Indonesia adalah salah satu negara yang termasuk rawan terjadinya kejahatan siber. Untuk itu, ketika Presiden Joko Widodo meresmikan pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), banyak pihak berharap ancaman kejahatan digital yang berpotensi merugikan masyarakat dan negara akan dapat dicegah.
Badan Siber adalah sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan negara di sektor digital, khususnya mencegah agar cyber crime tidak makin marak dan risiko masuknya malware dapat diminimalisasi
Berbeda dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) yang lebih menangani soal konten media, termasuk ancaman hoaks, Badan Siber lebih difokuskan untuk mendukung keamanan siber dan tidak menangani konten hoaks atau berita bohong. Menanggulangi serangan hacker yang tidak bertanggung jawab, menangani dampak wannacry, melakukan mitigasi, hingga melakukan pemulihan atau merevitaliasi kembali fasilitas negara yang terkena serangan malware adalah beberapa contoh tugas BSSN.
Sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk sangat besar pengguna teknologi informasi, internet, dan telah pula memasuki era perekonomian daring (e-commerce), potensi masyarakat dan negara menjadi korban kejahatan digital memang sangat terbuka.
Di tahun 2018 ini, potensi Indonesia menjadi korban kejahatan siber menjadi lebih besar, karena kepentingan ekonomi, politik, dan berbagai ancaman terorisme niscaya akan saling tumpang-tindih. Memanfaatkan celah ketidakmengertian masyarakat awam dan kurangnya kesiapan negara untuk melindungi diri dari ancaman cyber crime niscaya akan menjadi pintu masuk para penjahat siber untuk memetik keuntungan.
Di Indonesia, ada sejumlah titik lemah yang berpotensi diserang para hacker dan penjahat digital. Pertama, berkaitan dengan meningkatnya transaksi keuangan melalui jaringan elektronik atau transaksi daring (e-banking) pada dunia perbankan di Indonesia. Selama ini, banyak bukti menunjukkan bahwa sistem perbankan di Indonesia dinilai masih rawan diretas oleh para pelaku kejahatan siber. Ancaman phising dan malware yang biasanya menyerang sistem komputer selama ini dilaporkan telah sering menganggu sistem perbankan di Indonesia.
Kasus rekening nasabah yang dibobol, penipuan penggunaan kartu kredit, dan lain sebagainya adalah berbagai kasus yang memperlihatkan bahwa sistem perbankan di Indonesia masih perlu diperkuat tingkat keamanannya. Kasus yang banyak terjadi umumnya adalah pembobolan akun nasabah bank yang diretas oleh para hacker, di mana salah satunya karena banyak perbankan di Indonesia yang menggunakan perangkat second.
Kedua, berkaitan dengan makin banyaknya jumlah pengguna teknologi informasi dan internet, yang tidak diimbangi dengan pengetahuan dan literasi digital yang memadai. Di Indonesia, ditengarai ada 120 juta lebih pengguna teknologi informasi, tetapi sebagian besar sayangnya masih belum melek teknologi. Ada sekitar 58% pengguna internet di Indonesia merasa aman-aman saja dengan teknologi informasi yang mereka pergunakan dan tidak merasa bakal mendapatkan serangan dari para hacker, sehingga hal ini tidak dianggap penting. Padahal, dalam kenyataan tingkat keamanan siber di Indonesia masih termasuk amburadul, di mana perlindungan terhadap informasi dan transaksi ekonomi daring masih sangat minimal.
Ketiga, berkaitan dengan keterbatasan dan minimnya keterlibatan aparatur negara dalam melindungi masyarakat dari risiko menjadi korban kejahagatn digital. Sebagian aparat umumnya masih menganggap ancaman tindak kejahatan yang lebih prioritas berasal dari tindak kejahatan konvensional, seperti pencurian, perampokan, dan lain-lain. Namun, mereka lupa bahwa bentuk tindak kejahatan yang paling berbahaya dewasa ini adalah tindak kejahatan siber.
Tidak sedikit warga negara asing yang masuk ke Indonesia dan memanfaatkan kelemahan sistem digital kita untuk kemudian melakukan tindak kejahatan siber. Lebih dari sekadar melakukan skimming dengan modus penggandaan kartu ATM, dewasa ini pelaku tindak pejahatan siber disinyalir telah menggunakan router untuk melakukan penyadapan jalur transaksi rekening. Ulah pelaku tindak kejahatan yang makin canggih inilah yang menjadi salah satu ancaman bagi masyarakat di Indonesia. Tren terbaru yang berkembang saat ini bukan lagi malware in the browser, tetapi malware as a browser, seperti aplikasi di smartphone yang mudah sekali bagi hacker untuk diretas.
Pertengahan tahun 2017 lalu, kita tentu masih ingat bahwa aparat kepolisian Indonesia telah menangkap seratus lebih WNA yang melakukan tindak kejahatan siber. Sebanyak 92 warga negara asing asal Cina ditangkap di Surabaya, sementara itu di Jakarta polisi dilaporkan juga menangkap 27 orang warga negara Cina dan lebih dari 30 orang warga negara Cina ditangkap di Bali dalam kasus yang sama.
Semua WNA itu ditangkap setelah Direktorat Tindak Kriminal Khusus Markas Besar Kepolisian RI dan Polda Metro Jaya mendapat laporan dari kepolisian Cina. Mereka melapor bahwa warga Cina yang berada di Indonesia telah banyak ditipu oleh sindikat cyber crime.
Badan Siber adalah lembaga yang berada langsung di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Kehadiran Badan Siber dan Sandi Negara ini di luar negeri sebetulnya sudah sejak lama ada, seperti di Malaysia, Singapura, Australia, dan Thailand. Selain bertanggungjawab untuk menangkal serangan siber, badan ini juga memiliki otoritas untuk membuat regulasi terkait pengadaan infrastuktur jaringan internet.
Bagi Indonesia, pembentukan badan baru ini memiliki peran penting dan strategis, sebab diakui atau tidak Indonesia selama ini mendapat catatan sebagai salah satu negara yang marak dengan aksi kejahatan cyber. Hal ini tentu membawa dampak buruk bagi citra Indonesia di dunia internasional.
Di era masyarakat post-industrial, kehadiran Badan Siber diharapkan tidak hanya berkiprah dalam mengamankan informasi penting bagi negara, tetapi juga bisa berperan efektif dalam menangani dan mencegah munculnya ancaman cyber crime yang belakangan ini banyak menghantui kepentingan masyarakat dan kelancaran transaksi ekonomi daring.
Kolom terkait:
Kaleidoskop 2017: CELUP dan Kekacauan Fungsi Media Sosial