Selasa, April 30, 2024

Kegalauan Anies, Kemaksiatan Alexis

Syahirul Alim
Syahirul Alim
Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia. Penulis lepas, pemerhati sosial, politik dan agama.
[sumber: warta.co]

Kota besar seperti Jakarta dengan daya tarik pariwisata yang menggiurkan tak menutup kemungkinan akan memanjakan setiap pelancong yang mampir sejenak di sana. Nama Alexis yang cukup dikenal dan sering menjadi perbincangan sebagian besar masyarakat, konon, merupakan salah satu hotel terlengkap dengan fasilitas hiburan wah bagi mereka yang berkocek tebal. Sejak masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Hotel Alexis sempat menjadi perhatian, bahkan pernah diberikan teguran, ketika menyalahi perizinannya dan terendus sebagai tempat “prostitusi terselubung”.

Sudah menjadi fakta sosial dalam masyarakat urban atau perkotaan bahwa segala macam bentuk kenikmatan hidup (hedonisme) yang mewujud dalam dunia hiburan “esek-esek” atau apa pun namanya selalu menjadi masalah sosial, tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota-kota besar lainnya. Hanya saja, yang jauh lebih penting bagaimana penyelesaian masalah sosialnya sehingga bisa berdampak pada kesejahteraan lebih besar, bukan menimbulkan masalah sosial baru. Itu seharusnya yang menjadi target utama dalam menggulirkan sebuah kebijakan.

Janji Gubernur Anies Baswedan menutup Alexis yang sudah digaungkan sejak masa kampanye politiknya telah dibuktikan sekarang, dengan tidak memperpanjang izin usaha hotel tersebut. Kebijakan ini jika tidak diiringi dengan kajian mendalam ihwal bagaimana nasib para pekerjanya, pemanfaatan bangunan yang ada, dan segala fasilitas yang dimiliki, kemungkinan besar bisa menimbulkan masalah baru yang justru bisa malah berdampak lebih besar.

Sebuah kebijakan tentu saja bukan soal tuntutan atau pemenuhan janji politik, tetapi bagaimana kebijakan bisa berdampak positif dalam membangun kondisi masyarakat secara lebih baik. Sejauh ini Hotel Alexis selalu dihubungkan dengan kegiatan “prostitusi terselubung” yang sangat meresahkan masyarakat Jakarta, khususnya di bagian utara Ibu Kota.

Keberadaan prostitusi—bagi sebagian masyarakat Muslim—dianggap bentuk kemaksiatan yang harus diberantas, tanpa syarat. Padahal, kemaksiatan sesungguhnya selalu ada, tidak hanya dalam bentuk prostitusi, tetapi kadang tanpa disadari setiap diri kita bisa saja melakukan kemaksiatan. Dengan demikian, “kemaksiatan” lebih berkonotasi “sifat” yang mengandung unsur dosa dan sebagainya (lihat: “kemaksiatan” di kamuskbbi.id). Karena itu, sulit rasanya menjatuhkan konteks kemaksiatan dengan menutup “tempat” maksiat tetapi membiarkan kemaksiatan lainnya masih terjadi tanpa kita sadari.

Hotel Alexis, dalam konteks ini, berarti “tempatnya” yang terindikasi kemaksiatan di dalamnya, bukan sifat kemaksiatan itu sendiri. Jadi, yang harus diberantas itu tempatnya atau sifat kemaksiatannya? Berargumentasi dalam hal ini memang kemudian seringkali memicu pro-kontra di tengah masyarakat, karena kebanyakan mereka memiliki cara pandang sendiri-sendiri soal bagaimana kemaksiatan itu diberantas. Lalu, timbul lagi pertanyaan, setelah Alexis ditutup, benarkah kemaksiatan itu kemudian berkurang atau hilang?

Saya kira tidak, karena kemaksiatan adalah sifat yang melekat dalam pribadi seseorang, bukan pada tempat yang selama ini kita anggap sebuah kemaksiatan. Bagi saya, ketika tempat itu dianggap sebagai biang kemaksiatan, lalu tempatnya yang ditutup, tanpa pembinaan atau mencari solusi bagi kehidupan lain yang lebih baik, itu sama halnya dengan membuat masalah sosial baru yang bisa saja tak pernah akan mampu mewujudkan prospek  kesejahteraan yang lebih baik kepada masyarakat.

Istilah “maksiat” terambil dari akar kata bahasa Arab, “ma’shiyyah” yang dalam situs almaany.com diartikan sebagai “mukholafah” (penyimpangan) dan “adamut tho’ah” (menyalahi aturan). Dalam keterangan lebih lengkapnya, maksiat berarti “gaya hidup yang buruk, yang cenderung tanpa memilih dan umumnya bertentangan dengan perintah Tuhan”.

Ini artinya, kemaksiatan merupakan sikap atau gaya hidup pribadi seseorang yang cenderung buruk karena tidak mampu memilih antara kebaikan dan keburukan. Sikap dan gaya hidup buruk seperti inilah yang semestinya mampu disadarkan oleh berbagai hal, baik itu dengan informasi yang benar, diberikan sangsi sosial atau dihukum oleh aturan dan perundang-undangan.

