarkan kekerasan.

Dalam kaitan ini, tentu kita tidak boleh diam. Berbagai upaya pemaksaan kehendak yang selalu direproduksi sebagai tebar pengaruh sosial harus ditangkal. Hal ini penting dilakukan, agar pemaksaan kehendak tidak menjadi virus yang merusak sendi kehidupan berbangsa kita.

Maka, kita harus menyatukan langkah untuk membebaskan diri dari aneka macam ajakan yang senantiasa menggiring kita pada kondisi pemaksaan kehendak. Sudah saatnya kita bangkitkan pribadi yang Pancasilais yang mengarahkan kita pada nilai-nilai keluhuran yang universal.

Dengan pribadi yang Pancasilais, kita bisa meyakinkan diri kita dan pihak lain bahwa dalam agama yang di dalamnya terdapat pancaran ketuhanan (theofani) mengajarkan kita untuk merajut semangat kemanusiaan, semangat persatuan, semangat permusyawaratan, dan semangat berkeadilan.

Dengan demikian, semasif apa pun virus pemaksaan kehendak yang digerakkan oleh sekelompok orang, kita akan selalu tersadar bahwa yang terselip di dalam pemaksaan kehendak hanyalah sebuah kemuslihatan yang digunakan untuk membenturkan antara satu dengan yang lain sembari mencari celah untuk mendapatkan kepentingan dan keuntungan pribadi. Untuk itu, sudah seharusnya kita tangkal sedini mungkin agar tidak merusak tatanan keindonesiaan kita.

Baca Juga:

Tak Ada Paksaan dalam Agama. Titik!

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.