“Hijrah! Bahwa orang-orang beriman yang berhijrah dan berjihad dengan motivasi karena Allah dan tujuan untuk meraih rahmat dan keridhaannya, mereka itulah mukmin sejati yang akan memperoleh pengampunan, keberkahan rezeki, nikmat yang mulia, dan kemenangan di sisinya. Semoga hijrah yang dilakukan masyarakat Kulon Progo ini dapat diniatkan karena Allah. Amin.”
Paragraf pembuka di atas, kurang-lebih, adalah kutipan isi tausiah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang di-kontroversial-kan Muhammmad al-Fayyadl. Melalui catatan Facebook-nya, 12 Desember 2017, alumnus Filsafat UIN Yogyakarta ini cuatkan kritik atas dakwah yang sudah berbulan lamanya itu viral di media sosial Youtube.
“Dari kemarin ada polemik—yang berujung pada cacian dan ancaman gebuk—di beberapa akun FB terkait soal hubungan antara Emha Ainun Nadjib (EAN) dan proyek bandara baru Jogja (New Yogyakarta International Airport atau NYIA) yang menghancurkan lima desa di Kulon Progo.” Begitu Fayyadl membuka polemik dan mengkontroversialkan di jagat maya.
Seperti diketahui, Fayyadl merupakan salah seorang yang paling getol menolak keberadaan NYIA. Di mana-mana selalu ia sebut, proyek infrastruktur itu makan korban yang tidak sedikit: menghancurkan lima desa di Kulon Progo, yakni Jangkaran, Sindutan, Palihan, Glagah, dan Kebon Rejo, sekaligus akan mematikan sosio-kultural warga-warga terdampak.
Tujuan Fayyadl jelas. Dengan mengkritik isi tausiah Cak Nun, ia berupaya membenamkan dukungan orang-orang atas pembangunan bandara baru itu. Melalui kritiknya atas Cak Nun, ia berharap proyek pemerintah itu bisa diamini sebagai praktik penindasan yang juga dilakukan dengan cara-cara halus, tidak hanya mengandalkan otot dan moncong senjata aparat.
Ya, Cak Nun adalah figur publik. Sebagai tokoh, kata dan tindakannya berpotensi diikuti orang banyak, termasuk warga terdampak proyek pembangunan NYIA. Karena itulah, dengan mengkritik isi tausiah Cak Nun, Fayyadl terindikasi punya harapan bagaimana citra budayawan kenamaan itu bisa rusak; dari yang tadinya mendukung NYIA karena Cak Nun, beralih menolaknya karena citra buruk seorang Cak Nun pula.
Selintas, dukungan Cak Nun atas proyek pemerintah ini bukan masalah. Tiap orang punya hak untuk menempatkan pilihannya pada apa yang memang mereka kehendaki. Mau dukung pemerintah atau jadi oposisi, terserah. Tidak ada yang salah.
Hanya saja, klaim Fayyadl, pilihan Cak Nun itu jadi masalah lantaran proyek pembangunan NYIA hadir dengan “memakan korban” banyak. Dan, yang semakin menjadikannya sebagai masalah, karena budayawan kenamaan itu dinilai menistakan ajaran Islam dalam dakwahnya: menggunakan konsep “hijrah” guna melegitimasi penggusuran ; terlibat dalam “dosa struktural”.
“EAN bukan tokoh publik pertama, seniman yang mendukung badara NYIA. Selain EAN, ada Butet, serta sejumlah seniman Jogja terkenal lain yang juga mendukung NYIA, dan otomatis tutup-mata terhadap penggusuran di baliknya. Namun, yang membuat EAN sedikit berbeda, ia menggunakan agama sebagai panggung dan jargonnya. Membawa-membawa agama untuk melegitimasi suatu proyek pembangunan kapitalistik, tentu bukan tanpa masalah,” tulis Fayyadl.
Sebelumnya, Cak Nun memang menggaungkan konsep “hijrah” dalam dakwahnya. Ia yakinkan para pendengarnya bahwa yang hijrah dan berjihad karena Allah, untuk meraih rahmat dan keridhaannya, adalah mereka yang mukmin sejati yang tidak hanya akan memperoleh pengampunan, melainkan pula keberkahan rezeki, nikmat mulia, serta kemenangan di sisinya.
Kata-kata itulah yang kemudian Fayyadl jadikan senjata utama menyerang Cak Nun. Ia pertanyakan betul kebenaran konsep “hijrah” yang dipakainya untuk membenarkan “perpindahan paksa” warga dari kampung halamannya ke lokasi yang baru.
“Kalau benar, maka konsep hijrah ini bisa dipakai juga untuk membenarkan pengusiran warga Palestina oleh penjajahan Israel, dan otomatis membenarkan kolonialisme itu sendiri,” tulis Fayyadl kembali.
Untuk lebih mempertegas kritiknya, Fayyadl pun lalu kisahkan peristiwa hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah. Menurutnya, Nabi hijrah bukan untuk bersenang-senang, melainkan karena dia dan para sahabatnya tertindas. Hemat kata, Nabi hijrah dengan tujuan kembali memenangkan tanah air dan lahirnya, Mekkah, dengan segenap jihad fi sabilillah.
