“Bangsa yang abai terhadap keberlangsungan para penulis dan pendidikannya adalah bangsa yang tengah mempersiapkan racun mematikan kehidupannya sendiri.”
UNESCO menetapkan 8 September sebagai Hari Literasi Internasional, hari yang sangat bersejarah dalam literasi dunia sejak tahun 1964. Tanggal ini adalah hari istimewa yang didedikasikan bagi pengembangan dan perkembangan dunia baca-tulis. Seluruh dunia merayakannya, tak terkecuali di Indonesia.
Namun, pada pekan itu pula ada hal miris yang tersisa dari seputar perayaan tersebut. Setidaknya, ada dua berita yang sangat memekakkan telinga sekaligus membuat kita geram sampai ke ubun-ubun manakala membaca dan menyaksikan beritanya terpampang di berbagai media: ketidakadilan pajak penulis dan pembakaran tujuh gedung sekolah dasar di Kalimantan Tengah.
Sebagaimana sama-sama kita tahu, ada pengumuman mengagetkan dari salah satu ikon penulis Indonesia, Darwis Tere Liye. Pengumuman itu berbunyi bahwa ia akan berhenti menerbitkan buku-bukunya lantaran tak kuat menanggung beban pajak yang teramat berat itu. Ibarat palu godam, ia tengah terhuyung-huyung menghadapi “hantaman” pajak tak berkeadilan yang digencarkan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak terhadap semua objek, tak terkecuali dirinya sebagai penulis.
Kita semua tahu seluruh warga negara berkewajiban membayar pajak karena pajak adalah sumber dana bagi pembangunan. Namun, penerapan pajak yang ditengarai berat sebelah, ambigu, dan tidak transparan bisa berdampak buruk bagi yang mengalaminya. Sebutlah semisal hilangnya kreativitas, inovasi, dan semangat kewirausahaan yang sangat dibutuhkan negara sekarang ini.
Jika diperhatikan, ada tendensi bahwa wajib pajak pribadi atau badan usaha yang dianggap rentan atau lemahlah yang selalu menjadi “korban”, sementara pihak-pihak yang berkuasa dan memiliki objek pajak yang seharusnya dipajakin, baik secara konvensional (flat) maupun progresif, cenderung bisa lolos “menyembunyikan” objek pajaknya. Pindai pajak ini terkesan “jelas” ke si lemah, tapi “buram” ke si kuat.
Setidaknya itulah yang dialami banyak penulis di Indonesia selama ini, termanifestasikan melalui ujaran kekesalan dan kekecewaan Darwis Tere Liye–populer dikenal sebagai Tere Liye–yang diunggah dalam laman facebook-nya beberapa waktu lalu (5 September 2017). Kekesalan dan kekecewaan yang timbul sebagai akibat perlakuan yang diskriminatif dibanding profesi yang lain.
Betapa tidak. Untuk satu objek pajak saja dia harus berhadapan dengan dua peraturan yang sama-sama sah dan keluar pada tahun yang sama, yaitu Per-17/PJ/2015 tentang NPPN dan Per-36/PJ/2015 tentang Bentuk dan Petunjuk Pengisian SPT Tahunan. Implikasinya, ia terpaksa harus membayar lebih banyak dari yang seharusnya dan berpotensi membayar ganda. Meminjam istilah dunia erotis yang dipopulerkan Ahmad Taufik untuk polemik ini, Tere Liye terkena apa yang disebut pajak threesome… (mojok.co)
Fenomena ini ibarat puncak gunung es. Saya yakin banyak penulis mengalami hal yang sama. Hanya saja mereka memilih diam karena memikirkan royalti dan penghasilan mereka yang minim, dan belum bisa diandalkan untuk hidup layak dan posisi tawar yang rendah, kendati menulis ini disebut profesi.
Menyitir Dewi Lestari, ide dari sebuah tulisan hanya dihargai 10% dari 100% harga banderol buku. Dan yang lebih miris lagi adalah 10% itu pun harus dipotong lagi sebesar 15% oleh negara (Kompas.com)
Literasi di Ujung Tanduk
Situasi ini tentu sangat tidak menyenangkan dan kondusif bagi upaya pemerintah sendiri untuk menaikkan kapasitas literasi bangsa ini. Begitu juga dengan para penulis dan calon penulis yang punya semangat menggebu-gebu memberantas tuna literasi di bumi pertiwi ini. Kemungkinan besar mereka akan terdemotivasi membaca situasi ini.
Jika sudah begini, pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin kita bisa menaikkan IQ dan menghilangkan ujaran kebencian dan hoaks–mengutip istilah Rocky Gerung–jika bahan literasinya saja kita tidak punya karena nirpenulis dan bacaan yang baik, benar, dan bermanfaat?
Lalu, bagaimana pula caranya pemerintah menyukseskan program literasi dengan bagi-bagi buku gratis tiap pekan bila buku yang hendak dikirim tak tersedia lantaran hilang dari peredaran dan penulis yang tak ada?
Terus, bagaimana pula kita menaikkan tingkat literasi bangsa kita yang terpuruk di posisi 60 dari 61 negara (Most Literated Nations in the World-2015) dan mengerek minat baca warganya yang tercatat di angka 0,001 (UNESCO-2012) apabila anggota dewan yang katanya wakil rakyat pun tidak berpihak dan malah membumihanguskan tujuh sekolah dasar di Kalimantan Tengah? Oh ya, sebelum lupa, 0,001 itu artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya satulah yang rajin membaca!
Nah, kembali ke anggota dewan itu. Barangkali apa yang dilakukan oleh Yansen Binti, anggota DPRD Kalteng dari Partai Gerindra sekaligus tokoh masyarakat setempat ini, bisa dikategorikan teror paling menakutkan dan nyata sepanjang sejarah republik ini terhadap dunia pendidikan, saat mastermind-nya adalah wakil rakyat yang berkhianat terhadap konstituennya sendiri.
Entah pikiran sesat apa yang ada di kepalanya hanya karena dia dan Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran renggang, maka dia merencanakan memadamkan dan meruntuhkan semangat dan pondasi literasi di sana dengan cara membakar habis 10 sekolah dasar, dengan harapan mendapatkan perhatian dan proyek kembali dari sang gubernur. Untunglah, karena memang negara ini selalu beruntung terlepas apa pun musibahnya, pembakaran itu terhenti di tujuh sekolah saja (Koran Jakarta).
Jelas kedua berita di atas adalah cerminan buruk keberpihakan bangsa dan negara ini terhadap dunia pendidikan dan literasi yang sama-sama ingin kita tingkatkan. Ibarat kata, lain di mulut, lain di hati.
Seyogianya para penulis harus diberikan kemudahan pajak dan bonus menulis berupa anggaran khusus di APBN atau APBD. Dan bagi anggota dewan yang sontoloyo itu harus diberi efek jera dan partai pun harus memberi sanksi padanya untuk menghilagkan kesan pembiaran di mata publik.
Akankah dunia pendidikan dan literasi kita yang sebenarnya perlahan sudah mulai membaik dan bangkit—sesuai hasil raihan PISA 2015—terjerembab dan padam lagi karena “target” pajak dan api “ego” proyek yang irasional semata?
Kau yang memulai, kau yang mengakhiri?