Selasa, April 30, 2024

Kasus Kaesang dan Delusi Tuduhan Penodaan Agama

Adi Perwira Purba
Adi Perwira Purba
Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITB
Kaesang Pangarep dan ayahnya, Presiden Jokowi.

Jika di belahan dunia lain sedang muncul tren dalam pengembangan teknologi yang semakin rumit dengan bentuk yang semakin mini, Indonesia juga sedang berkubang dalam trennya, tren tuduhan penodaan agama. Sebuah tren yang telah lama ditanam, disiram dan dipupuk, mulai dari kasus HB Jassin, Arswendo Atmowiloto sampai akhirnya dipanen raya pada kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan tuduhan pelecehan ayat Al-Maidah 51!

Melihat begitu dahsyatnya kasus penodaan yang terakhir, ada harapan bahwa setelah Ahok dijatuhi hukuman penjara, tensi ketegangan di tengah masyarakat akan segera antiklimaks. Namun, jauh panggang dari api, ternyata justru melahirkan tuduhan-tuduhan penodaan yang lain, penodaan nama ulama (lebih sering disebut sebagai kriminalisasi ulama), penodaan bendera, penodaan ajaran-ajaran Pancasila oleh gerai kopi Starbucks sampai pada kasus yang paling hangat, tuduhan penodaan agama oleh anak bungsu presiden sendiri, Kaesang Pangarep.

Dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan/Pengaduan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Resort Metro Bekasi, Kaesang dilaporkan atas tuduhan penodaan agama dan ujaran kebencian sara. Dari dua hal pokok yang dilaporkan tersebut, mari kita lihat satu per satu secara lebih dalam.

Dalam tuduhan ujaran kebencian/SARA (khususnya agama), kasus Kaesang sendiri bisa dibilang mempunyai kesamaan dengan kasus Ahok, yaitu sama-sama dilaporkan dengan menggunakan video sebagai alat bukti. Dalam kasus Kaesang, video yang dijadikan rujukan adalah video unggahannya sendiri di situs Youtube yang berjudul Bapak Minta Proyek.

Video tersebut berdurasi 2 menit 40 detik, dengan rincian sebagai berikut, 42 detik pertama berisi dialog komedi antara Kaesang dengan tokoh bapak, 98 detik berikutnya berisi kritik tentang kondisi sosial bangsa kita seperti orang-orang yang minta proyek ke orangtua yang bekerja di pemerintahan, orang-orang yang kuliah di luar negeri kemudian kembali ke Indonesia justru malah menghancurkan, video tentang anak-anak pawai sambil teriak “Bunuh, bunuh, bunuh si Ahok”, kritik terhadap generasi muda dan ajakan bekerja sama.

Kemudian dilanjutkan dengan 15 detik berisi perkataan “Bukan malah saling menjelek-jelekkan, mengadu domba, mengkafir-kafirkan orang lain. Apalagi … ada yang enggak mau mensalatkan, padahal sesama muslim, karena cuma perbedaan dalam memilih pemimpin. Apaan coba? Dasar ndeso.” (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170705083111-12-225804/kaesang-anak-jokowi-dilaporkan-karena-kritik-soal-kafir/).

Kalimat-kalimat dalam 15 detik video inilah yang akhirnya dilaporkan sebagai ujaran kebencian/SARA.

Mengapa pembagian durasi potongan-potongan video tersebut menjadi penting? Karena dari situ, kita bisa tahu, apa yang menjadi gagasan pokok atau tema besar yang ingin disampaikan pembuat video (content creator). Seseorang yang memilik waktu berbicara 2 menit 40 detik, tentu tidak akan hanya menyediakan waktu 15 detik untuk poin atau maksud utama yang memang sesungguhnya ingin disampaikan.

Jika dilakukan demikian, maka hal-hal dalam 15 detik tersebut hanyalah bersifat sebagai argumen pelengkap dan pendukung dari sebuah gagasan besar yang telah dibangun sebelumnya.

