Jumat, Maret 29, 2024

Kongres HMI Ambon, Kongresnya Generasi Milenial

Dedy Ibmar
Dedy Ibmar
Aktivis HMI cabang Ciputat. Pegiat Kajian Logika dan Filsafat di Pojok Inspirasi Ushuluddin (PIUSH).

Betapapun besarnya Nurcholish Madjid alias Cak Nur,  ia tetaplah kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang juga turut terlibat dalam beberapa kongres HMI. Bahkan, tanpa perhelatan kongres HMI, Cak Nur mungkin saja tidak segemilang sekarang.

Cak Nur bisa disebut satu-satunya kader HMI yang namanya semakin tahun semakin memancar di Indonesia. Bayangkan, betapa saktinya kongres organisasi tua itu.

Dikukuhkannya Cak Nur sebagai Ketua Umum PB HMI pada 1967 menjadi peristiwa monumental. Mengapa? Karena, tidak ada preseden dalam sejarahnya, HMI dipimpin oleh kader yang bukan berasal dari universitas sekuler, melainkan justru dari universitas Islam yang menguasai khazanah keilmuan Islam dan mewarisi tradisi politik Masyumi.

Kongres selanjutnya, Kongres HMI 1969 di Malang, Cak Nur justru harus berpulang bukan dengan ekspresi wajah bahagia karena terpilih kembali sebagai satu-satunya ketua umum HMI dua periode (1967-1969 dan 1969-1971), melainkan justru dengan perasaan sedih. Ya, sedih karena Cak Nur sama sekali tidak menginginkan dirinya lagi untuk maju sebagai ketua umum.

Cak Nur dinilai sebagai figur intelektual yang diharapkan mampu mewujudkan rekonsiliasi antara pemimpin HMI dan Masyumi yang memiliki sejarah konflik sejak awal, terutama terkait konsep dasar negara Indonesia dan pendirian teguh sikap Masyumi terhadap masalah politik praktis.

Dalam situasi yang tidak ideal itu, Cak Nur berhasil melakukan dua ijtihad intelektual yang monumental untuk zamannya. Ijtihad yang mencoba membaca ulang dan mereposisi pemikiran terhadap kondisi dan persoalan ketika itu.

Pertama, Cak Nur melakukan pelembagaan ideologi Islam modern ke dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI pada 1969, yang menjadi panduan ideologis untuk semua kader HMI.

Melalui NDP, Cak Nur berhasil meneguhkan tradisi intelektual Islam di HMI yang telah pudar akibat konflik politik dan kesenjangan generasi tua dan muda.

Kedua, pidato Cak Nur soal “keharusan pembaruan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat” pada 2 Januari 1970. Teks itu akhirnya menyulut perang intelektual di dalam hingga di luar tubuh HMI.

Tanpa mengurangi takzim kepada Cak Nur, kita bisa melihat bagaimana luar biasanya kongres HMI yang saat ini sering kali kita hujat sebagai tempatnya anarkis, waktunya dana melimpah, dan harinya politik kotor. Di luar hal itu, Kongres HMI berpahala besar karena melahirkan sosok pemegang kunci ijtihad di Indonesia, Cak Nur!

HMI Konvensional Vs HMI Milenial

Di balik deraan kemunduran, sangat terkesan apologis memang bilamana kisah lama kongres HMI masa Cak Nur dipersemikan kembali. Namun, demikianlah adanya bila pikiran ingin berlaku adil terhadap kongres HMI yang telah digelar. Bukan hanya keburukannya, hal positifnya juga harus diejawantahkan dengan objektif.

Ibarat kapal berusia tua, maka setiap nahkoda yang terpilih, kebanyakan hanya berpikir tentang cara mempertahankan kapal dari terpaan gelombang. Bilamana ia berhasil, sang nahkoda akan naik pangkat lebih tinggi secepat mungkin. Padahal, selama ia menahkodai kapal tak sekalipun timbul pikiran-pikiran segar soal modernisasi kapal yang bisa saja disesuaikan dengan kondisi alam yang berefek pada ketahanan umur suatu kapal.

Maka, tak ayal, bila HMI kini tidak lagi sesangar sewaktu muda. Justru kita patut kasihan dengan HMI, sebab silih bergantinya nahkoda, ia hanyalah batu loncatan karir sang nahkoda. Tidak ada lagi pikiran-pikiran segar yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Kongres HMI XXX di Ambon saat ini sangat jauh berbeda dari kongres-kongres sebelumnya, apalagi Kongres HMI 1969 di masa Cak Nur. Bukan hanya karena perbedaan aroma politiknya, tapi juga karena para pemuda HMI sekarang berada di masa yang disebut generasi milenial yang berusia 17-38 tahun. Artinya, hampir seluruh peserta, panitia hingga rombongan liar kongres HMI adalah generasi milenial.

Tidak heran bila kemudian hampir semua kader HMI kini lebih senang berkomunikasi melalui chat grup, bertukar gagasan dengan vlog di Youtube dan media sosial lainnya, hingga membaca buku melalui daring digital.

Sayangnya, kader generasi milenial ini berbenturan dengan sistem birokrasi, pola perjuangan, hingga kaderisasi HMI yang masih sangat konvensional. Kaderisasi dalam latihan kader saja, misalnya, pola penyakit materi di latihan kader HMI kini bahkan tidak jauh berbeda dengan sepuluh tahun lalu, alias begitu-begitu saja, stagnan. Bila tak ingin punah dan ditinggalkan, sistem organisasi HMI dari tingkat komisariat hingga pengurus besar harus segera dimilenialisasikan.

Khusus di momen Kongres HMI di Ambon, pembicaraan soal program dan tawaran substansial yang mampu menjawab harapan dan kebutuhan generasi milenial harus didengungkan oleh setiap kandidat. Setiap kandidat harus betul-betul menjadikan dirinya sebagai subjek generasi milenial yang berpolitik. Sebab, dengan segala atributnya, generasi milenial sudah memiliki kemampuan dan kapabilitas mumpuni untuk menjadi pelaku utama di pentas perpolitikan organisasi.

Satu hal yang penting diingat, milenialisasi berarti modernisasi. Modernisasi itu, kata Cak Nur, tak lain ialah rasionalisasi.

Kolom terkait:

Ikhtiar Membangun Indonesia ala HMI

Pak Tua itu Bernama HMI

Haruskah HMI Bubar? [Renungan 70 Tahun HMI]

Meng-FPI-kan HMI, Meng-HMI-kan FPI

Tawaran Lain Memandang HMI

Dedy Ibmar
Dedy Ibmar
Aktivis HMI cabang Ciputat. Pegiat Kajian Logika dan Filsafat di Pojok Inspirasi Ushuluddin (PIUSH).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.