Minggu, Oktober 13, 2024

Ketika Anak Bertanya Dalil Mencintai Ibu

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.

Patriotisme adalah tema yang tidak akan pernah habis dipercakapkan. Selama hayat masih dikandung badan, selama itu pulalah kita sewajibnya mempertanyakan apa yang telah kita sumbangsihkan pada bangsa dan negara. Tidak hanya untuk dibicarakan, namun dinyatakan di dalam perilaku hidup dan perbuatan sehari-hari. Tentu saja setiap tindakan merongrong bangsa dan negara sendiri ialah melawan kodrat tumpah darah dan tanah air. Dan, ini sama buruk dengan upaya bunuh diri.

Namun, apa dalil untuk mencintai tanah air? Jawabannya bisa berupa pertanyaan balik: apakah kita masih perlu dalil untuk mencintai tanah air? Siapakah yang dapat menyebutkan satu nama saja di dunia ini yang memiliki hak untuk memilih lahir di mana dan dilahirkan oleh siapa? Tak ada! Sehebat apa pun seseorang pada masa pertumbuhannya, ia tak bisa mengulang kelahirannya dengan berganti tanah air dan ibu. Meski terdengar konyol, siapa anak yang bisa kembali ke perut ibunya?

Jika pun sebagian kalangan merasa tetap membutuhkan dalil untuk mencintai tanah airnya sendiri, apakah adagium hubbul wathon minal iman masih kurang cukup? Dalam sejumlah perbincangan, beberapa orang menyahut, “Itu hadits yang lemah!” Bahkan, beberapa lainnya menandaskan, “Itu hadits palsu!” Padahal, siapa bilang itu hadits? Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Prof Dr KH Said Aqil Siraj pernah berujar hubbul wathon minal iman memang bukan perkataan Nabi SAW.

“Itu bukan hadits tapi fatwa Mbah Hasyim Ashari,” ungkap Kiai Said. Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari memfatwakannya ketika ia menerima ajudan Presiden Soekarno yang menanyakan hukum membela bangsa dan negara dari penjajah dan penjajahan. Tak lama berselang, lahirlah Fatwa Jihad yang disusul Resolusi Jihad, yang disusul lagi dengan Pertempuran 10 November. Tapi, ketika kini demi mencintai tanah air saja perlu dalil, tentu tidak dapat kita samakan motifnya dengan peristiwa 1945.

Bila pun memang dalil mencintai tanah air benar-benar diperlukan, selayaknya kita sadar, betapa Allah bahkan bersumpah demi tanah air Muhammad SAW. Dalam Q.S Al- Balad ayat 1-3, Allah bersumpah demi negeri Makkah, yang Muhammad SAW dihalalkan untuk bertempat tinggal di Tanah Haram itu, dan Allah bersumpah demi leluhur dan keturunannya pula. Di Q.S At-Tiin ayat 3, Allah juga bersumpah demi negeri yang aman. Lalu, akankah kita merusak keamanan negeri sendiri?

Dalam Q.S. Huud ayat 117, Allah bahkan memastikan, “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” Itu artinya, kebaikan negera ditentukan oleh bangsanya sendiri. Jika terus-menerus anak-anak bangsa ini tidak bersepakat mencintai dan menjaga tanah air, niscaya keburukan demi keburukan akan semakin sulit diakhiri. Padahal, kalaupun negeri ini memburuk, mengapa tak kita perbaiki?

Selain itu, anak-anak negeri juga masih bisa bersatu dalam doa, meski dengan tata cara masing-masing. Nabi Ibrahim yang semasa hidup berhadapan dengan Raja Namrud pun tetap berdoa demi negerinya. “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,” doa Ibrahim, dalam QS. Al-Baqarah ayat 126.

CINTA TANAH AIR: Candra Malik dalam Majelis Umum Ngaji Agama dan Budaya “Suluk Badran” di Pendopo Nusantara, Yayasan Pesantren Asy-Syahadah, di Dusun Badran, Desa Plumbon, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. [Dok. Penulis]
Dalam majelis umum pengajian agama dan budaya di Pendapa Nusantara, Yayasan Pesantren Asy-Syahadah, yang saya namai “Suluk Badran”, pada Sabtu malam, 8 Juli 2017, kami buka kegiatan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya bersama-sama. Lalu, dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an. Kain merah putih dibentangkan di pendapa dan lambang negara Garuda Pancasila dipasang, demi meneguhkan rasa nasionalisme.

 

Jika ibumu pecah ketuban di negeri ini, jika darah persalinan ibumu tumpah di negeri ini, dan kau dilahirkan di sini, maka Indonesia adalah tanah air dan tumpah darah yang wajib kau bela seumur hidup. Bagi Muslim yang dilahirkan di Indonesia, seharusnya keindonesiaan dan keislaman tak lagi dibenturkan. Dalam Suluk Badran, saya mengatakan kita wajib bersyukur telah dilahirkan sebagai orang Indonesia dan berdoa semoga diwafatkan sebagai orang Islam. Husnul khatimah, amin.

Isu perpecahan menyangkut kebangsaan dan keagamaan selayaknya kita waspadai. Kita tak bisa beragama dengan baik jika terus-menerus terjadi perpecahan dalam tubuh umat, apalagi jika itu disebabkan devide et impera. Tidak bisa berbangsa dan bernegara dengan baik pula jika terus-menerus terjadi perpecahan dalam tubuh rakyat, apalagi jika devide et impera menjadi biangnya. Virus politik kekuasaan telah menjalar ke mana-mana dan kian menggerogoti kehidupan kita.

Tanah air dan bumi di mana kita bersujud memberi kita pelajaran. Kita masih bisa memilih hendak beribadah ke mana, tapi kita tak pernah bisa memilih dilahirkan di mana. Nah, posisi normal tubuh bayi saat dilahirkan adalah bersujud dengan kepala menunduk sepenuhnya. Ini mengukuhkan betapa tanah air adalah bumi di mana kita bersujud untuk pertama kali. Tanah air itu ibu pertiwi bagi anak bangsa. Lantas, apa sebutan yang paling patut bagi anak yang bertanya dalil untuk mencintai ibunya?

Baca juga:

Titik Balik Nasionalisme

Isu Anti-Cina dan Nasionalisme Kaum Muda

Keturunan Arab, Islam, dan Nasionalisme

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.