Minggu, Oktober 6, 2024

Keniscayaan Menjadi Muslim dan Feminis

Feby Indirani
Feby Indirani
Penulis, jurnalis dan praktisi media. Buku fiksi terbarunya adalah "Bukan Perawan Maria" (2017) dan buku non-fiksi "Made in Prison" (2017). Ia pernah mendapatkan beberapa hibah internasional dan beasiswa dari Australia, Jerman, Jepang, dll. Karya-karya sebelumnya di antaranya "Alien Itu Memilihku" (2014), "I Can (Not) Hear'"(2008), "Simfoni Bulan" (2006). "Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat" (2005).

Saat gema Women’s March masih terasa di Indonesia dan berbagai penjuru dunia, menarik bagi kita untuk membincangkan buku-buku karya aktivis perempuan muslim Neng Dara Affiah. Kedua bukunya, Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia dan Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas, diluncurkan bersamaan beberapa waktu lalu dan memang saling melengkapi.

Buku yang pertama—sebagaimana judulnya—adalah sebuah ‘potret’ sehingga kita mendapatkan gambaran tentang perjalanan gerakan perempuan Muslim progresif di Indonesia dari waktu ke waktu.

Pada buku pertama ini terdapat bab khusus yang membahas rekonstruksi dan dekonstruksi teologis yang di dalamnya mengungkap sejumlah isu perempuan yang paling sering menjadi kontroversi seperti konsep kodrat, kepemimpinan, dan poligami (Bab 3, hal 139). Lalu di buku kedualah isu-isu ini dikupas secara lebih mendalam dalam bentuk esai.

Saya menyarankan untuk membaca kedua buku ini berdampingan karena dapat menjadi rujukan yang penting bagi akademisi, wartawan, peneliti, aktivis, dan penulis  tidak hanya untuk kajian perempuan dan feminisme, tapi juga bidang-bidang ilmu sosial lainnya.

Gerakan perempuan Muslim progresif dalam studi yang dilakukan Neng diartikan sebagai suatu konsep yang menjelaskan tindakan individu maupun kelompok yang sadar bahwa ada sejumlah perempuan Muslim yang mendasarkan nilai-nilai hidupnya pada ajaran Islam dan mendasarkan kerangka kerjanya pada sumber-sumber utama ajaran Islam; yakni Al-Qur’an, Hadits dan seperangkat hukum Islam, namun mereka merasakan adanya diskriminasi atas ajaran tersebut.

Suatu waktu saya sempat mendengar Neng bercerita bagaimana ia yang lahir dan tumbuh di tradisi pesantren yang kuat awalnya tidak menyadari ada diskriminasi dalam interpretasi dari ajaran Islam dan menerimanya begitu saja. Di kemudian hari, dalam pertumbuhannya sebagai aktivis dan peneliti yang mendalami feminisme, Neng barulah menyadari betapa banyak teks suci dan hukum Islam yang ditafsirkan secara bias gender.

“Tapi setelah proses belajar yang panjang, saya pun tetap tak bisa menanggalkan Islam yang merupakan akar saya. Saya tetap mencintai Islam dan segenap tradisinya,” tutur Neng di suatu kelas “Feminisme dan Muslim” yang diselenggarakan Yayasan Jurnal Perempuan pada 2016.

Kedua buku ini saya kira adalah suatu tanda cinta Neng, tak hanya pada gerakan perempuan Indonesia, namun juga pada agamanya.

Karya Neng menjadi penting karena setidaknya tiga hal. Pertama ia memungkinkan kita mendapatkan bird eye view terhadap pasang surutnya gerakan perempuan, khususnya gerakan perempuan Muslim di Indonesia.

Buku seperti ini dalam konteks gerakan perempuan masih menjadi kemewahan, karena kebanyakan aktivis perempuan sulit menghindari kesibukan menangani persoalan-persoalan yang bersifat urgen, domestik, dan kasuistik yang memang harus diselesaikan dengan segera. Sebagai konsekuensinya, para aktivis perempuan rata-rata sulit meluangkan waktu untuk menulis yang membutuhkan jarak dan sikap sebagai pengamat, sebab banyak energi dan waktu mesti terserap pada persoalan dan tantangan sehari-hari di lapangan.

Dokumentasi ini tentunya sangat berharga bagi peneliti dan aktivis perempuan dan gerakan sosial lainnya sehingga bisa melihat gambaran besar dan dapat bercermin sejauh mana pertumbuhan gerakan sudah terjadi dan poin-poin terpenting pembelajaran untuk masa depan.