Mengkategorikan keberadaan Hotel Alexis dengan kemaksiatan sesungguhnya telah membuat sebuah analogi yang salah (qiyas bathil), karena hotel tentu saja “tempat” bukan “sifat” kemaksiatan itu sendiri. Anehnya, orang-orang yang sering melakukan kemaksiatan (menyimpang dari ketaatan, baik terhadap aturan atau banyak hal yang disepakati), cenderung dibiarkan dan bahkan parahnya, tidak masuk dalam kategori kemaksiatan.

Sejauh yang saya tahu, kemaksiatan hanya cenderung dihubungkan dengan segala kegiatan prostitusi atau segala hal yang terkait dengan apa yang disebut dengan “penyakit masyarakat”. Padahal, kemaksiatan termasuk di dalamnya melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan (‘adamut tho’ah), baik itu aturan yang ditetapkan oleh kebijakan pemerintah, terlebih aturan yang ditetapkan oleh Tuhan bagi umat manusia.

Saya justru khawatir penutupan Alexis oleh Gubernur Anies sekadar pemenuhan janji politik, tetapi miskin solutif dalam hal kajian dampak sosial yang seharusnya lebih penting. Hal ini sama halnya, dengan penerapan aturan yang salah soal reklamasi yang sangat sulit dihentikan, mengingat akan menciptakan dampak sosial yang bisa jadi lebih besar.

Itulah kenapa, kemudian saya meyakini sebuah kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “dar’ul mafaasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih” (mencegah dampak keburukan harus didahulukan daripada menegakkan kemaslahatan). Jika memang Alexis ditutup karena dorongan pemenuhan tuntutan janji politik untuk menegakkan kemaslahatan, seharusnya dapat ditinjau ulang bagaimana dampak buruknya terhadap nasib para pekerjanya yang juga butuh kesejahteraan.

Bagi saya, mereka yang bekerja adalah yang berhak memperoleh kesejahteraan hidup, sama dengan manusia lain pada umumnya.

Dalam pandangan Tuhan, manusia sejatinya diposisikan sama, tak ada perbedaan soal kedudukan, cara mereka bekerja, atau memperoleh penghidupan yang layak, kecuali ketakwaan mereka kepada-Nya. Manusialah sebenarnya yang seringkali terjebak dalam hal membeda-bedakan sesuai cara pandangnya masing-masing dan justru seringkali keliru.

Dalam surat Al-Fatihah yang hampir semua Muslim hafal, Tuhan digambarkan sebagai “Maha Pengasih” (Ar-rahman) memberi apa saja yang diinginkan manusia, termasuk perolehan pendapatan dari mana pun cara mereka memperolehnya. Tuhan tentu saja tak pernah membeda-bedakan, apakah seseorang itu bersifat baik maupun buruk, karena Maha Pengasih tak pernah dibatasi oleh kondisi dan keadaan.

Tuhan tentu juga “Maha Penyayang” (Ar-Rahiim), karena Dia akan menyayangi manusia yang mentaati seluruh perintah-Nya. “Memberi” belum tentu karena sayang, tetapi kasih sayang Tuhan akan diperoleh karena hasil dari ketaatan manusia kepada-Nya.

Memberantas kemaksiatan dalam hal kegiatan prostitusi yang sejauh ini dipandang “lemah” oleh Anies, dan dengan ketegasan dirinya menutup Hotel Alexis, harus beriringan dengan solusi kemanusiaan akibat dampak dari penutupan ini. Lagi pula, jika prostitusi hanya dipandang sebagai satu-satunya bentuk kemaksiatan yang menjadi fakta sosial di kota-kota besar, itu jelas sebuah cara pandang yang keliru.

Kemaksiatan tentu saja lebih luas, bahkan merambah soal berbagai pelanggaran atas peraturan (‘adamuttho’ah) dan penyimpangan (mukholafah) yang cenderung menjadi sifat abadi manusia.

Jadi, kemacetan, misalnya, karena banyaknya pelanggar adalah kemaksiatan, termasuk semrawutnya tata kota. Maka, membenahi pedagang kaki lima yang melanggar aturan di Tanah Abang adalah upaya memberantas kemaksiatan juga. Singkatnya, penegakan aturan itu yang paling utama. Dengan bersikap tegas, kemaksiatan dalam banyak hal pasti akan berkurang, sebab tidak mungkin kemaksiatan lenyap sama sekali. Dan jangan sekali-kali bersikap galau!

Baca juga:

Sanksi bagi Pengguna Jasa Prostitusi (Artis)

Ahok, Kalijodo, dan Resep Risma Menutup Dolly

Ahok, Sunan Kalijodo, dan Pemimpin Transformatif

Feminisme dan Prostitusi

Syahirul Alim
Syahirul Alim
Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia. Penulis lepas, pemerhati sosial, politik dan agama.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.