Sabtu, April 27, 2024

Jokowi dan Pengakuan (Seremonial) Negara terhadap Masyarakat Adat

Ahmad Riyadi
Ahmad Riyadi
Peneliti Sosial di Laboratorium Sosiologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla berfoto bersama para mantan Presiden dan Ibu Negara Republik Indonesia usai upacara peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan RI dengan mengenakan busana adat di Istana Negara, Jakarta, Kamis (17/8). ANTARA FOTO/Agus Suparto

Sepertinya tak ada momen “paling baru” dan “menarik” dalam perayaan kemerdekaan Republik Indonesia, selain yang terjadi di Istana Negara, Jakarta, pada pekan lalu (17/8). Di usia yang ke-72 tahun, konsep Presiden Joko Widodo dalam merayakan kemerdekaan patut mendapatkan acungan dua jempol. Berbeda dengan perayaan-perayaan tahun sebelumnya, perayaan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan menggunakan busana adat yang ada di seluruh Indonesia.

Tamu undangan, mantan presiden Republik Indonesia, serta para jajaran kabinet dan pimpinan pejabat Indonesia menggunakan pakaian adat. Suasana di Istana Negara benar-benar harmonis dan penuh bahagia, kendati tidak menafikan momen bahagia yang terjadi di belahan daerah dan kampung-kampung seluruh Indonesia dalam menyambut kemerdekaan dengan memanjatkan doa, memasang atribut bendera merah putih, serta lomba-lomba dan seterusnya.

Tetapi yang perlu diingat, kemerdekaan tidak hanya berlaku dalam waktu 24 jam. Ia tidak hanya ada pada tanggal 17 Agustus belaka. Kemerdekaan merupakan proses perjalanan panjang bangsa Indonesia untuk hidup harmonis dan rukun. Di samping meninggalkan benturan atau konflik antara negara dan masyarakat (vertikal), dan masyarakat dengan masyarakat (horizontal).

Konflik Masyarakat Adat

Seperti ditulis di atas, hal yang paling baru dan menarik sorotan publik dalam perayaan kemerdekaan di Istana Negara adalah hadirnya adat dalam bentuk busana. Perayaan dengan menggunakan pakaian adat seolah menyimbolkan pengakuan negara terhdap keberagaman yang ada di Indonesia, terutama eksistensi masyarakat adat.

Sayangnya, di tengah masyarakat yang riil kita kerap dihadapkan dengan terjadinya konflik agraria yang berbenturan langsung dengan masyarakat adat, bahkan tak jarang dilakukan oleh elemen keamanan negara.

Sebagaimana dilansir Kompas (25/09/2016), Wakil Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, sejak 2004 hingga 2015 tercatat 1.772 konflik agraria dengan luasan wilayak konflik mencapai 6.942.381 hektare. Sementara korban yang terdata sebanyak 1.085.817 keluarga.

Eskalasi konflik agraria di berbagai sektor dan daerah tersebut berujung pada tindakan represif dan kriminalisasi. Menurut data KPA, konflik agraria selama 11 tahun terakhir yang tertinggi ada di Riau, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara. Dan korban pada umunya adalah, petani, nelayan dan masyarakat adat.

Hingga saat ini, barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dalam konflik agraria masih banyak masyarakat adat yang menjadi objek korban. Sulit dibantah pembangunan infrastruktur serta ekonomi berdampak merampas hak-hak masyarakat adat. Ambillah contoh pembangunan pabrik semen di Jawa Tengah. Konflik antarmasyarakat adat rasanya tidak pernah absen di layar televisi, nongol di media, dan lain sebagainya, seperti yang terjadi di Indonesia bagian Timur.

Wajah Bopeng

Sebagaimana dikutip Yasraf Amir Pilliang (2010), Umberto Eco mengatakan semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie). Mengenai hal itu, pada intinya secara implisit semiotika untuk menunjukkan satu sisi lain dari dusta, yakni kebenaran. Menurutnya, bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth); ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk “mengungkapkan apa-apa”.

Maka, definisi semiotika sebagai teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai sebuah program komprehensif untuk semiotika umum (general semiotics).

Penjelasan teori di atas oleh Yasraf diartikan sebagai berikut. Bila semiotika adalah sebuah teori kedustaan, maka ia sekaligus adalah teori kebenaran. Sebab, bila sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, maka ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kedustaan.

Dengan demikian, meskipun Eco menjelaskan semiotika sebagai teori kedustaan, implisit di dalamnya adalah teori kebenaran, seperti kata siang yang implisit dalam kata malam. Berdasar pada pernyataan di atas, selain menunjukkan simbol keharmonisan, busana adat yang dikenakan oleh para tamu undangan, pejabat publik serta Presiden dan Wakil Presiden dalam perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-72 tahun juga menunjukkan betapa banyak sekali masyarakat adat yang tertimpa musibah akibat ulah negara.

Padahal pengakuan negara terhadap keberadaan masyarakat adat itu adalah usaha paling fundamental. Tetapi, di sisi yang lain, jika hal tersebut hanya menjadi seremonial belaka, jelas itu sangat bertolak belakang dengan upaya pengakuan negara terhadap masyarakat adat. Pengakuan itu harus dilakukan dengan tindakan konkret di tengah ragam masyarakat adat.

Diakui atau tidak, keberagaman masyarakat adat serta konflik yang mengekori mereka menjadi tanggunga jawab negara untuk hadir dan memberikan solusi. Bukan dengan pengakuan seremonial, tetapi langkah konkret.

Baca juga:

Janji Jokowi di Tengah Hak Masyarakat Adat

Masyarakat Adat, Kebinekaan Indonesia, dan Utang Konstitusi

Jokowi, Orang Rimba, dan Kekerasan Kultural

Ahmad Riyadi
Ahmad Riyadi
Peneliti Sosial di Laboratorium Sosiologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.