Jumat, Maret 29, 2024

Jokowi, Pesantren, dan Proyeksi Perdamaian

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Presiden RI Joko Widodo saat menghadiri peringatan Hari Perdamaian Internasional 2017 di Pondok Pesantren An-Nuqoyah, Guluk-Guluk, Sumenep. [KOMPAS.com/Taufiqurrahman]

Presiden Joko Widodo kemarin (08/10) berkunjung ke Pondok Pesantren An-Nuqoyah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, guna menghadiri serangkaian kegiatan Hari Perdamaian Internasional 2017 dan sekaligus meresmikan Kampung Damai di desa Guluk-Guluk. Pesantren yang telah berkontribusi terhadap pengembangan dakwah Islam dan pendidikan untuk masyarakat Madura sejak 1887 itu juga melebarkan gerakannya seperti sektor pengelolaan lingkungan, penguatan ekonomi lokal, dan gerakan perdamaian.

Topik “perdamaian” sebagai kajian ilmu (studi) harus diakui memang belum akrab dengan lingkungan pondok pesantren. Alih-alih pesantren, peace studies masih belum menjadi kesadaran dan komitmen di dunia akademik sekalipun sehingga kampus yang membuka jurusan studi perdamaian bisa dihitung dengan jari.

Padahal, dilihat dari aspek potensi konflik dan bahkan eskalasi kekerasan yang terjadi dari hari ke hari, sebagai konsekuensi dari nation-state yang multukultural, studi dan gerakan perdamaian harus benar-benar dibangun sebagai proyeksi bersama Indonesia ke depan.

Komitmen Pondok Pesantren An-Nuqoyah untuk terlibat mewacanakan perdamaian di lingkungan pesantren bisa menjadi angin segar bagi pesantren-pesantren lain dan sekaligus komunitas Islam Nusantara yang hendak bertransformasi dengan perkembangan kontekstual di daerah masing-masing. Sebagai institusi formal pendidikan dan sekaligus tradisonal karena menjadi bagian langsung dari kesatuan masyarakat lokal, An-Nuqoyah bisa memainkan perannya untuk mengembangkan dan membumikan nilai-nilai perdamaian secara lebih terkelola dan masif.

Sejalan dengan itu, lahirnya kesadaran untuk membumikan pesantren dengan konteks-konteks lokal kemasyarakatan, seperti kajian perdamaian misalnya, bisa dilihat sebagai komitmen dan kontribusi pesantren terhadap lingkungan sekitar dan isu-isu nasional secara umum.

Almarhum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sebagai guru semua pesantren, dalam banyak kesempatan selalu mewanti-wanti perlunya memodernisasi dan mengkombinasi nilai-nilai pesantren dengan pendidikan umum non-agama, bahkan misalnya membangun pondok-pondok takhasus (profesional). Cita-cita Gus Dur dengan model pondok takhasus ini pernah dipraktikkan oleh An-Nuqoyah sekitar awal tahun 2000 dengan mendirikan sekolah SMA Khusus Perkapalan (Maritim).

Meskipun lembaga tersebut tidak berkembang seperti diinginkan, kesadaran integrasi nilai-nilai agama (pesantren) dengan ilmu-ilmu profesional telah menjadi ritme dan tradisi An-Nuqoyah.

Pesantren Perdamaian

Lahirnya Kampung Damai di Guluk-Guluk, hasil kerjasama UN Women dan Wahid Foundation, dapat menjadi trigger bagi gerakan perdamaian di lingkungan pesantren. An-Nuqoyah bisa menjadi pioner untuk menghadirkan pesantren perdamaian, sebuah cita di mana nilai-nilai keadilan (al-‘adl) sebagai fondasi memahami perdamaian harus mendapatkan porsi lebih baik dalam pengajaran ataupun laku sehari-hari.

Saya tidak pernah ragu bahwa secara esensial nilai-nilai pesantren dengan sendirinya kompatibel dengan nilai-nilai perdamaian. Prinsip maslahat (kepentingan umum), keterbukaan kajian (yang dipraktikkan lewat pengajian kitab kuning yang bersumber tidak hanya dari satu mazhab, lalu tradisi bahts al-masa’il untuk mencari kekuatan hukum dengan cara meneliti dan memperdebatkannya sebelum menjadi keputusan hukum, dan khidmah/pengabdian) adalah ruh dan prinsip perdamaian pesantren yang dibingkai dalam paradigma etika agama dan lokalitas.