Dalam menuliskan jejak sejarah gerakan perempuan di Indonesia, periodisasi dalam buku Neng memang masih mengikuti periodisasi sejarah pada umumnya, yaitu zaman pemerintahan kolonial Belanda, pemerintahan kolonial Jepang, masa demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, Orde Baru, dan era reformasi.

Yuniyanti Chuzaifah, wakil ketua Komnas Perempuan, sempat menyatakan saat peluncuran dan diskusi buku, pembabakan tersebut cenderung kurang berguna karena tidak mengungkapkan banyak mengenai sejarah gerakan perempuan Indonesia. Namun, menetapkan periodisasi sejarah gerakan memang bukan perkara mudah dan bahkan mungkin membutuhkan penelitian tersendiri.

Hampir bersamaan dengan waktu kedua buku Neng terbit, yaitu Desember 2017, tulisan aktivis dan peneliti Ruth Indiah Rahayu yang menawarkan alternatif periodisasi bagi gerakan perempuan tayang di media (baca: Gerakan Perempuan di Indonesia, Pasang Surut Memperjuangkan Hak).

Penyusunan periodisasi tersebut menunjukkan titik berdiri gerakan perempuan dalam relasinya dengan peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi. Suatu tawaran yang menarik dan bisa dibayangan dapat mengubah sudut pandang sejarah secara signifikan, sehingga patut diteliti dan dikaji lebih lanjut.

Tajam Mengkritisi Isu Perempuan dalam Islam

Alasan kedua yang membuat karya-karya Neng ini penting adalah fakta bahwa ia seorang aktivis gerakan dan bukan ‘hanya’  orang yang melakukan penelitian, sehingga buku-bukunya tidak hanya kaya sebagai suatu dokumentasi sejarah aktivisme dan pemikiran yang tumbuh dalam perjalanan gerakan—berikut sejumlah aktor dan organisasi perempuan yang terlibat—namun juga kaya akan kritik Neng yang muncul dari pengamatan dan pengalamannya.

Sejumlah isu penting mengenai perempuan—termasuk yang saat ini sedang sengit diperdebatkan seperti poligami dan penggunaan cadar/jilbab—diungkapkan dan dikritisi secara berani oleh Neng, khususnya pada buku kumpulan esainya, Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas. Dan yang menjadi kekuatan Neng adalah referensinya yang luas atas teks-teks suci, sejarah, dan khasanah tradisi keislaman.

Bagi pembaca seperti saya, misalnya, yang Muslim namun juga ingin tetap berpikir kritis, berbagai isu perempuan dalam Islam ini kerap kali menjadikan kami gelisah dan dihantui rasa  bersalah dan cemas.

Pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah saya berdosa jika tidak rela suami saya menikah lagi? Apakah mengenakan cadar itu wajib? Apakah saya akan masuk neraka jika membuka jilbab? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang dianggap ‘nyeleneh’ kegelisahan yang sering  muncul di kalangan muslimah, namun kerap tak tahu harus bertanya kepada siapa.

Padahal, untuk bertanya saja sudah membutuhkan keberanian besar, sebab bisa-bisa dianggap durhaka dengan berani-beraninya mempertanyakan hukum Allah. Di sisi lain, banyak Muslim  juga cemas mengalami sesat pikir dalam pencarian mereka, yang malah membawa mereka jauh dari tuntunan Islam.

Buku Neng yang kaya akan pemahamannya pada referensi Islam akan membuat pembaca setidaknya merasa ‘lega’ karena tafsir ajaran Islam sesungguhnya tidaklah kaku dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Bahwa yang sebelumnya mungkin mereka kira sebagai ‘kebenaran’ sering kali hanyalah upaya ulama-ulama di masa lalu yang kemudian telah dikaji dan diperbaiki lagi oleh ulama-ulama setelah mereka agar lebih kompatibel dengan perkembangan zaman.

Ketiga, buku ini menjadi dokumentasi yang penting mengenai isu-isu perempuan Indonesia  berikut strategi untuk mengatasinya yang bahkan telah berdampak pada kebijakan di level nasional.

Sejumlah perempuan penulis dari kelas sosial menengah kota rajin menulis ataupun memasukkan isu perempuan ke dalam karya-karya mereka, namun ternyata kerap tidak mewakili persoalan perempuan Indonesia yang nota bene adalah dunia ketiga. Karena akses yang luas kepada pengetahuan dan informasi terkini, mereka akrab dengan percakapan wacana feminisme di negara maju, namun cenderung ‘asyik sendiri’ sehingga kadang luput membincangkan dan menuliskan masalah yang terjadi di negaranya sendiri.

Pendekatan yang digunakan dalam menyampaikan pemikiran mereka pun biasanya hanya akan familiar bagi perempuan yang satu generasi dan kelas sosial dengan mereka, namun terasa asing bagi perempuan di level akar rumput.

