Jumat, April 26, 2024

Kaleidoskop 2017: Intoleransi, Syakwasangka, dan Nasib Kelompok Liyan

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.

Idealnya ketika masyarakat mengaku makin beradab, maka sikap, tindakan, dan bagaimana kita memperlakukan warga masyarakat yang lain seyogianya harus saling menghormati atau sekurang-kurangnya tidak melanggar hak asasi orang lain. Tetapi, sepanjang tahun 2017 kita bisa melihat bahwa hanya karena dipicu sentimen ideologi, SARA, dan dilatarbelakangi dendam turunan, orang-orang dengan mudah terjerumus dalam tindakan yang keliru: mempersekusi sesama, dan bahkan menindas orang-orang yang dianggap berbeda, marginal, atau bersikap diskriminatif kepada orang-orang tertentu yang dikategorikan kelompok liyan (the other).

Kehadiran LGBT, posisi perempuan di masyarakat yang patriarkhis, kelompok yang berbeda dari segi agama, ras, maupun golongan (SARA), diperlakukan layaknya barang najis: dijauhi atau jika perlu disisihkan dari kehidupan sosial. Di berbagai daerah, selama setahun terakhir tidak sekali-dua kali kelompok liyan disubordinat, dan terpaksa mengalami berbagai bentuk tindakan diskriminatif, baik atas nama keyakinan, perbedaan atau atas nama hukum.

Seorang anak yang sama sekali tidak bersalah, hanya karena memiliki wajah yang mirip dengan tokoh politik tertentu  yang dianggap telah menistakan agama, bisa saja tiba-tiba harus mengalami bullying yang memojokkan. Di kesempatan lain, seseorang yang dinilai mewarisi dosa Kota Sodom dan Gomorah, menjadi LGBT yang sama sekali tidak mereka rencanakan, oleh sebagian masyarakat dinilai sebagai warga yang rusak, nista, dan karena itu harus diperlakukan layaknya terdakwa yang patut dihukum. 

Yang tak kalah memprihatinkan, atas dasar perbedaan keyakinan atau kepercayaan, sesama umat manusia yang berkembang beranekaragam, bukan tidak mungkin kemudian dipandang sebagai out-group, kelompok yang berbeda, dan karena itu sebagian harus diusir dari tanah kelahirannya sendiri. 

Ketika masyarakat berkembang dari era modern menuju era postmodern, keberagaman, partikularisme dan hak-hak privat yang seharusnya dihormati dan diterima sebagai sebuah rahmat, tiba-tiba seolah berubah menjadi kutukan. Alih-alih bersikap toleran dan menerima perbedaan sebagai realitas sosial yang tak terhindarkan, dalam kenyataan acapkali yang terjadi adalah sebaliknya.

Keberagaman atau heterogenitas justru dirasakan sebagai gangguan, dan siapa yang berada dalam posisi berbeda, mereka pada dasarnya adalah musuh–minimal dipandang sebagai the other yang sudah sepatutnya dijauhi.

Yang Lain

Ketika universalisme makin kehilangan makna dan masyarakat dihadapkan pada heterogenitas dan partikularisme yang makin cair, seberapapun banyak bermunculan kelompok liyan di masyarakat, itu tidak akan menjadi masalah. Persoalan biasanya baru muncul tatkala ada orang-orang yang kemudian menempatkan diri sebagai bagian dari kelompok yang superior, yang merasa berhak memperlakukan orang yang berbeda sebagai pihak yang patut disalah-salahkan.

Kelompok liyan pada dasarnya adalah bagian dari kelompok manusia yang kehilangan kesempatan dan haknya untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Mereka kecil peluangnya untuk dapat eksis di masyarakat, karena mereka terbelenggu, dikekang dan bahkan diperlakukan salah.

Sepanjang tahun 2017 kita melihat berapa banyak kelompok liyan dan berapa banyak kasus persekusi terjadi dan mereka alami. Meski sebetulnya tidak seorang pun berkeinginan dan berencana untuk menjadi bagian dari kelompok lain (liyan), ketika “takdir” telah dijatuhkan, maka satu demi satu perlakuan diskriminatif akan mereka alami.

