Jumat, April 26, 2024

Memutus Siklus Hoax

Taufik Rahman
Taufik Rahman
Peneliti senior di A+CSR Indonesia. Alumni IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, dan Sosiologi FISIP UI Depok.
Warga membubuhkan cap tangan saat aksi "Kick Out Hoax" di Solo, Jawa Tengah, Minggu (8/1). Aksi tersebut sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat perlunya menanggulangi penyebaran berita bohong (hoax), fitnah, hasutan, ucapan yang menimbulkan kebencian dan SARA yang belakangan ini marak di dunia maya. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/tom/foc/17.
Warga membubuhkan cap tangan saat aksi “Kick Out Hoax” di Solo, Jawa Tengah, Minggu (8/1). Aksi tersebut sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat perlunya menanggulangi penyebaran berita bohong (hoax), fitnah, hasutan, ucapan yang menimbulkan kebencian dan SARA yang belakangan ini marak di dunia maya. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/tom/foc/17.

Dalam banyak perbincangan, istilah hoax merujuk pada pengertian: berita bohong; berita palsu; peristiwa dilebih-lebihkan atau dihilangkan bagian tertentu; tulisan atau teks tidak sesuai dengan gambar; judul tidak sesuai dengan isi berita; peristiwa lama dimuat kembali untuk mendukung isu yang sedang ramai seolah-olah itu peristiwa saat ini. Dengan demikian, hoax merupakan sebuah dusta yang sengaja disebarluaskan.

Hoax jelas sebuah fitnah. Tidak hanya merugikan pribadi, tapi jelas merusak tata harmoni kehidupan bermasyarakat dan bahkan bernegara. Penyebarluasan fitnah jelas bertujuan menipu dan sedikit banyak menyesatkan cara berpikir.

Ekonomi, Politik, dan Dakwah
Lebih dari itu, hoax kini sudah menjadi sebuah lingkaran bisnis. Dengan bantuan proses website monetization, hanya dengan modal memperbanyak klik like dan apalagi men-share hoax, sama dengan menimbun pundi-pundi dolar di rekening. Hoax memiliki dimensi ekonomi yang menjanjikan.

Biasanya jika sudah terasa manfaat langsung penambahan nilai ekonomi, penyebarluasan hoax alias fitnah menjadi sebuah candu. Dan di dunia maya, khususnya di media sosial, para pecandu hoax itu amatlah mengantri.

Hingga kini, mayoritas para pemilik akun media sosial memanfaatkan wall-nya untuk mengungkapkan rasa. Mulai dari rasa prihatin, kecewa, marah, bahagia, dan menawarkan barang atau jasa. Dan belakangan media sosial juga menjadi alat yang dinilai ampuh sebagai media kampanye politik. Kemenangan Donald Trump disebut-sebut sebagai salah satu contoh mengenai efektifnya berkampanye di media sosial.

Belakangan hoax juga merasuk ke wilayah dakwah, khususnya dakwah Islam. Sebagian besar didominasi oleh penyebarluasan berita palsu mengenai penderitaan kaum Muslim di berbagai belahan dunia. Konflik dan peperangan yang melanda dunia Islam menyuburkan produksi hoax.

Mungkin pada mulanya adalah sebagai ungkapan rasa empatik. Lalu berkembang menjadi proses penghimpunan bantuan korban perang dan konflik. Setelah itu, tidak dapat dihindari munculnya terminologi jihad. Para penikmat hoax amatlah rentan untuk digoda melakukan fitnah.

Siklus Hoax
Ketika empatik, lalu ada kemarahan. Secara psikologis seorang pemarah amat mudah memakan umpan didustai. Apalagi jika berpedoman bahwa kebenaran adalah suara/pilihan kebanyakan. Tidak aneh jika banyak muballigh dadakan berbasiskan keprihatinan, kemarahan, kedengkian, dan perasaaan dizalimi. Lantas dengan suara lantang ia terjebak untuk memproduksi fake news.

Di sinilah hoax menjadi jelas bersinonim dengan fitnah yang siap menggerakkan massa. Terjadilah sebuah siklus penyebarluasan ekspresi emosi: Dari kemarahan, merasa benar sendiri, kepercayaan diri memfitnah, lalu bergerak dengan yakin sebagai membela kebenaran.

Siklus ini sebenarnya adalah kondisi yang amat diharapkan oleh pebisnis hoax. Memelihara perasaan membenci kelompok tertentu, dan bahkan membenci dan mendengki hal abstrak seperti membenci sebuah sistem politik sambil tidak mengerti apa yang ia benci, dengan menggunakan logika “pokoknya”, adalah konsumen setia produsen hoax.

Hal lain yang disebarluaskan adalah berita dan pendapat dengan perasaan dendam yang mendalam. Stigma komunis dan dominasi asing dalam kasus Indonesia merupakan dua hal yang menjadikan kemarahan tiada berujung. Hoax terus menempel pada tiga siklus amarah: marah, dengki, dan dendam.

Dalam bahasa akhlak, hoax senantiasa akan hadir ketika terjadi gelombang ghibah, namimah, dan kemudian menjalar menjadi fitnah. Kebiasaan membicarakan orang lain, menggunjing kelemahan dan sisi gelap orang, dan kemudian tergoda untuk memberi bumbu-bumbu dan keterangan agar lebih dramatis dan meyakinkan. Dan, ini semua adalah mayoritas konten media sosial.

Tentu untuk memutus siklus hoax harus dimulai dengan meredakan kemarahan. Kesediaan menerima perbedaan, membiasakan diri berargumen dengan data yang valid, serta tentu cakap bertutur santun adalah pemutus hoax yang paling efektif. Dan, ini agaknya amat sederhana.

Namun, dalam kebanyakan peristiwa, tatakrama yang sederhana itu kini sudah mulai punah. Bahkan nyaris punah dari lidah para muballigh yang sudah kadung populer. Sangat memalukan jika terjadi gelombang besar aksi massa menuntut kebenaran dan keadilan berbasiskan hoax.

Taufik Rahman
Taufik Rahman
Peneliti senior di A+CSR Indonesia. Alumni IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, dan Sosiologi FISIP UI Depok.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.