Neng mencatat sejumlah hal yang menjadi pencapaian penting gerakan perempuan, termasuk di dalamnya gerakan perempuan Muslim progresif, mulai dari penggunaan kata ‘perempuan’ yang menggantikan ‘wanita’, mengarusutamakan isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga menjadi kebijakan negara, juga bagaimana menandingi wacana dari organisasi Islam yang berada di kutub  ‘berseberangan’ seperti Hizbut Tahrir Indonesia.

Selintas sederhana, dan bagi generasi yang lahir tahun 2000 ke atas mungkin saja tak menyadari perbedaannya. Namun, perubahan kata ‘wanita’ menjadi ‘perempuan’ dalam wacana publik di Indonesia sesungguhnya berbicara banyak tentang upaya mewujudkan perubahan paradigma negara yang lebih adil terhadap perempuan. Kata ‘perempuan’ dipilih karena diyakini lebih mewakili perspektif kesetaraan gender, berasal dari ‘empu’ yang berarti kemandirian.

Sementara Orde Baru selalu menggunakan kata ‘wanita’ yang berasal dari bahasa Jawa, wanito yang berarti wani ditoto (berani diatur) yang menyiratkan kendali kaum pria dan negara yang patriarkis. Setelah era reformasi, lazim terjadi nama-nama lembaga negara dan penyebutan di dalam undang-undang menggunakan kata ‘perempuan’

Persoalan yang khas di sejumlah daerah di Indonesia juga menjadi poin menarik yang bisa ditemukan di dalam buku Neng, mulai dari ratusan peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan hingga kekerasan yang dilakukan para suami terhadap istri mereka di Babakan Ciwaringin kalau sampai melahirkan anak lelaki—karena anak perempuan dianggap sebagai aset untuk dipekerjakan di luar negeri. Isu-isu yang nyata terjadi di Indonesia dan mungkin sering luput oleh perempuan kelas menengah kota seperti saya.

Neng dan aktivis perempuan Muslim lainnya memang harus lebih banyak lagi menulis dan berbicara di media. Wartawan, praktisi media dan media sosial, mari lebih sering menjadikan Neng dan tokoh perempuan Muslim lainnya sebagai narasumber untuk menanggapi tidak hanya isu perempuan melainkan juga isu-isu sosial kemasyarakatan lainnya.

Apa pun perubahan sosial yang ingin coba Anda ciptakan di Indonesia—mulai dari keselamatan di jalan hingga pemberantasan korupsi—percayalah, upaya Anda akan lebih efektif jika mengikutsertakan sudut pandang Islam di dalamnya.

Saat ini begitu banyak teks dan video yang diproduksi dan disebarkan mengenai isu-isu perempuan yang hanya menggunakan satu versi penafsiran dari Islam dan sering kali tidak ramah perempuan. Belum lagi begitu banyak hoaks,  hadits palsu atau hadis dan terjemahan ayat Al-Qur’an yang dikutip tanpa konteks.

Jika wartawan dan pegiat media sosial lebih banyak mewawancarai narasumber Islam progresif,  sudut pandang yang beredar pun akan lebih kaya dan mutu percakapan di sekitar kita terkait isu-isu perempuan dan sosial kemasyarakatan pun meningkat, tak melulu diisi pandangan misoginis.

Membaca buku-buku Neng, kita akan menemukan bahwa menjadi Muslim sekaligus feminis tidak hanya mungkin, melainkan bahkan suatu keniscayaan. Karena Muslim sejati akan paham, salah satu keutamaan ajaran Islam adalah memandang manusia secara setara, dan sejarah mencatat orang yang pertama kali menghayati kebenaran Islam pun adalah seorang perempuan.

Muslim yang sejati—sadar atau tanpa sadar—niscaya seorang feminis.

Kolom terkait:

Membincang Pluralisme Agama: Di Mana Suara Kaum Feminis?

Pendekatan Feminis dalam Studi Agama

Mengapa LGBT Begitu Dibenci?

Gender dan Relasi Keberagamaan dalam Ayat-Ayat Cinta 2

Menuju Gerakan Perempuan Baru [Catatan Perempuan 2016]

Feby Indirani
Feby Indirani
Penulis, jurnalis dan praktisi media. Buku fiksi terbarunya adalah "Bukan Perawan Maria" (2017) dan buku non-fiksi "Made in Prison" (2017). Ia pernah mendapatkan beberapa hibah internasional dan beasiswa dari Australia, Jerman, Jepang, dll. Karya-karya sebelumnya di antaranya "Alien Itu Memilihku" (2014), "I Can (Not) Hear'"(2008), "Simfoni Bulan" (2006). "Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat" (2005).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.