Dalam konteks kajian fikih, misalnya, pesantren tidak pernah memaksakan satu otoritas pengetahuan karena mereka menyadari kekayaan khazanah kajian keislaman yang kaya. Mereka mengantarkan dan mendadarkan sumber-sumber pengetahuan klasik (dari kitab turath) yang kredibel untuk diteliti dan kemudian diikuti sesuai dengan konteks. Jika, misalnya, mazhab Syafii yang paling dominan di kalangan pesantren Indonesia, bukan berarti anak-anak pesantren menolak keras mazhab lain.

Praktik di atas, dalam studi perdamaian, bisa diandaikan sebagai proses kesetaraaan sejak dalam pikiran, yaitu upaya untuk menghindari satu kekerasan ilmu pengetahuan berupa otoritas tunggal yang kemudian bisa menutup kemungkinan mempelajari dan mengambil hasil ijtihad dari ulama lain di luar kelompoknya (tepat seperti cara-cara berislam yang hanya membenarkan kelompoknya sendiri dan mengafir-kafirkan yang lain). Inilah kelebihan pesantren tradisional, yaitu menghindari kekerasan ilmu pengatahun.

Dalam laku sehari-hari (attitude) seperti bentuk-bentuk suri tauladan (dari para kiai), pendidikan kemandirian, kerja sama dan saling membantu di kalangan santri, dan bahkan lahirnya beragam kelompok diskusi dan gerakan komunitas seperti kesenian dan sastra yang tumbuh subur di semua pesantren Madura secara umum menjadi modal atas terciptanya kultur perdamaian berdasarkan kepada dinamika sosial setempat. Melihat laku dan tradisi integrasi dalam konteks pesantren, secara mendasar bisa menjadi proyeksi positive peace, meminjam istilah Bapak Perdamaian dari Nerwegia Johan Galtung, yaitu the integration of human society (1946).

Selanjutnya entitas santri (pemuda) sebagai motor potensial untuk perdamaian harus menjadi kesadaran bersama di balik terwujudnya pemahaman dan gerakan perdamaian itu sendiri. Santri yang lahir dari pesantren dengan pola-pola tradisional ataupun modern—dengan syarat mengajarkan tradisi keilmuan salaf ataupun modern dengan model integrasi terhadap nilai-nilai kontekstual dan kebangsaan—akan menjadi pasukan penjaga NKRI di masa depan. Mereka ini adalah generasi Muslim masa depan yang mencintai Indonesia sebagai wathan (tanah air) yang harus dirawat dan dikembangkan.

Akhirnya, yang tak akan pernah terlewat dari peran pesantren adalah kuatnya memproduksi kesadaran tradisional dan kontekstual. Kesadaran atas dua term ini akan menjaga nilai-nilai luhur dan etika agama secara simetris, di mana perilaku santri akan selalu berpijak kepada etika lokal seberapa pun tinggi pencapaian karya dan ilmu pengetahuan mereka.

Pemahaman atas konteks akan menjadi model tersendiri dalam mempelajari perdamaian. Sebab, keadilan akan berpijak kepada konteks partikular. Pendekatan lokal tersebut, menurut John Paul Lederach, sosiolog dan profesor peacebuilding dari The University of Notre Dame, AS, dilihat sebagai proses untuk menciptakan long-term peace (1999; 111). Artinya, nilai-nilai perdamaian akan tersemai dari proses dan pendekatan kultural yang dibangun secara terus-menerus dalam komunitas-lokal seperti pesantren (local-level peacebuilding), yang nanti akan berkembang ke dalam skala nasional.

Dalam perjalanannya, kultur damai akan tercipta seiring dengan dibangunnya ruang-ruang dialogis (sekecil apa pun) yang mengedepankan asas keadilan dan keterbukaan sebagai fondasinya.

Kolom terkait:

Ketika Agama Bawa Damai, bukan Perang: Belajar dari “Imam dan Pastor”

Secercah Harapan di Balik Caci Maki Muslim dan Kristen

Islam Itu Damai, Berdamailah!

Menyalakan “Perdamaian” Indonesia

Keragaman Agama Itu Sunnatullah

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.