Di zaman penjajahan, warga masyarakat yang ditempatkan sebagai warga kelas dua biasanya dikeluarkan dari lingkaran pergaulan kelompok masyarakat yang memposisikan dirinya lebih unggul dalam berbagai hal. Kelompok masyarakat yang tersubordinasi ini pada dasarnya adalah non-being.

Di zaman penjajahan, kelompok liyan adalah bagian dari kaum tertindas yang tidak punya kesempatan dan hak untuk menentukan jalan hidupnya, karena mereka tak ubahnya seperti budak yang harus serba patuh kepada majikannya.

Di zaman modern dan postmodern, kelompok liyan memang tidak mengalami eksploitasi dan dikuras sumberdaya alamnya semata untuk kepentingan para penjajah. Tetapi, perlakuan yang mereka alami sesungguhnya tak ubahnya seperti bangsa terjajah dan sudah kehilangan kemerdekaannya. Kelompok liyan yang ada di berbagai daerah, misalnya, biasanya akan menjadi korban stigma dan mengalami stereotipe yang menempatkan posisi mereka sebagai bagian dari orang-orang yang tidak pantas hidup di dunia.

Berbeda dengan kelompok superior yang memiliki free will, kelompok liyan biasanya tidak punya bargaining position yang kuat, karena mereka harus tunduk pada kepentingan kekuatan yang berkuasa.

Memasuki tahun 2018, apakah keberadaan kelompok liyan bisa diterima sebagai realitas sosial yang tidak terhindarkan ataukah justru makin keras dikonstruksi serta direaksi sebagai musuh bersama masyarakat? Tentu waktulah yang akan menjawabnya. Di tahun 2018 nanti, apakah perlakuan terhadap kelompok liyan makin manusiawi, setara, atau sebaliknya justru makin intoleran, secara garis besar akan tergantung pada dua hal.

Pertama, ketika masyarakat masih terjebak dalam logika berpikir oposisi biner, yang cenderung menyederhanakan realitas hitam-putih atau benar-salah, sepanjang itu pula kemungkinan tumbuhnya sikap intoleransi akan masih tumbuh subur. Kenyataan sosial yang sebetulnya acap berada di wilayah abu-abu (grey area) seringkali justru dilupakan atau bahkan ditolak. Sebab, dalam konstruksi masyarakat yang terhegemoni oleh dua kategori ekstrem, yang terpenting adalah klaim atas posisi mereka yang dirasa paling benar, paling unggul, dan paling baik.

Pikiran-pikiran atas dasar dogma, rawan tergelincir menjadi sikap yang mau menang sendiri. Ya, karena di mata mereka, kebenaran bukanlah sesuatu yang multitafsir, melainkan hanya milik mereka dan kelompoknya.

Kedua, ketika fanatisme dan dendam kesumat masih meracuni masyarakat, yang terjadi niscaya adalah munculnya kebencian yang lebih banyak didasari syakwasangka daripada berlandas pada kebenaran yang masuk akal. Sejarah masa lalu yang mewariskan dendam kesumat, alih-alih ditinggalkan, justru dalam kenyataan dendam itu terus dipelihara, diberi pupuk syakwasangka, hingga menjadi sesuatu yang terinternalisasi.

Pada masyarakat seperti ini, kemungkinan munculnya perlakuan yang diskriminatif, mensubordinasi, mempersekusi, dan lain-lain, bukan tidak mungkin tetap berpeluang muncul, bahkan dalam skala yang makin mengkhawatirkan.

Membangun sikap toleran dan penghormatan kepada hak-hak asasi orang lain yang berbeda sungguh bukan hal yang mudah. Meski bangsa ini dilahirkan dengan kesadaran dan fondasi untuk berbhinneka tunggal ika, tetapi di era post-truth seperti sekarang ini yang terjadi tampaknya berkebalikan.

Menguatnya sikap intoleransi dan klaim bahwa kelompok kitalah yang paling benar adalah benih-benih yang, jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan membuat bangsa ini terpuruk dalam konflik berkepanjangan.

Kolom terkait:

Ketika Media Sosial Menjadi Semakin Personal

Siapa Merebus Sentimen Sosial Kita

Aksi Arak Bugil itu Barbar!

Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?

Khutbah: Antara Kebebasan dan Ujaran Kebencian

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.