Sungguh mengherankan, selepas tujuh dasawarsa merdeka, Indonesia masih saja terkendala masalah budaya membaca yang rendah dan budaya literasi yang kurang mumpuni. Tahun 2012, UNDP merilis angka melek huruf orang dewasa negara ini hanya 65,5 persen. Padahal di tahun yang sama, Malaysia yang merdeka beberapa tahun pasca Indonesia, angka melek huruf penduduknya sudah mencapai 86,4 persen.
Masih pada tahun yang sama, UNESCO menunjukkan, Indeks Tingkat Membaca orang Indonesia hanya 0,001. Artinya dari 1.000 warganya, hanya 1 warga saja yang mau serius membaca buku. Jadi, dari 250 juta penduduk, hanya 250.000 orang saja yang punya minat membaca. Artinya, penduduk yang gemar membaca buku masih tergolong minoritas. Dengan kata lain, budaya literasi di negeri ini belum terbangun dengan baik.
Tahun 2014, UNESCO menyebutkan bahwa selama setahun, anak-anak Indonesia hanya membaca sebanyak 27 halaman buku. Tahun 2016, World’s Most Literate Nations dari Central Connecticut State University mengabarkan bahwa peringkat literasi Indonesia ke-60 dari 61 negara yang diteliti. Kabar yang kurang baik ini didukung pula oleh hasil survei 3 tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang minat membaca dan menonton anak-anak Indonesia.
Tahun 2012, BPS menyatakan bahwa hanya 17,66 % anak-anak Indonesia yang punya minat membaca, sementara minat menontonnya mencapai 91,67 %. Dengan kata lain, dibanding minat membaca, anak-anak Indonesia lebih berminat menonton. BPS juga melaporkan bahwa jumlah waktu yang dipakai oleh anak-anak Indonesia untuk menonton televisi sebanyak 300 menit per hari. Jumlah waktu ini terlalu besar dibanding anak-anak Australia yang hanya 150 menit, Amerika yang hanya 100 menit, dan Kanada yang hanya memakai 60 menit untuk menonton.
Sialnya, rendahnya budaya literasi masyarakat Indonesia malah merugikan ekonomi negara. Tahun 2015, World Literacy Foundation menyatakan, Indonesia diperkirakan merugi sekira USD 10,7 miliar atau sekira Rp 144 triliun lantaran rendahnya tingkat literasi penduduknya. Karena itu, gerakan literasi nasional mendesak dilakukan agar literasi menjadi budaya masyarakat negeri ini, sehingga negara tidak menderita kerugian akibat rendahnya budaya literasi.
Makna Literasi
Menurut UNESCO, makna umum literasi ialah seperangkat keterampilan nyata, khususnya keterampilan kognitif (pengetahuan) membaca dan menulis. Dalam Hak Asasi Manusia (HAM), kemampuan literasi adalah hak setiap orang. Bukan hanya kemampuan dasar agar dapat belajar sepanjang hayat, tetapi juga kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, dan masyarakat.
Lantaran sifatnya multiple effect (berefek pada banyak hal), maka buta huruf dan rendahnya minat baca dan budaya literasi menghambat perbaikan kualitas hidup. Artinya, kemampuan literasi terbukti dan dipercaya membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, meningkatkan proses pertumbuhan penduduk, menjamin pembangunan berkelanjutan, dan mewujudkan perdamaian.
Pasca melek huruf (mampu membaca), setidaknya ada dua agenda gerakan literasi. Pertama, literasi informasi, yaitu melek atas berbagai informasi. Literasi informasi meliputi 5 (lima) kemampuan; (1) mengetahui waktu tepat saat membutuhkan informasi, (2) mengidentifikasi masalah yang dihadapi, (3) menemukan masalah yang dihadapi, (4) mengevaluasi isu atau masalah yang dihadapi, dan (5) memakai informasi secara efektif untuk menangani isu atau masalah.
Kedua, literasi media, yaitu melek terhadap berbagai hal yang dibuat media. Literasi media meliputi 3 (tiga) kemampuan; (1) memahami, (2) menganalisis, dan (3) mendekonstruksi (membongkar) pencitraan media, sehingga sadar (aware) terhadap cara media dikonstruksi atau dibuat dan diakses. Literasi media diperlukan, karena ia acap dianggap sebagai sumber kebenaran, padahal di sisi lain, ia pun tidak kedap dari tendensi memonopoli makna.
Literasi Kartini
Dalam menyemarakkan gerakan literasi nasional, sebenarnya figur Kartini dapat dijadikan teladan. Relevansi dan signifikansinya tampak dalam dua hal. Pertama, Kartini dikenal sebagai pembaca dan penulis yang cerdas. Kendati hanya lulusan Sekolah Dasar Belanda, ia pembaca yang rakus dan penulis surat yang inspiratif. Tahun 1911, surat-suratnya dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht, kemudian diterjemahkan dan diterbitkan berulang kali hingga kini dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Artinya, selain figur pejuang kebangsaan dan tokoh emansipasi wanita serta penyelenggara pendidikan bagi kaum perempuan pribumi yang terabaikan di zaman penjajahan, sebenarnya Kartini pun penggerak kegiatan literasi. Sayangnya, hal ini jarang dikuak besar-besaran. Padahal jika bukan karena aktivitas literasinya, tampaknya pamor Kartini tidak akan mencapai taraf istimewa dan diistimewakan sebagaimana yang terjadi pada zaman sekarang.
Kedua, tingkat literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Padahal, literasi dipercaya dan diposisikan sebagai penopang dan pendorong intelektualitas, bahkan penopang dan pendorong kemajuan kolektif. Rendahnya tingkat literasi masyarakat berbanding lurus dengan masih rendahnya tingkat intelektualitas masyarakat dan statisnya perekonomian. Jadi, jika bangsa dan negara ingin maju, tampaknya budaya literasi harus ditumbuhkembangkan dalam diri penduduknya.
Oleh karena itu, manfaatkanlah momentum Hari Kartini sebagai gerakan literasi nasional dengan lebih semarak. Kartini bukan hanya teladan gerakan literasi; ia jauh melampaui itu.