Dari kata-kata yang digunakan dalam video tersebut, kita juga harus mampu membedakan akan apa yang disebut dengan “kritik” dan apa yang disebut dengan “ujaran kebecian”. Sejauh tataran penilaian yang memperhatikan konteks, apa yang disampaikan Kaesang dalam video tersebut adalah sebuah bentuk krtitik yang lahir dari kegundahannya sebagai bagian dari bangsa ini.

Adapun ungkapan “dasar ndeso” yang diucapkan beberapa kali dalam video tersebut, hanyalah merupakan punchline dalam sebuah kritik dengan balutan komedi.

Jika antara kritik dan ujaran kebencian sudah tidak bisa lagi dibedakan klasifikasinya, bukan hanya Kaesang yang akan menanggung akibatnya, tetapi semua orang yang mempunyai pita suara untuk berpendapat akan terancam hak berbicaranya. Karena, bisa saja, misalnya ketika keluar dari sebuah rumah makan, kemudian saya menggerutu “Daging ayam di sini kurang enak, bumbunya kurang pedas dan teksturnya juga tidak empuk”, besoknya nama saya sudah ada di kantor kepolisian dengan tuduhan ujaran kebencian.

Selain bentuk ujaran kebencian, video Kaesang tersebut juga ternyata dilihat sebagai sebuah bentuk ppenodaan agama. Jika mau diidentifikasi, tuduhan tersebut mungkin lahir dari ketidakmampuan melihat relasi antara subjek dengan objek. Dalam video tersebut, Kaesang tidak menyerang atau menghina agama tertentu ataupun mengutip ayat kitab suci suatu agama.

Objek dari kritik Kaesang adalah individu ataupun kelompok individu yang mempunyai kaitan dengan perilaku “menjelek-jelekkan, mengadu domba atau mengkafir-kafirkan”.  Juga individu-individu yang mengambil tindakan-tindakan ekstrem dalam rangka perbedaan pandangan soal pemimpin.

Seandainya pun ada di antara individu tersebut yang merasa dirugikan atau dihina, seharusnya laporannya bukan atas tuduhan penodaan agama, melainkan tuduhan pencemaran nama baik atau undang-undang lain yang menyangkut perlindungan hak-hak individu.

Bukankah menjadi lucu sekaligus ironi, ketika ada aksi terorisme yang mengatasnamakan agama tertentu, kita dengan cepat dan berapi-api, mengambil garis pembatas: bahwa yang bersalah adalah pelakunya bukan agamanya, pelaku dan agama adalah dua hal yang terpisah dan berbeda. Tetapi pada kesempatan lain, ketika ada kritik yang ditujukan terhadap pemeluk agama tertentu, tiba-tiba agama dan individunya melebur menjadi satu, tanpa garis batas. Mengkritik individu langsung saja bertransformasi menjadi bentuk penodaan agama.

Mungkin sama lucunya ketika ada yang memberikan kritik terhadap kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang buruk dengan sejumlah kasus korupsi di dalamnya, kritik tersebut langsung saja diasosiasikan menjadi bentuk penghinaan pada demokrasi dan NKRI.

Secara tidak sadar, apa yang terjadi akhir-akhir ini, telah memperlihatkan sedikit flashback akan kondisi pemerintahan represif anti-kritik ala Orde Baru dulu. Bedanya, dulu, sifat anti-kritik tersebut berada pada jajaran pemerintah, sekarang berada pada masyarakatnya sendiri dengan berlindung di belakang tameng penodaan agama. Tameng yang kemudian dipertebal oleh delusi-delusi pemikiran itu mulai mempertaruhkan kebebasan berpendapat dan berbicara kita.

Jika apa saja yang keluar dari mulut dan membentuk kata-kata adalah penodaan agama, maka cara terbaik hidup di negeri ini adalah dengan merobek pita suara.

Baca juga:

Mengenal Muhammad Hidayat, Sang Pelapor Kaesang

Siapakah Orang Kafir Itu? Telaah Kronologi dan Semantik Al-Qur’an

Penjarakan Saya, Bebaskan Ahok!

Adi Perwira Purba
Adi Perwira Purba
Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITB
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.