“Apakah EAN sudah menganjurkan agar warga tergusur melakukan jihad untuk supaya dapat kembali ke kampung halamannya yang digusur? Tidak, semua orang tahu. Di sini keganjilan retorika agama EAN dalam menyikapi persoalan rakyat,” klaimnya tegas.
Karenanya, apa yang dilakukan Cak Nun, bagi Fayyadl, adalah persis kerja ideologi dalam konteks kepentingan kelas berkuasa, yakni “mistifikasi kesadaran”. Dengan kata lain, Cak Nun dinilai telah memanipulasi konsep “hijrah”, digunakan untuk memistifikasi (mengecoh) kesadaran rakyat yang menderita, bukan sebagai konsep yang progresif, ajaran kaum tertindas untuk berjihad, media perjuangan.
Siapa Sebenarnya yang Memistifikasi?
Baik Cak Nun maupun Fayyadl, keduanya sama-sama punya konsep “hijrah”. Bedanya terletak hanya pada cara meraih tujuan masing-masingnya saja, di samping soal besarannya.
Ketika Cak Nun berujar bahwa semoga hijrah yang dilakukan masyarakat terdampak proyek NYIA diniatkan karena Allah sehingga memperoleh keberkahan rezeki dan kemenangan di sisinya, bukankah itu adalah satu cara mencapai tujuan hijrah? Klise memang. Tapi itu bukan soal utama.
Jika kita mengakui bahwa tujuan hijrah adalah kemaslahatan, bukankah dengan berpindahnya masyarakat terdampak berarti mempermulus jalannya pembangunan infrastruktur? Dan bukankah infrastruktur adalah sarana menuju kemaslahatan (peradaban manusia) yang tentu jauh lebih besar pengaruhnya ketimbang menolaknya?
Cara yang ditempuh pemerintah memang sembrono. Tak bisa orang dipaksa begitu saja untuk berpindah dari tempat hunian yang selama ini dihidupi dan menghidupinya. Tapi, melulu meletakkan masalah di wilayah itu, saya rasa adalah pilihan yang kurang bijak.
Kini, proyek pembangunan NYIA adalah keniscayaan. Ia ibarat mobil tronton yang remnya jeblok dan tak bisa dihentikan lagi. Karenanya, orang harus mencari kemungkinan-kemungkinan lain yang jauh lebih realistis dari sekadar menghentikannya. Artinya, di samping cara pengelolaan perpindahannya yang mesti manusiawi, yang terdampak pun harus benar-benar menyadari bahwa efek perpindah-dirian mereka adalah juga kerja-kerja penciptaan peradaban—tak kalah manusiawinya juga.
Maka, menjadi keliru ketika Fayyad mengutip sekaligus ingin mencontoh hijrah Nabi dengan cara yang sangat tekstual. Ia hanya menampilkan laku Nabi sebagaimana adanya. Ia tak mampu, lebih tepatnya memang sengaja, menutupi nilai luhur yang dikandungnya.
Benar bahwa Nabi ke Madinah lantaran mendapat perlakuan tak adil di Mekkah kala itu, lalu kembali lagi dan merebutnya dari tangan penguasa yang lalim. Tapi, apakah perpindahan fisik (kembali ke tempat hunian semula; merebutnya) saja yang bisa dimaknai sebagai laku hijrah-hijrahan? Tentu tidak.
Saya memahami, seperti Cak Nun, perpindah-dirian warga terdampak ke lokasi yang baru adalah laku hijrah juga. Tak melulu harus kembali berjuang secara fisik untuk merebutnya. Tapi, perpindah-dirian mereka berarti hendak membiarkan tanah lahirnya itu jadi peradaban.
Adapun jika memang harus kembali, bukan berarti harus merebutnya sebagaimana yang dicontohkan nabi di masa silam. Bisa juga dengan cara-cara yang lain, seperti memberi masukan langsung (saran, kritik, usulan) bagaimana bandara harusnya dikelola agar nantinya mendatangkan maslahat bagi semua, bukan segelintir orang saja.
Pun bisa dengan menyampaikan ide lewat media massa, berbicara di forum-forum terbuka seperti diskusi dan seminar, membentuk LSM sebagai pengawal kebijakan, hingga melakukan aksi demontrasi jika memang dirasa mendesak. Kiranya ini jauh lebih intelek ketimbang menolak akibat-akibat yang sudah masuk kategori keniscayaan.
Jadi, jika demikian, siapa sebenarnya yang memistifikasi kesadaran itu? Cak Nun atau malah Fayyadl sendiri, kah? Agaknya yang kedua. Fayyadl tak ubah seperti maling teriak maling saja.
Baca juga:
Hijrah ala ISIS, Caesar, dan Nabi
Saatnya Jokowi Memperkuat AMDAL, demi Masyarakat dan Lingkungan
Kelas Menengah Ngehe dan Pembangunan Kota