Kecaman keras kepada “Makan Mayit” yang menjadi viral ini berawal dari unggahan foto di media sosial tentang proyek seni karya Natasha Gabriella Tontey pekan lalu. Karyanya berupa jamuan makan malam yang menyajikan makanannya secara tidak biasa, seperti kudapan berbentuk cetakan fetus dan otak. Di antara sajian yang ada, yang memicu kontroversi adalah penggunaan air susu ibu (ASI) di dalam karya ini.
Melihat karya ini, mereka yang tidak suka merasa bahwa karya tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini. Bagi mereka, ada yang salah dengan karya dari Natasha Gabriella Tontey.
Sementara itu, dalam membuat karyanya sang seniman seolah terkesan cuek dengan konstruksi sosial yang ada di tengah masyarakat kita. Ia menggunakan kebebasannya untuk menginterpretasikan sesuatu (kanibalisasi) berdasarkan kriteria yang abstrak, yang dia yakini juga.
Namun, semestinya sudah menjadi kesadaran dasar bahwa seni bukan semata bertujuan untuk pencapaian sensasi tanpa arti dan nilai-nilai sosial yang melandasi karya seni tersebut. Jika hanya demi sensasi, sama halnya melakukan mikroagresi terhadap subyek seni yang otomatis kontradiktif dengan beberapa nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Manusia sebagai Subyek
Selain itu, yang menjadi penting untuk diingat adalah bahwa di dalam karya ini terdapat relasi antara sang seniman dengan para pendonor ASI. Dalam konteks ini, consent atau izin yang diberikan oleh pendonor untuk menggunakan ASI sebagai bagian dari karya seni sangat vital. Bahkan tidak hanya terbatas “mengizinkan” saja, tetapi secara etika, pendonor harus mendapatkan informasi utuh dan jelas tentang bagaimana ASI-nya akan digunakan dalam proyek seni.
Tentu saja hal yang sama berlaku untuk penikmat perjamuan makan malam. Mereka yang ikut menyantap menu makanan ini harus mendapat informasi lengkap tentang konten ASI yang menjadi salah satu bahan makanannya (di mana Tontey telah melakukannya). Jika izin dan pemberian informasi yang lengkap sudah terpenuhi, maka karya Tontey tidak perlu dipermasalahkan.
Sebenarnya proses perizinan ini persis seperti tata cara yang digunakan dalam pelibatan manusia sebagai subyek dalam sebuah intervensi atau penelitian terutama di bidang kesehatan atau uji klinis (clinical trials).
Untuk melakukan intervensi atau studi lapangan yang melibatkan manusia, entah itu mempelajari perilaku kesehatan seseorang, atau menguji dan mempelajari bagaimana vaksin atau obat bekerja di tubuh manusia, sederetan instrumen studi perlu mendapat persetujuan dari dewan etik sebelum dijalankan.
Di Amerika Serikat, ada dewan etik yang memiliki mandat untuk untuk ini. Dewan ini dikenal dengan nama Institutional Review Board (IRB), atau Independent Ethics Committee (IEC), atau dikenal juga dengan nama Ethical Review Board (ERB).
Berdasarkan sejumlah prosedur dan ketetapan yang didesain untuk menganalisa manfaat dan risiko penelitian atau intervensi lainnya terhadap manusia, para dewan ini akan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap materi usulan penelitian. Intinya, keberadaan dewan etik ini menghindarkan adanya risiko serta dampak negatif lainnya bagi manusia dan masyarakat dari penelitian yang akan dilakukan di lapangan.
Dewan Etik untuk bidang yang sama juga dimiliki oleh negara lain. Misalnya, di Australia, ada Human Research Ethics Committees. Departemen Kesehatan Inggris juga memiliki komite etik yang dikenal dengan Local Research Ethics Committee. Di Indonesia pun, Kementerian Kesehatan juga memiliki Komite Nasional Etik Penelitian Kesehatan yang berfungsi sama dengan komite etik di berbagai wilayah di dunia.
Singkatnya, dewan-dewan etik ini didirikan atas dasar penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM), termasuk kepada manusia yang menjadi subyek penelitian.
Dewan etik ini menerapkan setidaknya tiga prinsip berikut: menghormati sesama manusia, adil, serta beneficience & non-maleficience atau kegiatan yang dilakukan harus bermanfaat dan tidak menyakiti masyarakat.
Lantas, apa hubungannya dengan seni? Memang, aturan ini tidak berlaku di karya seni, bahkan tidak juga di ranah penelitian bidang lain. Namun, keterlibatan subyek manusia menjadi titik penyambung penting antara karya seni Tontey dan beberapa prinsip yang mendasari dijalankannya sebuah penelitian yang melibatkan manusia.
Interdependensi Seni
Sangat menarik jika karya seni ala Tontey ini didudukkan dalam salah satu sudut pandang yang sama dengan studi yang melibatkan manusia sebagai subyeknya. Sayangnya, ranah seni bebas dari prinsip-prinsip seperti yang dipegang dalam dunia uji klinis dan uji etis, sekalipun melibatkan manusia sebagai subyek karyanya. Namun justru kebebasan dunia seni dari kaidah apa pun ini menjadi tantangan bagi seniman untuk melahirkan karya terobosan.
Dalam hal ini, bagaimanapun juga, meski seni merupakan arena di mana kebebasan menginterpretasikan subyeknya berada, ia tidak berdiri sendiri. Eksistensi seni pada kenyataannya tidak independen, melainkan interdependen. Seni bersinggungan dengan banyak hal, termasuk dengan norma, orang lain, ekonomi, politik, lingkungan, teknologi, kesehatan, dan aspek kehidupan lainnya. Maka, meskipun tidak ada ikatan kaidah yang mengaturnya, karya seni akan mendapat “penilaian” dari publik. Seniman memerlukan penikmat karyanya. Termasuk seni “Makan Mayit” melibatkan ASI ini.
Sebagai seniman, Tontey semestinya sadar dan paham bahwa karyanya akan direspons oleh orang lain, bahkan direspons secara hukum. Sayangnya, respons hukum saat ini menggunakan pasal karet Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang justru bisa dipahami sebagai upaya membungkam kreativitas dan kebebasan berekspresi.